Pembicaraan:Bahasa Kanayatn

Komentar terbaru: 6 bulan yang lalu oleh InternetArchiveBot pada topik External links found that need fixing (Oktober 2023)

Pengertian, Latar Sejarah dan Seluk Beluk Bahasa dan etnik Dayak Kanayatn

Dayak Kanayatn adalah nama kesatuan Dayak yang secara sosio kultur (tradisi lisan) dan legenda etnik masih satu asal-usul dan satu nenek moyang. Kelompok Dayak Kanayatn tersebar di empat sungai besar; yakni; Sungai Tanganap (Landak), Sungai Bangkule Rajakng (Mampawah), Salako (Selakau) Sabangko (sebangkau) sampai ke sungai Sambas. Bahasa Kanayatn sedikitnya ada 2 rumpun, (1) bidayuh; sungkung, bakati', banyadu'. (2) Kanayatn/ahe-ape: Banana', banane', balangin, badamea-badameo-bajare (Salako).

Kata /kanayatn/ dalam tradisi lisan dayak Kanayatn Salako dari sisi bahasa, adalah berasal dari bentukan dua kata dasar yakni; kata ‘kana’ artinya ‘sebab’, dan ‘;iatn’ (baca ‘liatn’) artinya: “upacara perobatan”, kedua kata tersebut digabung menjadi ‘kanaliatn’ (dibaca:’kana;iatn,’ karena bahasa kanayatn dialek badamea (Salako) huruf /l/ sering tidak dibunyikan/luluh karena mengalami nasal. Arti ‘kanayatn’ berdasarkan pembentukan kata ini adalah: manusia yang ‘terbentuk’ atau ‘tercipta’ atau ‘menjadi ada,’ karena kekuatan ‘liatn’, mengacu pada kayakinan bahwa kehadiran manusia yang dinamakan dayak kanayatn, disebabkan oleh upacara adat ‘baliatn’, merupakan manusia yang berasal dari dunia Jubata (Tuhan). Arti lainnya menurut masyarakat di daerah Karangan, nama ‘kanayatn’ adalah nama sebuah negeri Sapangko yang berada di atas langit, terutama dalam legenda, ‘bujakng nyangko’, ayahnya berasal dari ‘nagari Sapangko Kanayatn yang berada di atas langit. Jadi berdasarkan kedua pengertian di atas, Dayak Kanayatn adalah “manusia yang berasal dari alam atas,” sejajar pula dengan pengertian “manusia yang berasal dari negeri yang berada di atas langit.” Oleh Duman CH, Dayak Kanayatn dikelompokkan ke dalam salah satu suku kecil Dayak Ot Danum, yang ditulis dengan istilah Kendayan, nama ini kemudian dipakai JU Lontaan untuk menunjuk suku Dayak yang berbahasa ahe atau banana’ di sekitar Ambawang yang berasal dari daerah Mempawah Hulu (Menjalin-Nangka).

Penulisan kanayatn oleh orang luar Dayak, sering tidak sesuai dengan penulisan yang benar, menjadi /kendayan/ atau /kanayan/ sehingga penulisan yang demikian justru mengubah arti dan menyesatkan. Orang-orang dayak Kanaytn sendiri sering pula latah dan berbuat sama, walaupun seringkali saat membacanya tetap dibunyikan /kanayatn/. Nama Kendayan dimusyawarahkan kembali supaya sesuai dengan istilah aslinya Kanayatn pertama kali dalam musyawarah adat Dayak Kanayatn se-Kecamatan Sengah Temila tanggal 23-25 Mei 1978, disusul dengan Musyawarah Adat I sekabupaten Pontianak (10 Kecamatan), tanggal 23-25 Mei 1985 di Anjungan, mulai saat itu publikasi dan penulisan istilah /Kendayan/ dikembalikan ke istilah aslinnya /kanayatn/, kemudian menjadi sebutan yang paling umum untuk menyebut suku Dayak yang berbahasa Kanayatn atau ahe dengan dialek banana’; Samaya’-Mampawah, soari, sairi, lumut, sangah, samih, nahaya’ Kanayatn Salako, badamea-badameo, dialek Bangape, dan bajare, balangin sedang dalam kajian.

