Muhammad Gaoeng Mathias Gaung

Ma Gaung atau Muhammad Gaoeng sapaan Lama, Mathias Gaung di Masa Hindia Belanda adalah Demang Pertama Wilayah Sei Pakoe dan Sei Karraoe Dusun Tengah pulau Kalimantan Tengah sebelum pecahnya Wilayah Distrik dusun Tengah dari Tanah Bawo Wilayah Kekuasaan Dayak Lawangan yang mendiami Wilayah pinggir sungai barito.

Ma Gaung juga sebagai Patis Pamakal/ Kepala Kampoeng Beto, Afdelling Bacompaij en Doesson.

Beto adalah sebuah desa yang memiliki sejarah panjang, kampung beto adalah kampung yang tidak asing bagi kalangan suku maanyan, lawangan, dusun, maupun ngaju biaju dan melayu, kampung beto adalah salah satu kampung paling besar dan luas wilayahnya meliputi sungai paku dan sungai karau, bahkan sampai misim pesuang dan riam tampolengon sei tabalong pada masa hindia belanda.

Kampung beto adalah sejarah dimana gereja pertama perjalanan missionaris H.Sanderman grundung station of beto menceritakan melalui bukunya yang berjudul Unter Den Dajjaken Auf Beto [ bahasa jerman ] terbut th.1899 bermen. Gereja pertama di beto dibangun oleh missionaris asal jerman, setelah pecahnya perang banjar yang mrngakibatkan perselisihan terhadap belanda, sangat berdampak di kampung beto, dimana belanda missionaris mulai masuk ke beto. Banyak suku bangsa yang tinggal di beto seperti suku maanyan, lawangan, biaju, melayu atau banjar, serta bangsa jerman.

Asal mula beto, dari kata lain balai dato, dimana awalnua di bentuk oleh anak Radja Sumping dari padang kero kalimantan timur, namanya adalah Any',nyang ayau Anjang, mereka melakukan perjalanan hibah kisaran tahun 1504 sampai 1569 untuk memperluas kekuasaan bersama sodaranya Ngurang, kemudian dilanjutkan oleh penerusnya Majaun, Kemudian Maissai, dan setelahnya terbentuknya sejarah beto yang mana di pimpin oleh penerus Maissai yang Bernama Malangkun, Malangkoen di beri gelar pemimpin besar dayak lawangan di Wilayah Beto pada Tahun 1786-1859, malangkun banyak menyelamatkan orang orang dari penjajah dan dikumpulkan jadi banyak Di Wilayah beto, baik suku maanyan, lawangan, melayu, dusun, ngaju. Wilayah kekuasaan malangkun meliputi sei pakoe zeo karraoe sei tabalong batas. Malangkoen memiliki 9 anak putri bahasa lawangan Takuyung Sie, salah satu putrinya menikah dengan sultan banjar yang mrlakukan perjalanan perang menenatang belanda di Wilayah sei barito dalam masa perang banjar.

Malangkoen mengikuti perjlanan sultan banjar dalam berperang melawan belanda, sehingga kekuasaannya di wilayah beto diberikan kepada salah satu Panglima Besar Dayak bergelar Singa Djarang nama Baptis God Lief Djarang, Panglima Pertama yang dibaptis oleh bangsa jerman di wilayah beto.

Singa Djarang menikah dengan salah satu anak Malangkoen bernama Nala, dan tidak memiliki anak, sehingga Sultan banjar memberikan salah satu anaknya dari anak malangkoen, sebagai janji utang yang mana telah menyelamatkannya saat melawan belanda dan terjatuh di jurang riam tampolengoen. Anak yang diberijan bernama Muhammad Gaung, Singa Djarang Dikenal Panglima yang mempersatukan maanyan lawangan fi Wilayah sei Pakoe, suku tersebut waktu itu mengalami perselisihan yang tak kunjung selesai sampai akhirnya Panglima Singa Djarang mempersatujan mereka di Wilayahnya, maka oleh karenanya ada istilah bahasa Lawangan Pakoe, karna ada campuran bahasa lawangan dan maanyan di Wilayah Beto Pakoe, singa djarang selalu berkonsultasi kepada kepala kampoeng wilayah karraoe. Perjuangan singa djarang dilanjutkan oleh anak angkatnya yang diberikan Sultan Banjar bernama Muhammad Gaoeng, pada saat magaung masih anak anak, missionaris jerman sempat membaptisnya dan mengubah namanya menjadi Mathias Gaung.

PAHLAWAN YANG HILANG...

Mathias Gaung memimpin dari tahun 1892-1942, Magaoeng diangkat menjadi patis pamakal beto, serta menjari demang pertama Paku Karau, pada masa peperangan melawan belanda, magaoeng tidak pernah berselisih kepada bangsa bangsa asing, baik itu german, cina, arab dan lain2 yang pernah tinggal bahkan menetap di wilayah beto, namun setelah bangsa belanda memasuki beto, magaoeng mulai sadar dan menentang disebabkan pengaruh pecahnya perang banjar pada masa itu, dimana magaung menentang belanda dengan mengatakan belanda hanya kedoknya saja menyebar agama di wilayah kita, namun tujuan utamanya adalah menjajah, serta magaung tidak segan mengusir belanda dari wilayah beto, pada masa perang banjar, wilayah beto adalah wilayah paling aman dan tidak pernah diganggu, oleh sebabnya hanya missionaria yang berani masuk wilayah beto. Masyarakat awam banyak mudah di adu domba, sehingga bangsa belanda murka, dengan mengatakan siapa masih tinggal dibeto, akan terkutuk, karna sudah mengusir tokoh agama missionaris dari beto, serta kaum kafir yang menolak kristus. Bangsa belanda bekerjasama kepada pemerintah belanda untuk menghapuskan kampung beto serta menghilangkan gelar jabatan Magaoeng karna menentang belanda, magaueng tetap tegak melawan sehingga pada akhirnya beto menjadi sunyi sepi, sekolah gereja buatan belanda dan jerman sudah hancur dan roboh, hanya tersisa puing puing pondasi, dan tersisa lonceng bekas gereja, yang saat ini lonceng tersebut masih kokoh dan ada di gereja palanungkai Tamiang Layang. Magaung beralih keyakinan untuk memeluk Kaharingan untuk menghormati para leluhur serta pengikutnya, kedaton 7 tingkatan makam magaoeng sampai sekarang masih terawat di wilayah beto yang sekarang desa Paku Beto kec.paku kabupaten barito timur. Demikian sejarah singkat Magaung di Kampung Beto.