Mosehe (pensucian) adalah tradisi suku Tolaki yang dilaksanakan dalam skala besar dan diikuti oleh seluruh masyarakat. Mosehe berasal dari dua kata yaitu Mo dan Sehe yang memiliki arti melakukan sesuatu yang suci, sehingga tradisi ini bertujuan untuk mensucikan daerah dan menolak bencana dan akan dilaksanakan apabila ada suatu peristiwa yang menimpa negeri atau fenomena alam yang merugikan manusia, misalnya terjadi bencana alam, gagal panen, timbulnya wabah penyakit, keributan antar kehidupan manusia yang menimbulkan permusuhan dan kekacauan.[1]

Pada zaman dahulu, fungsi tradisi Mosehe itu sendiri adalah sebagai salah satu bentuk penyelesaian konflik pada masyarakat Tolaki yang dipengaruhi oleh pombetudaria (sumpah) oleh nenek moyang mereka. Selain itu ritual adat Mosehe adalah harapan bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa (Ombu) berkenan menerima upacara ini untuk kepentingan keselamatan dan kemaslahatan orang banyak.

Suku Tolaki dan Mekongga memiliki salah satu tradisi Mosehe yaitu ‘Mosehe Wonua’ atau Pensucian kampung yang telah dilakukan sejak abad ke-13 di masa Kerajaan Mekongga. Ritual Mosehe Wonua dilakukan saat dua kerajaan melakukan peperangan dan untuk menyucikan situasi atau semua dosa dari pertikaian dan dendam maka raja di Mekongga melakukan upacara Mosehe Wonua. Tradisi ini terus dipertahankan hingga raja-raja berikutnya yang bertahta.[2]

Sejarah sunting

Tradisi Mosehe telah berlangsung secara turun temurun sejak abad ke-XIII pada zaman pemerintahan kerajaan dan dilanjutkan oleh raja Rumbalasa, setelah usai perang melawan Kerajaan Konawe. Setelah dua kerajaan tersebut berdamai, maka akan dilakukan upacara Mosehe bersama-sama dan bersepakat untuk menikahkan putra-putri mereka, yaitu Sangia Lombo-Lombo, putra dari Raja Larumbalasa mempersunting Wungabae putri dari Buburanda Saa I Wawo Latoma.

Adapun Sangia Lomba-lomba juga pernah melaksanakan Mosehe, yaitu pada saat terjadinya peristiwa Kolombia. Pada awal abad XVII, Sangia Nilulo (Teporambe) juga mengadakan Mosehe, setelah beliau sembuh dari sakit yang berkepanjangan, dan dari sinilah awalnya sehingga mosehe dipadukan dengan Lalo Sangia yaitu acara ritual permohonan/penyembuhan kepada Sang Dewa atau Sangia agar supaya raja yang sakit dapat sembuh.

Sejarah paling tua yang diketahui terkait Mosehe adalah yang terjadi dalam ritual Moseheine pepakawia (ritual mosehe dalam perkawinan) antara seseorang dari kecamatan Lambuya dengan seseorang dari kecamatan Konawe, berdasarkan sejarah di masa lampau yang melibatkan nenek moyang orang Tolaki di kedua wilayah tersebut.[3]

I Wekasapu dan Laliasa adalah dua saudara yang berasal dari Konawe. Kemudian mereka berpisah, Wekasapu pergi ke Konawe, Laliasa pergi ke Asaki untuk mencari sagu, lalu mereka bertengkar hebat, akibat pertengkaran tersebut Wekasapu berkata bahwa selamanya anaknya tidak akan ada yang tinggal di Konawe dan selamanya pula anak cucunya tidak akan minum air dari Konawe. Wekasapu lalu ke Mowila. Namun dalam perjalanan kehidupan, terjadilah pernikahan antara kedua wilayah ini. Dengan terjadinya pernikahan itu maka sumpah tersebut harus ditawarkan melalui upacara Mosehe.

Macam-macam Mosehe sunting

Mosehe pada orang Tolaki terdiri dari lima macam yaitu :

  1. Mosehe ndiolu (upacara pensucian diri dengan memakai telur sebagai korbannya),
  2. Mosehe manu (upacara pensucian diri dengan memakai ayam sebagai korbannya),
  3. Mosehe dahu (upacara pensucian diri dengan memakai anjing sebagai korbannya),
  4. Mosehe ngginiku (upacara pensucian diri dengan memakai kerbau putih sebagai korbannya), dan
  5. Mosehe ndoono (upacara pensucian diri dengan memakai manusia sebagai korbannya).

