Peristiwa Srikaton 1888

Peristiwa Srikaton atau Gerakan Ratu Adil Imam Sampurna adalah sebuah gerakan messianisme, millenarisme, nativisme dan revivalisme Islam yang terjadi di Mangkunegaran pada 1888. Pemimpin gerakan ini adalah seorang juru kunci makam dinasti Mangkunegaran di Girilayu yang bernama Imam Sampurna atau Iman Reja. Imam Sampurna menyatakan dirinya sebagai seorang Ratu Adil yang akan mengembalikan masa kejayaan, memurnikan Islam, dan mengusir orang Belanda. Pada 11 Oktober 1888, Imam Sampurna bersama pengikutnya melakukan perjalanan ke Telaga Pasir di Magetan untuk melakukan upacara selamatan. Sebelum mencapai Telaga Pasir, mereka menduduki pesanggrahan Srikaton di Tawangmangu dengan memaksa. Pemberontakan ini berakhir setelah A. J. Spaan (residen Surakarta) dan Prangwadana datang mengepung pesanggrahan. Imam Sampurna dan beberapa pengikutnya tewas diberondong senapan. Peristiwa Srikaton adalah gerakan messianisme terbesar yang pernah terjadi di Mangkunegaran.

Fermentasi sosial sunting

Peristiwa Srikaton adalah gerakan yang bertipe messianisme. Gerakan-gerakan messianisme marak terjadi pada paruh kedua abad ke-19 atau pada suatu zaman yang dikenal sebagai zaman modal atau zaman perkebunan. Umumnya tipe gerakan messianisme ini adalah gerakan Ratu Adil. Sebuah gerakan messianisme tidak terjadi begitu saja tetapi membutuhkan necessary and sufficent conditions. Ada proses fermentasi sosial yang harus ditelusuri bahkan puluhan tahun sebelumnya. Sebagai contoh, fermentasi sosial yang terjadi pada Pemberontakan Petani Banten ditelusuri oleh Sartono Kartodirdjo sampai seratus tahun sebelumnya.[1]

Peristiwa Srikaton terjadi ketika Praja Mangkunegaran berada pada puncak krisis yang sangat besar. Hama kopi dan tebu merajalela dan pasaran kopi dunia pun jatuh. Keadaan ini sangat memperparah keuangan Mangkunegaran karena rumah tangganya sangat bergantung pada ekspor kopi dan gula. Untuk mengatasinya terpaksa dikerahkan cultuurdienst yang besar. Namun keuangan kerajaan defisit dan untuk menutupnya Prangwedana V harus berutang besar-besaran. Agar keadaan tidak semakin parah maka mulai Mei 1888, keuangan Mangkunegaran dipegang oleh residen A.J. Spaan. Berbagai hal tersebut menimbulkan ketidakpuasan pada rakyat Mangkunegaran.[2]

Orang-orang mulai merasa bahwa mereka sedang berada pada zaman kalabendu atau zaman kesusahan. Berbagai ketidakpuasan ini akhirnya memunculkan desas-desus akan datangnya juru selamat yang bernama Ratu Adil. Hal ini juga disumbang oleh banyaknya literatur seputar akhir zaman dan eskatologi Jawa, misalnya karya-karya Ranggawarsita, Serat Musarar Jayabaya, dan Serat Akhiring Jaman.[3]

Ketidakpuasan ini akhirnya dapat dieksploitasi oleh seorang juru kunci, yakni Imam Sampurna. Untuk memperluas gerakannya dan menarik penduduk desa, Imam Sampurna juga merekrut para bekel atau kepala desa. Para bekel disukai karena mereka mempunyai otoritas legal untuk menggerakkan penduduk desa. Beberapa bekel seperti akhirnya diangkat menjadi senapati atau pemimpin perang. Keterlibatan bekel dalam gerakan messianisme ini juga disumbang oleh ketidakpuasan yang dialami para bekel. Penghapusan apanage dan kemunculan perkebunan secara besar-besaran telah menyebabkan bekel terdeprivasi.[4]