Penggunaan nama Dayak Kanayatn pada awal mulanya adalah nama pada sebuah binua Kanayatn, di daerah Desa Sangkabang-Sey Betung, Kabupaten Bengkayang, Provinsi Kalimantan Barat. Semula masyarakatnya berbahasa Kanayatn Salako-badamea. Menurut tradisi lisan dalam syair “baiya’-iyang” mengenai penciptaan alam semesta, dan mengenai asal usul Dayak Kanayatn (Evigo J, 2015; 11-12), menyatakan bahwa Dayak Kanayatn berasal dari satu tempat yakni “gunung Bawakng”. Gunung bawakng adalah gunung tertinggi di wilayah hunian Dayak Kanayatn, terletak di Kabupaten Sambas dan Kabupaten Bengkayang. Hal itu dapat diketahui dari mithe asal usul Dayak Kanayatn, dalam syair-syair ritual baliatn, pamaliatn memanjat batang taman, gunung Bawakng diyakini sebagai tempat asal nenek moyang Dayak Kanayatn.

Petunjuk dari benda peninggalan sejarah, tentang kepercayaan atau agama nenek moyang Dayak Kanayatn yang ada di sekitar gunung Bawakng, disamping “kadiaman” ada temuan sebuah altar berbentuk persegi empat, yang terdapat di puncak gunung Bawakng, pada tengah-tengahnya ada batu bulat telur. Simbol ini diidentifikasi sebagai lingga Yonni atau phallus. Pada agama hindu, merupakan simbol penyembahan kepada dewa Syiwa, diperkirkan dari abad ke 4 M. Hal ini menguatkan bahwa semua kelompok Dayak Kanayatn telah menganggap gunung Bawakng sebagai pusat ritual keagamaannya (arah kiblat). Agama nenek moyang ini adalah agama asli Dayak Kanayatn sebelum masuknya Hindu, Islam dan Kristiani. Dengan ciri kesamaan dalam kesatuan nama Dayak Kanayatn sebagai berikut:

1. Ciri Kepercayaan: dari sisi konsep tergolong “monotheisme asali” yaitu percaya kepada adanya satu Tuhan yang disebut Jubata, yang dalam salah satu sifatnya di sebut “Ne’ Nange” (Pencipta, Penguasa Alam Semesta, Satu-satunya atau yang Esa). (Etno dan linguistik; B Kanayatn, Evigo J, 2018; hlm 9-10). 2. Nama sesembahan yang sama, yakni Jubata yang dikenal umum sebagai nama sesembahan. 3. Ciri Tradisi Lisan syair baiya’-iyang-Baliatn; semua pamaliatn (ahli ritual Dayak Kanayatn) menyatakan bahwa nenek moyangnya berasal dari Gunung Bawakng. 4. Ciri altar (paburungan); dari kata burukng, (Kanayatn Badamea, banana’ bajare dsb) burukng keto’-buria’-cece; untuk mengidentifikasi penanda alam; pertanda baik, pertanda buruk, rejeki atau kerugian.... 5. Kesamaan Pabayo, Ancak-Tumpang; sebagai penanda ritual Adat 6. Kesamaan peraga adat; Pinang sirih, kapur, gambir; tembakau, rokok, tumpi’ poe’, tempayan, dan hewan kurban; babi, ayam dan anjing. 7. Hukum adat tertinggi raga nyawa atau pati nyawa (pengganti nyawa) . 8. Ciri senjata yang sama: tangkitn, adalah senjata pusaka peninggalan satu nenek moyang Dayak Kanayatn. Karena perkembangan sosial dan penjelajahan wilayah yang luas dan dalam waktu yang lama, serta terjadinya interaksi dengan etnik pendatang. Maka terjadilah beberapa perbedaan, tatapi relatif kecil. Dari Binua Kanayatn Masyarakat menyebar secara bergelombang, dengan kelompok-kelompok kecil (kelompok keluarga) pada dataran dan pegunungan yang luas. Pertama-tama karena perkembangan jumlah penduduk, dan keperluan bahan makanan yang semakin meningkat. Hal ini menyebabkan pengembangan wilayah “peramuan makanan” dan “perburuan”. Kelompok-kelompok penduduk berpindah-pindah, mengikuti siklus alam, yang menyediakan segala kebutuhan makanan bagi mereka. Setelah penduduk mengenal tanaman padi, barulah perkampungan “radakng” (rumah panjang) didirikan secara tetap. Sistim pemerintahan binua muncul, yang dikemudian hari sikenal sebagai “pemerintahan adat” setelah berkembangnya sosial-kultur masyarakat dalam kesatuan-kesatuan yang lebih besar. (Etno dan linguistik; B Kanayatn, Evigo J, 2018; hlm 9-10). Bentuk-bentuk kerajaan yang ada di seluruh Nusantara, nampaknya juga mempengaruhi perubahan sistim pemerintahan binua (negeri), yang ada di wilayah-wilayah hunian Dayak Kanayatn. Akan tetapi secara faktual di masyarakat, kedudukan pimpinan etnik tidak terlalu menonjolkan hirarki tetapi lebih ke arah fungsional. Berbeda dengan sistim kesultanan maupun kerajaan lainnya. Pemerintahan adat sejak berdirinya dan sampai Indonesia mereka tidak berada dibawah pemerintahan Sultan. Beberapa nama jabatan pimpinan pada zaman dahulu Riya-Arya, Uda, Patih, Mangku, Singa-Macan, Tuha Bide (Timanggong) Tuha Tahutn dst. Sehingga antara masyarakat dan kepala-kepala (pimpinan) masyarakat disebut “pangurus” atau “orang yang bertugas membantu masyarakat.” Pangalima dan Pangalangok adalah jabatan frofesional seseorang yang telah terbukti mampu dalam sebuah peperangan dan dapat mengalahkan musuh. Pangalima adalah pimpinan Pasukan (kepala bala perang atau laskar) sedangkan Pangalangok adalah orang kuat yang dapat mengalahkan banyak musuh meskipun seorang diri. (Etno dan linguistik; B Kanayatn, Evigo J, 2018; hlm 9-10). Keputusan yang menyangkut harkat hidup orang banyak, diambil berdasarkan kesepakatan secara demokratis (yang disebut “demokrasi adat”), keputusan pengurus adat didukung dan ditegakkan. Suba’, Lantatn, merupakan penghargaan atau kewajiban dari orang yang diurus diberikan kepada pergurus adat., masyarakat Dayak Kanayatn meskipun tidak menomjolkan hirarki; pada saat genting dan darurat (perang), maka seorang pemimpin perang (panglima) atau pangalangok menjadi pemimpin tertinggi. Adapun garis besar binua-binua Dayak kanayatn adalah: Salako-Kanayatn, Gajekng, Garantukng, Sabangko, Bakati’, Bidayuh; Sungkukng-Sampatukng, Samaya’: Binua-binua;Bangkule Rajakng; bagian hulu Pakana-Tiakng, Garu, (tembawang garu; Menjalin-Karangan dst); bagian hilir; Toho’-Sadaniang, Anjongan dan Ipuh, Sompak. Binua-binua Tanganap (Landak) Banyuke, Behe, Maranti’, Sangah, Soari-Sairi, Lumut, Nahaya’, Samih, Batang-tarang-Tayan, Ambawang dan Batulayang. Setiap kampung dan binua memiliki wilayah palasar palaya’nya sendiri, yang terdiri atas wilayah: kampung, mototn (perladangan), rame, (bawas), kabon (kebun), udas (hutan belantara), karamat (tempat suci); kadiaman (tempat sembayang), patunuan (tempat membakar mayat), panyugu (tempat keramat disekitar kampung), pantak (orang-orangan dari kayu besi), pantulak (tempat tempat keramat untuk bidang pertanian) , dan padagi (tempat keramat di tepi kampung); kemudian lokasi timawakng (tembawang: bekas lokasi tempat tinggal), kompokng buah (kebun buah), dano (danau), sunge (sungai), dan sebagainya. Dalam upaya mengembangkan perladangan, maka kelompok-kelompok masyarakat, kemudian menyebar keberbagai wilayah yang dianggap subur dan membuka lahan pertanian baru dan karena perkawinan, pengayauan antar sesama Dayak. Peperangan diberbagai tempat yang dengan Belanda dan kesultanan Pontianak, perang melawan suku Cina, pada masa kongsi-kongsi dagang Cina kuat, tatkala Lho Thai Pak menjadi pemimpin kongsi, menjadi salah satu penyebab penyebaran. Kemudian secara besar-besaran penyebaran terjadi, di Kabupaten Pontianak dan Kabupaten Landak, pada 22 Oktober tahun 1967, dipimpin panglima laskar Dayak Kanayatn Rachmad Sahudin dalam upaya membantu pemerintah menumpas Pasukan Grilya Rakyat Sarawak (PGRS), Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (Paraku), yang terkenal dangan peristiwa PGRS-Paraku.

