Pencegahan perkawinan

Pencegahan perkawinan diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Undang-undang tersebut menjelaskan siapa saja yang dapat mencegah pelaksanaan perkawinan, diatur Pasal 14 sampai dengan Pasal 16 yang di antaranya:[1]

  1. Para keluarga dalam garis lurus ke atas dan ke bawah dari salah seorang calon mempelai;
  2. Saudara dari salah seorang calon mempelai;
  3. Wali nikah dari salah seorang calon mempelai;
  4. Wali dari salah seorang calon mempelai;
  5. Pengampu dari salah seorang calon mempelai;
  6. Pihak-pihak yang berkepentingan terkait ini berkaitan dengan perkawinan;
  7. Suami atau istri dari salah seorang calon mempelai; dan
  8. Pejabat yang ditunjuk hal ini bermaksud kantor catatan sipil atau kejaksaan,

Pengajuan ke pengadilan

sunting

Pencegahan perkawinan diajukan ke pengadilan sesuai dengan Pasal 17 UU No. 1 Tahun 1974 dalam dua macam di antaranya:[1]

  1. Pencegahan perkawinan diajukan permohonan bagi beraga islam kepada Pengadilan Agama. Hal ini tertuang juga dalam Pasal 20 ayat (2) Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1975; dan
  2. Pencegahan perkawinan diajukan permohonan bagi beragama bukan Islam kepada Pengadilan Negeri.

Alasan

sunting

Alasan dalam mengajukan permohonan pencegahan perkawinan, di antaranya:

  1. Terkait usia maka calon memperlai pria belum berumur 19 tahun dan calon mempelai wanita belum berumur 16 tahun;
  2. Terdapat hubungan darah/ keluarga atau susunan yang tidak boleh kawin antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita:
    1. Berhubungan darah dalam garis lurus ke atas ataupun ke bawah;
    2. Berhubungan darah pada garis keturunan menyamping diantaranya antara seorang dengan saudara orang tua, antara saudara dan antara seorang dengan saudara neneknya;
    3. Terdapat hubungan semenda di mana bisa mertua, anak tiri, bapak/ibu tiri dan menantu;
    4. Terdapat hubungan susuan, yaitu anak susuan, orang tua susuan, saudara susuan, dan bibi/paman susuan;
    5. Terdapat hubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau keponakan dari istri, terkait suami beristri lebih dari seorang;
  3. Calon mempelai masih terikat tali perkawinan;
  4. Calon mempelai pria dan calon mempelai wanita satu sama lain telah bercerai untuk kedua kalinya, serta agamanya dan kepercayaannya melarang untuk kawin yang ketiga kalinya; dan
  5. Perkawinan yang dilangsungkan tidak sesuai dan memenuhi prosedur ataupun tata cara yang telah ditentukan oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.[2]

Referensi

sunting
  1. ^ a b Undang-undang Nomer 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 
  2. ^ "Mulyadi", "Mulyadi" (2016). Hukum Perkawinan Indonesia. Semarang: Badan Penerbit Universitas Dipoenegoro.