Namun, setelah masuknya agama Islam maka Mosehe dahu dan Mosehe ndoono tidak lagi dilaksanakan. Selain itu juga ada beberapa jenis mosehe lain seperti:[3]

  1. Mosehe wonua yang dilaksanakan dengan tujuan untuk mensucikan sebuah daerah dari segala perbuatan tercela yang dilakukan oleh anggota masyarakat daerah tersebut dan sebagai upaya tolak bala dari musibah. Hewan yang dikurbankan dalam Mosehewonua adalah kerbau putih ata kerbau biasa.[4]
  2. Mosehe ndau/ndinau dilaksanakan pada saat ladang/kebun baru pertama kali dibuka dengan harapan agar padi ataupun sayuran yang ditanam di ladang baik hasilnya.
  3. Mosehe umoapi/saolowa dilaksanakan karena ada salah satu pihak dari pasangan suami istri yang melakukan perselingkuhan dengan orang lain. Sehingga untuk melaksanakan perdamaian baik antara suami isteri maupun dengan orang yang telah mengganggu rumah tangga, harus dilaksanakan Mosehe.
  4. Mosehe ine pepakawia atau mosehe dalam perkawinan umumnya disebabkan karena sumpah (pombetudari) yang pernah diucapkan oleh nenek moyang mereka.
  5. Mosehen depokono dilaksanakan jika terdapat dua belah pihak yang terlibat konflik baik antara dua individu maupun dua keluarga. Dalam konflik kemudian terjadi mombetudari (sumpah-menyumpah) yang diucapkan oleh salah satu atau kedua belah pihak.
  6. Mosehe mobeli dilaksanakan pada saat peletakan batu pertama dalam pembangunan sebuah bangunan baru.[5]
  7. Mosehe ine mate'a / mosehe dalam upacara kematian yang diadakan jika ada ucapan sumpah di masa lalu oleh seseorang ataupun dua orang yang terlibat konflik. Jika salah satunya ada yang lebih dahulu meninggal maka sebelum pengurusan pemakaman terlebih dahulu diadakan mosehe.

Prosesi sunting

Adapun dalam pelaksanaan mosehe ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan, seperti: [6]

Waktu sunting

Waktu pelaksanaan Mosehe hanya dapat digelar pada pagi hari yakni dari pukul 06.00 hingga pukul 9.00. Hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa pagi hari masih sejuk dan tujuan mosehe itu sendiri adalah mendinginkan apa yang dianggap panas, menawarkan segala sumpah dan mendamaikan orang yang berkonflik.

Tempat sunting

Untuk tempat pelaksanaan Mosehe, dapat dilaksanakan baik di dalam maupun di luar rumah tergantung jenis mosehe yang akan dilaksanakan. Zaman dahulu Mosehe pada masyarakat Tolaki yang dilaksanakan di dalam rumah, yakni Mosehe inematea (mosehe dalam upacara kematian). Sedangkan jenis Mosehe yang dilaksanakan di luar rumah, adalah Mosehe umoapi dan Mosehe ndepokono,di mana jenis Mosehe tersebut melibatkan orang banyak seperti pada kasus konflik antar kampung atau antar kelompok.

Bahan dan peralatan sunting

Dalam pelaksanaan Mosehe wanua diperlukan perlengkapan ritual yaitu Kalo sara, kerbau putih, telur, air, lilin, o kati (kain putih), tawa bite, o wua inea (buah pinang), o wule (kapur), o piso (pisau), watambundi (batang pisang) dan daun sirih.[4] Pengadaan berbagai peralatan dan bahan tersebut mengandung makna-makna tertentu,adalah sebagai berikut:

Bite Kasu (daun sirih hutan), Owule (kapur sirih) dan Inea (pinang) sunting

Daun sirih hutan digunakan karena dari rasanya yang pedas dan pahit sebagai perlambang betapa pedis dan pahitnya dosa yang telah dilakukan manusia. Perpaduan daun sirih, kapur dan pinang ini bermakna sebagai simbol kekeluargaan dan persatuan yang merupakan warisan dari nenek moyang suku Tolaki.

Batang Pisang sunting

Bagi masyarakat Tolaki batang pisang merupakan tumbuhan yang mengandung air sehingga batang pisang tersebut selalu dirasakan dingin. Terdapat pendapat dari salah satu Mbusehe (pemimpin upacara mosehe) yang mensyaratkan penggunaan pundikia/ pundi hada (pisang kera/pisang hutan), ada pula Mbusehe yang tidak mempermasalahkan jenis pisang apa saja yang akan digunakan.

