Pataheri adalah sebuah ritual adat pendewasaan bagi anak laki-laki yang akan mencapai usia remaja atau dewasa. Ritual ini dilakukan oleh masyarakat Nuaulu di Kecamatan Amahai, Kabupaten Maluku Tengah. Pataheri dimulai dengan pemakaian celana pendek dan ikat kepala merah serta dan penyembelihan kepala kuskus untuk melatih kelincahan tubuh.[1] Para penyelenggaranya adalah para kepala marga, wakil kepala marga, guru, orang tua, dan anak-anak yang menjadi peserta. Anak-anak yang akan mengikuti Pataheri harus berusia sekitar 10–17 tahun. Anak yang berusia 10–12 tahun dianggap beralih dari anak-anak ke remaja, sedangkan anak yang berusia 13–17 dianggap beralih dari remaja ke dewasa. Pataheri dilakuan selama 3 hari.[2]

Persiapan sunting

Sebelum memulai Pataheri, masyarakat Nuaulu akan berkumpul di rumah adat untuk membahas waktu pelaksaan Pataeheri dan perlengkapan yang diperlukan. Persiapan ini berbeda antara masyarakat dengan status sosial yang berbeda. Orang tua dari anak yang menjadi perserta harus mempersiapkan berbagai keperluan secara materi, rohani dan keuangan.[3] Persiapan utama dalam Pataheri yaitu hewan buruan. Hewan ini diperoleh melalui perburuan massal yang dilakukan oleh laki-laki dewasa Suku Nuaulu. Para ibu juga harus menyiapkan makanan yang terbuat dari sagu, pinang, ubi jalar dan singkong. Keperluan bagi peserta Pataheri adalah cawat dan 2 lembar kain berang berwarna merah. Cawat dibuat dari kulit kayu yang digunting-gunting. Para peserta juga perlu disiapkan satu buah kelapa dan satu ekor ayam. Persiapan lainnya adalah persiapan untuk melakukan Tari Cakalele dan Tari Maku-maku.

Pelaksanaan sunting

Pelaksanaan Pataheri diawali di tempat pengambilan tiang pertama rumah adat Baileo. Letaknya berada di sekitar tanjung dengan pepohonan yang besar. Setelah itu, dilanjutkan ke rumah adat. Pataheri dihadiri oleh para anak yang akan melakukan ritual, para kepala suku sebagai pemimpin ritual, dan para laki-laki dewasa Suku Nuaulu yang menjadi saksi mata. Para laki-laki dewasa ini juga akan ikut serta dalam Tari Maku-maku.

Pataheri dimulai setelah seluruh peserta telah berkumpul di rumah adat dan telah mengenakan kostum dan asesoris upacara. Sebelum memulai ritual, masing-masing kepala marga dan tokoh adat akan memakan pinang dan minum sopi. Setelah itu, mereka akan memberikan petuah dan nasihat kepada para peserta. Para kepala marga dan tokoh adat kemudian akan membawa para peserta ke dalam hutan yang sunyi dan menyiapkan 5 potong bambu sebagai tempat berdiri. Para peserta kemudian akan dipakaikan cawat dan kain berang. Cawat diikat dipinggang dan kemudian ditutupi dengan kain berang yang berwarna merah. Masing-masing peserta kemudian disiapkan kuskus untuk dipenggal dengan sekali tebas dengan parang yang disiapkan oleh orang tuanya. Kuskus yang telah mati dibawa ke rumah adat dan dimasak oleh ibu-ibu serta disantap bersama pada malam harinya.[3]

Pemberkahan sunting

Para peserta Pataheri akan menerima piring berkat dari orang tuanya sehari setelah pelaksaanaan ritual. Ini melambangkan berkat dan bekal bagi anak-anak saat akan menjalani kehidupan rumah tangga. Piring berkat dimaknai sebagai perwakilan ungkapan doa dan harapan kepada Tuhan dan leluhur agar anak-anak kelak akan diberkati hingga mampu menjalani rumah tangga.[3]

Perubahan tradisi sunting

Beberapa persiapan dalam Pataheri mengalami perubahan yang menyesuaikan dengan perkembangan teknologi dan kemasyarakatan. Dahulu, penyembelihan dilakukan kepada manusia, tetapi kemudian digantikan dengan kuskus. Selain itu, anak-anak tidak lagi harus menangkap kuskus secara mandiri, tetapi dapat diwakilkan oleh orang tuanya. Pelaksanaan Pataheri juga dipersingkat dari berminggu-minggu menjadi 3 hari. Peralatan untuk membunuh kuskus juga tida lagi bergantung kepada warisan leluhur, tetapi dapat diperoleh dengan membeli di pasar.[1]

Pemaknaan sunting

Suku Nuaulu meyakini bahwa kain berang dan cawat hanya bisa digunakan oleh anak laki-laki setelah pemakainya melalui Pataheri. Kedua pakaian ini merupakan lambang kedewasaan dan tanggung jawab sebagai masyarakat Nuaulu. Melalui Pataheri, kedudukan anak laki-laki telah sah menjadi bagian dari masyarakat yang memiliki tanggung jawab. Setelah ritual ini dilakukan, anak laki-laki telah memperoleh izin untuk membuat keluarga baru.

Referensi sunting

  1. ^ a b Paluseri 2018, hlm. 343.
  2. ^ Paluseri 2018, hlm. 344.
  3. ^ a b c Paluseri 2018, hlm. 345.

Daftar pustaka sunting

  • Paluseri, Dais Dharmawan; et al. (2018). Penetapan Warisan Budaya Takbenda Indonesia Tahun 2018 (PDF). Jakarta: Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.