Perlu diketahui bahwa sebelum tahun 1970-an, wilayah pemukiman etnik Dayak Kanayatn hanya terkonsentrasi ditiga daerah, yakni: (1) Kabupaten Pontianak (masih termasuk Landak, dan Kubu Raya), (2) Kabupaten Sambas (termasuk Bengkayang, dan Pemkot Singkawang), dan (3) Sanggau. Setelah tahun 1970-an, peta penyebarannya sudah menngalami perubahan. Melalui interview yang dilakukan (Bahari S. 1990), ternyata Dayak Kanayatn yang tadinya terkonsentrasi di Kabupaten Pontianak, Sambas, dan Sanggau, mulai menyebar di kabupaten lain seiring pembangunan pertambangan, industri dan perkebunan hingga ke seluruh Kalbar. Peta penyebaran semakin berubah, sejalan dengan perkembangan pemerintah daerah Kalimantan Barat (Kalbar) yang diatur menurut UU-RI nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan demikian, urutan kawasan konsentrasi Dayak Kanayatn sekarang, secara kuantitas berubah, sekurangnya di 30 Kecamatan, sebagai berikut: (1) Kabupaten Landak merata di 13 kecamatan, yakni: kecamatan-kecamatan Air Besar, Kuala Behe, Ngabang, Banyuke, Meranti, Manyuke Hulu, Sompak, Sangah Temila, Subangki, Mandor, Menjalin, dan Karangan. (2) Kubu Raya (kecamatan Sui Ambawang, Kubu, dan Sui Raya); (3) Kabupaten Mempawah (Toho, Sui Pinyuh, Anjungan, Sadaniang dan Sui Kunyit); (4) Kabupaten Bengkayang (sekurangnya Menterado, Samalantan, Sungai Raya, dan Capkala); (5) Pemkot Singkawang (sekurangnya Kecamatan Tujuh Belas....); (6) Kabupaten Sambas (sekurangnya Kecamatan Selakau, dan Aruk, Sajingan); (7) Kabupaten Sanggau (sekurangnya sebagian kecil Kecamatan Sosok, Tayan dan Batang Tarang). Prediksi penduduk Kabupaten Landak yang berjumlah 362.734 jiwa pada tahun 2016. ditambah prediksi penyebaran yang ada di 18 kecamatan luar Kabupaten Landak, populasi Dayak Kanayatn yang menghuni Kalbar tidak kurang dari 930.000 orang.

Sumber :

   Evigo Jermia, Kajian Etno dan Linguistik Bahasa Kanayatn; Sosio Aksara Morfology dan Sintaksis, Pontianak: Institut Kajian Budaya Dayak Kanayatn, IKBDK dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kalbar, Cet 2 2018.
 JU Lontaan, Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat (Jakarta: Bumirestu dan Pemda Tingkat I Kalimantan Barat, 1975), hlm. 49-63. 
  Edi Petebang dalam Kalimantan Review, “menghilangkan Dayak dalam Statistik” edisi…..hlm.
 Rachmad Sahudin, Hak dan Kewajiban Dewan Adat dalam Pembangunan, dalam  “Kebudayaan Dayak Aktualisasi dan Transformasi”, (Jakarta: Grasindo –LP3S, IDRD, 1994). Hlm.115-116.
 Makalah: “Hukum adat dalam Masyarakat Multi Kultural” Seminar Kebudayaan di Sadaning Pada Naik Dango Ke 23, TIM IKB Kalbar: Nara Sumber,  Dr. Bahari Sindju, M.Pd. hlm 10. (dalam perkembangannya Binua kanayatn kemudian direbut oleh Dayak Kanayatn Bakati’ dalam suatu peperangan dalam upaya memperkuas wilayah binua sekitar tahun 1800-an M). 
 Baiya’-iyang Jenis Sastra Tradisional, Dayak Kanayatn, yang menuturkan tentang asal usul alam semesta dan manusia, diangap sastra suci yang diyakini menjadi pondasi kepercayaan suku. 
 Sivandanda Sriswami, Intisari Ajaran Hindu. (Surabaya: Paramitha, 1997). hlm 45.
 Makalah: “Hukum adat dalam Masyarakat Multi Kultural” Seminar Kebudayaan di Sadaning Pada Naik Dango Ke 23, TIM IKB Kalbar: Nara Sumber,  Dr. Bahari Sindju, M.Pd
 Petebang, Edy, dkk, “Menghilangkan Dayak Dalam Statistik“, Dalam Kalimantan Review. Edisi Khusus Tahun XII, 2003, hlm 46
Herculanus Bahari Sindju,” Adat Istiadat Dayak Kanayatn,” Makalah  (Bahan Seminar Naik Dango 2009 di Anjongan), hlm.8. SSSS

External links found that need fixing (Oktober 2023) sunting

Hello fellow editors,

I have found one or more external links on Bahasa Kanayatn that are in need of attention. Please take a moment to review the links I found and correct them on the article if necessary. I found the following problems:

When you have finished making the appropriate changes, please visit this simple FaQ for additional information to fix any issues with the URLs mentioned above.

This notice will only be made once for these URLs.

Cheers.—InternetArchiveBot (Melaporkan kesalahan) 25 Oktober 2023 22.27 (UTC)Balas

Kembali ke halaman "Bahasa Kanayatn".