Pascahegemoni adalah suatu masa ketika hegemoni dianggap tidak dapat lagi berfungsi sebagai prinsip penyatu tatanan sosial negara atau pascanegara, atau penyatu hubungan antara negara-bangsa dalam tatanan global.[1] Konsep ini memiliki makna berbeda di bidang teori politik, studi budaya, dan hubungan internasional.

Studi budaya

sunting

Dalam studi budaya, pascahegemoni dikembangkan sebagai konsep oleh sejumlah kritikus yang pemikirannya berhubungan dengan dan mengkritik penggunaan teori hegemoni budaya dalam karya-karya Ernesto Laclau dan studi subaltern.[2]

Konsep pascahegemoni terkait dengan bangkitnya "kerumunan" sebagai penggerak masyarakat yang tidak dapat ditaklukkan oleh hegemoni, tidak seperti "rakyat". Pascahegemoni juga terkait dengan peran affect dan habitus dalam mekanisme kontrol sosial dan agensi.[3] Pascahegemoni dan istilah terkaitnya dipengaruhi oleh pemikiran Gilles Deleuze dan Félix Guattari, Pierre Bourdieu dan Michael Hardt, dan Antonio Negri tentang dorongan supranasional dan infranasional yang menggerus bentuk-bentuk koersi dan konsen utama. Bagi Antonio Gramsci, hegemoni menata dan menguasai masyarakat lewat koersi dan konsen.

Beberapa fitur konsep pascahegemoni berkaitan dengan fitur pascamodernitas. Teori pascahegemoni berpendapat bahwa ideologi bukan lagi penggerak politik dalam kontrol sosial, dan teori hegemoni modernis yang sangat bergantung pada ideologi tidak lagi layak untuk menggambarkan tatanan sosial.[4] Sejumlah komentator berpendapat bahwa, seperti kata Karl Marx, sejarah bukan perjuangan kelas, melainkan "perjuangan menciptakan kelas".[5]

Konsep pascahegemoni juga sesuai dengan pemikiran teoriwan pasca-Foucault seperti Giorgio Agamben. Nicholas Thoburn, menyimpulkan pembahasan Agamben mengenai "keadaan pengecualian," menulis bahwa "dengan membina hubungan antara hukum dan politik-militer dan kriris ekonomi dan intervensi dalam keadaan pengecualian, barulah terbukti bahwa zaman hegemoni telah berlalu."[6]

Kritik

sunting

Salah satu kritikus teori pascahegemoni adalah Richard Johnson. Ia mengatakan bahwa pascahegemoni mencakup "penyederhanaan karut-marut sosial."[7] Ia juga menyatakan bahwa "salah satu prestasi terbaik 'proyek pascahegemoni' adalah menyederhanakan berbagai fenomena nyata pasca-9/11 ke dalam satu gambaran imajinatif, tapi juga mencampur aduk berbagai arus dalam teori sosial masa kini." Ia berpendapat, "aneh sekali bila hasilnya justru dianggap sebagai akhir dari hegemoni alih-alih masa hegemoni yang baru."[7] Johnson meminta agar konsep hegemoni dibangkitkan kembali, bukan ditinggalkan.

Catatan kaki

sunting
  1. ^ Williams, The Other Side of the Popular, 327: "Posthegemony [...] is no longer a name for the hegemony of transnational capital, but the name of those 'places in which hegemony ceases to make sense' (Jean Franco)."
  2. ^ For example George Yúdice (1995), Alberto Moreiras (2001), Gareth Williams (2002) and Jon Beasley-Murray (2010).
  3. ^ These ideas are discussed extensively in Hardt and Negri’s Empire (2000) and Multitude: War and Democracy in the Age of Empire (2004), as well as in Beasley-Murray (2010).
  4. ^ Beasley-Murray, "On Posthegemony," 119.
  5. ^ Beasley-Murray, "On Posthegemony," 120.
  6. ^ Thoburn, "Patterns of Production," 89.
  7. ^ a b Johnson, "Post-hegemony?" 102.

Daftar pustaka

sunting

Lihat pula

sunting

Pranala luar

sunting
  • Posthegemony, a blog on "Hegemony, Posthegemony, and Related Matters"