Kemunculan gerakan sunting

Sang nabi pemberontakan ini, yakni Imam Sampurna, berasal dari Desa Klangon. Imam Sampurna sering berpindah dan berganti nama. Dia lahir di Desa Kadipiro dengan nama Samiran. Ketika sudah besar di berganti nama menjadi Kasanrejo dan pindah ke Desa Klangon. Di desa ini dia menjadi seorang santri dan mengganti namanya menjadi Abdul Gani. Pada 1885 Kasanrejo pindah lagi ke Desa Girilayu dan mengganti namanya menjadi Iman Rejo. Di sini dia menjadi ketib, juru kunci, dukun, dan guru agama. Iman Rejo kemudian menjadi orang yang sangat berpengaruh di Girilayu.[5]

Sebelum mengobarkan gerakannya, Iman Rejo terlebih dulu bersemadi di Hutan Ketangga di Madiun. Dia kemudian mengaku mendapatkan wahyu setelah bersemadi di sana. Ritual semadi di Hutan Ketangga sebenarnya merupakan hal sering dilakukan oleh para calon Ratu Adil. Dalam ramalan Jayabaya, Ratu Adil dikatakan akan datang dari Hutan Ketangga. Iman Rejo bersemadi di hutan ini agar kepemimpinannya terlegitimasi.[6]

Pada pagi hari Kamis 11 Oktober 1888, Iman Rejo dan pengikutnya mengadakan acara selamatan besar-besaran. Ada kemungkinan mereka mengunakan opium sebagai hidangan penutup. Iman Rejo kemudian mengajak pengikutnya untuk pergi ke Telaga Pasir yang ada di Magetan. Mereka berangkat pada sore harinya. Dalam perjalanannya Iman Rejo turut membawa banyak perbekalan seperti rajadarbe, rajakaya, pitik iwen dan berbagai senjata tajam serta senapan.[7]

Sebelum ke Telaga Pasir, gerombolan Imam Rejo terlebih dulu mengunjungi pesanggrahan Srikaton milik Mangkunegaran. Mereka memaksa masuk pesanggrahan dan para penjaga pesanggrahan lari ketakutan. Polisi setempat langsung menyatakan peristiwa ini sebagai pemberontakan.

Di dalam pesanggrahan, Imam Rejo berkelakuan layaknya seorang raja. Dia duduk di sebuah kursi sedangkan pengikutnya duduk berjongkok. Mereka pada umumnya berpakaian putih seperti santri, namun ada pula yang bertelanjang dada. Istri Imam Sampurna duduk di sebuah kursi besar di dalam pesanggrahan sedangkan para pengikutnya yang perempuan duduk di lantai. Imam Sampurna mengharuskan pengikutnya memanggil istri dan anaknya dengan sebutan ndoro mas dan ndoro ajeng. Saudaranya yang bernama Mitomenggolo kemudian diangkat menjadi patih.[8]

Sekitar pukul 02.00 Imam Sampurna para perempuan agar berzikir karena besok mereka akan pergi menyucikan diri ke Telaga Pasir. Di sana Imam Sampurna akan bergabung dengan kelompok keagamaan lainnya.

Penumpasan gerakan sunting

Kabar pemberontakan sampai ke residen A. J. Spaan di Surakarta pada dini hari 12 Oktober 1888.

Referensi sunting

  1. ^ Prasetyo 2019, hlm. 13–22.
  2. ^ Prasetyo 2019, hlm. 128, 134–138.
  3. ^ Prasetyo 2019, hlm. 130–131.
  4. ^ Prasetyo 2019, hlm. 182–183.
  5. ^ Prasetyo 2019, hlm. 169.
  6. ^ Prasetyo 2019, hlm. 140–141.
  7. ^ Prasetyo 2019, hlm. 141.
  8. ^ Prasetyo 2019, hlm. 149–150.

Daftar pustaka sunting

  • Prasetyo, Febri Ady (2019). Gerakan Ratu Adil Imam Sampurna 1888: Gerakan Sosial Para Bekel di Surakarta pada Abad XIX. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya UGM. 
  • Suhartono, Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta, 1830-1940 (Yogyakarta: UGM, 1989) PhD thesis
  • Sartono Kartodirdjo, Peasant’s Revolt of Banten in 1888. Its Conditions, Course, and Sequel. A Case Study of Social Movements in Indonesia (Amsterdam: University of Amsterdam,1966) PhD thesis
  • Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil (Jakarta: Sinar Harapan, 1984)
  • Koloniaal Verslag 1888