Muhammad Saleh

saudagar terkenal asal Pariaman

Muhammad Saleh gelar Datuk Orang Kaya Besar adalah seorang pedagang Minangkabau terkemuka pada peralihan abad ke-19 dan ke-20. Muhammad Saleh lahir di Pasir Baru, Pariaman, Sumatera Barat pada tahun 1841 dan wafat pada tahun 1922.[1][2]

Makam Muhammad Saleh di kompleks Masjid Raya Air Pampan

Asal usul sunting

Mek Saleh, demikian sapaan akrabnya, lahir pada tanggal 13 Rabiul Awal 1257 Hijriyah (sekitar tahun 1841) di Dusun Pasir Baru, kini Nagari Pilubang, Kabupaten Padang Pariaman sekarang. Ia merupakan anak Peto Radjo dari istri keduanya, Taroes.

Ayahnya merupakan keturunan uleebalang di Rigaih, rantau Minangkabau di pesisir barat Aceh (kini masuk Kabupaten Aceh Barat). Kapan leluhurnya bermukim di Pariaman tidak jelas, tapi Peto Radjo sudah menjadi saudagar ulung di Pariaman pada abad ke-18. Adapun Taroes berasal dari Guguak Tinggi, Agam, yang bersuku Payobada.

Saleh menjalani masa kecil dengan kepahitan sebab sang ayah jatuh miskin dan ibunya meninggal. Selain Taroes, Peto Radjo memiliki tiga istri sehingga ia kesulitan memenuhi kebutuhan keluarga. Saleh dibesarkan oleh dua kakak kandungnya, Jidun dan Nangsibah. Saat remaja, ia sudah bekerja untuk menopang hidup, seperti membantu pemilik kedai membeli barang-barang di pasar hingga menarik pukat. Namun demikian, pekerjaan kasar tersebut tak lama ia lakoni, karena sang ayah menasihatinya untuk berdagang.

Kehidupan sunting

Saleh merupakan salah seorang dari sedikit pengusaha Indonesia pada abad ke-19 yang menulis otobiografi. Lewat buku Riwayat Hidup dan Perasaian Saya yang ditulis pada tahun 1914, ia mencatat tentang perjalanan hidupnya sejak pertengahan dekade 1880 hingga 50 tahun kemudian. Dalam buku ini, ia juga merekam mengenai keadaan perdagangan di pantai barat Sumatra ketika itu.[1] Buku ini diterbitkan sang cucu, Soetan Mahmoed Latif pada tahun 1933.

Mula-mula, Saleh menjajakan ikan kering. Demi menunjang kemampuannya berdagang, ia belajar ilmu berhitung, membaca, hingga manajemen keuangan. Semua itu dipelajarinya tanpa pernah masuk sekolah, melainkan berguru langsung kepada orang-orang yang ahli. Saat berumur 14 tahun, ia mulai bekerja sebagai anak buah kapal. Lambat-laun, ia menjadi nahkoda kapal yang berlayar dari Pariaman membawa komoditas hasil bumi ke kota-kota pelabuhan di pantai barat Sumatra seperti Air Bangis, Pulau Tello, Natal, Sibolga, dan Singkil.

Setelah sekitar 13 tahun mengarungi samudera, ia memutuskan kembali berdagang di Pariaman. Saleh memulai bisnisnya dengan berjualan kebutuhan dapur seperti gula merah, gambir, cabe, bawang, kentang, ubi rambat, dan kubis. Setelah itu, ia menjadi pemasok garam ke Darek atau daerah pedalaman Minangkabau. Seiring dengan perkembangan usahanya, ia melirik bisnis pengangkutan barang dengan kapal.

Kemajuan bisnis Saleh pada akhir abad ke-19 mendorongnya untuk mendirikan perusahaan berbadan hukum sendiri. Berdasarkan akta notaris tertanggal 13 Oktober 1901 di Padang, maka berdirilah NV Handelsmaatschappij Pariaman (MDP). Dalam waktu tiga tahun, volume perdagangannya meningkat sehingga ia mampu membangun kompleks pertokoan terbuat dari beton bertingkat dua di pusat kota.

Pada tahun 1890, Saleh sudah menjadi seorang yang sangat kaya dan disegani di Pariaman. Ia bahkan bertindak sebagai kontraktor garam bagi orang Belanda. Dengan berbagai rekan, Saleh giat menekuni bisnis garam selama 23 tahun. Sifatnya yang ramah membawanya untuk berkenalan rapat dengan petinggi-petinggi Belanda. Keadaan ini sangat menguntungkan bagi bisnisnya. Keberhasilan Saleh lebih dikarenakan sikap dan pandangan hidupnya. Di sepanjang kariernya, Saleh memiliki hubungan baik dengan anak buahnya serta rekan-rekan seperdagangannya. Saleh memiliki banyak sifat pengusaha. Dia seorang yang cerdik, pekerja keras, hemat, jujur, pembaharu, dan luas pengetahuannya. Salah satu sifat cerdik dan kelihaiannya dalam berbisnis adalah ketika dia harus bersaing dengan kontraktor garam Tionghoa, Cia Biauw.

