Paduwang

Perahu cadik dari Madura

Paduwang (juga dikenal sebagai bedouang) adalah perahu cadik ganda tradisional dari Madura, Indonesia. Ia dibangun dengan papan, bukan kayu tunggal, dan digunakan untuk menangkap ikan, perdagangan dan transportasi orang dan barang di dekat pulau Madura.[1] Pada abad ke-19, paduwang adalah perahu nelayan yang populer di Jawa Timur.[2]:80

Dua jenis perahu paduwang (bedouang) berlayar di laut. Paduwang berujung konvensional ada di depan, paduwang berujung bifid ada di belakang.

Etimologi

sunting

Menurut Horridge, kata “paduwang”, mempunyai akar kata wa, wangka, waga, wangga, dan bangka dari bahasa Austronesia. Istilah tersebut diasosiasikan pada “perahu bercadik atau perahu kecil”.[3] Nama "bedouang" digunakan oleh pengamat barat seperti laksamana François-Edmond Pâris, yang mungkin merupakan salah pengucapan nama tersebut.[2]:80-81

Deskripsi

sunting

Paduwang memiliki dua tiang pendek, satu di haluan dan yang lainnya sekitar 1/3 dari panjangnya di belakang. Sistem layarnya menggunakan layar lete, yang memiliki andang-andang atas (disebut pebahu) and andang-andang bawah (pekaki). Pebahunya selalu disokong oleh sebuah galah bambu (disebut sokong atau supak).[4] Layar depannya dipasang pada tiang pendek, sedangkan layar utamanya tidak memiliki tiang. Layar utamanya dijaga pada posisinya oleh tali lalei dan tali lain yang melekat pada andang-andangnya.[5]

 
Model paduwang Madura di Museum Nasional Leiden, Belanda.

Ia memiliki 2 versi, satu dengan ujung konvensional, yang lain memiliki ujung bifid[6] (yang berarti bentuk bercabang dua di haluan dan membentuk "rahang").[7] Lambungnya dibangun di atas lunas kayu yang dilubangi, kedua ujungnya ditutup oleh papan vertikal sederhana.[5] Paduwang hanya memiliki 1 kemudi, diikat dengan tali, ditambatkan ke papan. Kemudi selalu diposisikan di bawah arah angin, dengan konfigurasi sedemikian rupa sehingga dapat dipindahkan ke sisi lain dengan mudah. Paduwang kecil panjangnya hanya 5 m, sedangkan paduwang transportasi besar memiliki sebuah rumah geladak kecil di tengah lambung, dan panjangnya sekitar 14–16 m. Paduwang juga bisa didorong menggunakan dayung.[2]:81 Paduwang besar menghilang di awal abad ke-20, tidak lama setelah kemunculan golekan.[6]

Lihat pula

sunting

Perahu nelayan lainnya dari Indonesia:

Referensi

sunting
  1. ^ Stenross (2007). hlm. 66.
  2. ^ a b c Pâris, François-Edmond (1841). Essai sur la construction navale des peuples extra-européens : ou, Collection des navires et pirogues construits par les habitants de l'Asie, de la Malaisie, du Grand Océan et de l'Amérique volume 1. Paris: A. Bertrand. 
  3. ^ Horridge, Adrian (2015). Perahu Layar Tradisional Nusantara. Yogyakarta: Penerbit Ombak. Terjemahan bahasa Indonesia dari Horridge, Adrian (1985). The Prahu: Traditional Sailing Boat of Indonesia, second edition. Oxford: Oxford University Press.
  4. ^ Stenross (2007). hlm. 272.
  5. ^ a b H. H. Frese. (1956). Small Craft in the Rijksmuseum voor Volkenkunde, Leiden. The Mariner's Mirror. 42 : 2, 101-112.
  6. ^ a b Stenross (2007). hlm. 274.
  7. ^ Stenross (2007). hlm. xiii.

Bacaan lanjutan

sunting
  • Horridge, Adrian (2015). Perahu Layar Tradisional Nusantara. Yogyakarta: Penerbit Ombak. Terjemahan bahasa Indonesia dari Horridge, Adrian (1985). The Prahu: Traditional Sailing Boat of Indonesia, second edition. Oxford: Oxford University Press.
  • Stenross, Kurt. (2007). The Seafarers and Maritime Entrepreneurs of Madura: History, Culture, and Their Role in the Java Sea Timber Trade. Murdoch University, Perth, Australia.