Hewan kurban sunting

Ada beberapa jenis hewan yang digunakan sebagai kurban dalam ritual Mosehe yaitu kerbau putih yang kemudian dapat diganti dengan kerbau hitam atau sapi, ayam dan telur. Ada pula jenis Mosehe yang hanya mensyaratkan penggunaan satu jenis hewan kurban saja. Misalnya, Moseheumoapi mensyaratkan hewan ngginiku (kerbau)sebagai kurban.

Penggunaan kerbau putih hanyaada pada zaman dahulu ketika kerbau tersebut masih banyak populasinya. Adapun pemaknaan dari hewan kurban ini tidak berubah, sekalipun diganti dengan sapi, karena yang terpenting adalah darah hewan kurban yang dimaknai sebagai simbol pengganti darah dari mereka yang berkonflik. Sedangkan penggunaan ayam putih sebagai kurban dalam Mosehe, mengandung makna putih, suci, dan bersih. Artinya setelah Mosehe, hati mereka yang terlibat suatu konflik akan menjadi putih, bersih, dan suci, tidak lagi menyimpan dendam dan konflik.

Ada pula kurban yang berupa telur ayam kampung yang mempunyai makna bahwa dalam cangkang telur terdapat bakal ayam, kemudian dipecahkan dan bermakna bahwa ayam yang ada di dalam telur kemudian terbang dan membawa pergi segala dendam, sakit hati, dan konflik.

Oduku (Nyiru) sunting

Oduku atau nyiru adalah sebagai tempat untuk sesajian di atas, termasuk telur. Dahulu oduku yang dipakai terbuat dari daun pandan, bambu, atau rotan dan bukan plastik. Penggunaan oduku memiliki makna, bahwa masyarakat Tolaki adalah satu kesatuan yang utuh. Sekarang oduku bisa diganti dengan kapara (dari bahan logam).

Iwoi dan Osere (Air dan Cerek) sunting

Air digunakan untuk menyiram seluruh bahan mosehe, karena mereka meyakini bahwa air sifatnya dingin, sejuk dan melarutkan serta membawa segala yang dilaluinya.

Taawu (Parang Tolaki) dan Opiso (Pisau) sunting

Peralatan mosehe lainnya yang dibutuhkan adalah parang khusus yang oleh orang Tolaki menyebutnya sebagai taawu.

Pondotono (doa) sunting

Pondotonao (doa) dalam mosehe merupakan unsur yang penting karena merupakan suatu permohonan Yang Maha Kuasa agar konflik yang terjadi dapat didamaikan. Doa-doa ini diucapkan oleh mbusehe.

Pihak yang terlibat sunting

Pada tahap pra mosehe, pihak yang terlibat adalah orang-orang yang melakukan proses mediasi namun pihak yang paling berperan adalah para tokoh adat/toono motuo (orang yang dituakan di kampung), serta para keluarga dari pihak yang terlibat konflik. Proses mediasi yang dilakukan oleh tokoh adat adalah dengan memberikan nasehat agar dapat kembali terjalin silaturahmi.

Referensi sunting

  1. ^ Sabil, Muh (2021-07-04). "Mosehe Wonua, Tradisi yang Diyakini Dapat Mensucikan Daerah dan Menolak Bencana". telisik.id. Diakses tanggal 2022-08-22. 
  2. ^ "'Mosehe Wonua' Tradisi Tolak Bala Kuno di Sultra, Sudah Ada Sejak Abad ke-13". kumparan. Diakses tanggal 2022-08-23. 
  3. ^ a b "Warisan Budaya Takbenda | Beranda". warisanbudaya.kemdikbud.go.id. Diakses tanggal 2022-08-22. 
  4. ^ a b Bustar (2022). Mosehe Wonua (Kajian atas Ritual Tolak Bala dan Diskursus di Kalangan Tokoh Adat dan Agama dalam Masyarakat Tolaki-Mekongga di Kolaka) (PDF). Makassar: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR. ISBN Tesis Periksa nilai: invalid character |isbn= (bantuan). 
  5. ^ Admin (2016-10-06). "Ritual Mosehe, Awali Pembangunan RSUD Konawe". SultraKini.com. Diakses tanggal 2022-08-23. 
  6. ^ Hafid, Abdul; Raodah (2018-06-01). "PENERAPAN MOSEHE DALAM PENYELESAIAN KONFLIK OLEH MASYARAKAT TOLAKI DAN MASYARAKAT PENDATANG DI KABUPATEN KONAWE PROVINSI SULAWESI TENGGARA". Walasuji. 9 (1): 37–51.