Untuk mematikan para pedagang Minangkabau yang juga berbisnis garam, maka Cia Biauw menyewa banyak pedati dengan harga sewa di atas rata-rata. Hal ini bertujuan agar ongkos sewa pedati tidak terjangkau oleh pedagang Minang. Dengan siasatnya yang cerdik, maka Saleh melakukan perembukan dan kerjasamanya dengan para pedagang Padangpanjang, dimana dia akan mengirimkan garam dalam jumlah kecil ketika sewa pedati meningkat. Saleh yang tidak memerlukan banyak pedati, bisa mendapatkan harga sewa yang rendah dengan memakai jasa pedati yang tak terpakai Cia Biauw. Dengan cara ini maka ia bisa menurunkan harga jualnya kepada pedagang-pedagang Darek di Padangpanjang, yang memberikannya peluang untuk memenangkan persaingan.

Besarnya jumlah garam yang dibawa Cia Biauw ke Padangpanjang, ternyata memberinya banyak kerugian. Selain tingginya harga sewa pedati yang dia bayarkan, Cia Biuaw juga harus menanggung biaya gudang serta persediaan garamnya yang cepat mencair. Iklim Padangpanjang tak memungkinkan garam untuk disimpan dalam jangka waktu lama. Meruginya Cia Biauw dalam bisnis garam di Minangkabau, membawa Saleh kepada keuntungan yang cukup besar.

Keluarga sunting

Saleh menikah 14 kali semasa hidup, tetapi tidak semua istrinya memberi keturunan. Secara keseluruhan ia memiliki 29 anak, delapan diantaranya meninggal sebelum dewasa. Keturunan Saleh tersebar di seantero Nusantara dan beberapa memiliki reputasi sebagai orang terkemuka Indonesia.

Banoeidah adalah istrinya yang memberi banyak anak, yakni sebelas. Mereka adalah Mohammad Thaib, Alimah, Asiah, Abdurrahman, Mohammad Umar, Mohammad Zainuddin, Chamsiah, Radijah, Fatimah, Mohammad Zain, dan Mohammad Hasan.

Dari Asiah, Saleh memiliki lima cucu. Cucu pertama, Soetan Mahmoed Latif menerbitkan autobiografi sang kakek dengan judul Tjoerito Parasaian Me’ Saleh gala Datoe’ Oerang Kajo Basa (1933). Cucu ketiga, Sjahbuddin Latif, adalah politikus yang menjadi Menteri Penerangan (1947–1948). Ia merupakan ayah Muhammad Zuhal, Menteri Negara Riset dan Teknologi (1998–1999).

Cucu perempuan Saleh dari Asiah, yakni Nurmali Latif dan Tjahajarani Latif. Nurmali melahirkan Djismun Kasri, Duta Besar RI untuk Kenya (2003-2008). Adapun Tjahajarani melahirkan Anas Boedjang, ayah dari Fazwar Bujang yang pernah menjadi Direktur Utama Krakatau Steel (2007–2012). Lalu, Sofyan Boedjang, atase perdagangan di KBRI London (1975–1978). Berikutnya, Rachma Fazwa Boedjang dan Nurlela Boedjang, keduanya guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Cucu yang lain yakni Mahyudin alias Buyung Ketek. Ia merupakan ayah dari Gaus Mahyudin, salah seorang mahasiswa Indonesia pertama yang berkuliah di Jepang, dan Mochtar Mahyudin, diplomat yang pernah menjadi Kuasa Usaha Kedutaan Besar RI di Jeddah.

Beberapa cucu Saleh yang lain dari Banoeidah termasuk Soetan Haroen Alrasyid (dari Radijah), seorang pegawai Kementerian Kehutanan; Soetan Hasan Basri Salim (dari Fatimah), seorang dokter di RSUP Cipto Mangunkusumo; dan Hasanah (putri Muhammad Hasan), istri Sidi Tando yang merupakan pengusaha Indonesia terkenal dengan bisnis catnya. Salah satu putra Hasanah adalah Syarief Tando, seorang pengusaha yang bergerak di bidang pertambangan, serta cucu Hasanah, Afriansyah Noor, saat ini menjabat sebagai Wakil Menteri Ketenagakerjaan.

Referensi sunting