Millenium Pharmacon International

perusahaan asal Indonesia
(Dialihkan dari Millenium Pharmacon Int.)

PT. Millenium Pharmacon International Tbk (disingkat MPI, IDX: SDPC) adalah sebuah perusahaan publik yang bergerak di bidang farmasi, terutama pada bidang distribusi hasil produksi sejumlah perusahaan, seperti PT LAPI LABORATORIES, PT Mestika Pharma, PT Pharos Indonesia dan PT Danpac Pharma dengan 33 cabangnya.[1] Produk yang distribusikan meliputi produk farmasi, suplemen makanan dan produk diagnostik.[2]

PT. Millenium Pharmacon International Tbk
Publik (IDX: SDPC)
Industridistribusi
Kantor
pusat
Jakarta, Indonesia
Produkdistribusi
Karyawan
740
Situs webwww.mpi-indonesia.co.id Sunting ini di Wikidata

Manajemen sunting

  • Komisaris Utama: Joefly Joesoef Bahroeny
  • Komisaris: Datuk Zulkarnain bin Md Eusope
  • Komisaris: Najmil Faiz bin Mohamed Aris
  • Komisaris Independen: Paulino Taylor
  • Komisaris Independen: Muhammad Rusjdi
  • Komisaris Independen: Sarah Azreen binti Abdul Samad[3]
  • Direktur Utama: Ahmad bin Abu Bakar
  • Direktur Keuangan: Mohamad Fazly bin Hasan[4]

Kepemilikan sunting

  • Pharmaniaga International Corp. Sdn. Bhd.: 73,43%
  • PT Danpac Pharma: 12,65%
  • PT Indolife Pensiontama: 3,36%
  • PT Ngrumat Bondo Utomo (perusahaan keluarga Soedarpo): 1,86%[5]
  • Publik: 8,7%[6]

Sejarah sunting

MPI sendiri didirikan pada 20 Oktober 1952 oleh Soedarpo Sastrosatomo dan istrinya, Minarsih Soedarpo dengan nama NV Perseroan Dagang (NVPD) Soedarpo Corporation.[7] Bisnis ini adalah usaha pertama Soedarpo sebelum ia memiliki perusahaan pelayaran Samudera Indonesia. Dengan modal Rp 100.000, Soedarpo terjun ke bisnis karena merasa bisnis penting bagi penentuan kebijakan negara, terutama bagi membebaskan bangsa dari pengaruh asing.[8] Usaha awalnya saat itu adalah impor kertas, alat-alat kantor, dan beras serta tepung karena menurutnya itulah bisnis yang ia ketahui saat itu.[9][10] Soedarpo sendiri mengakuisisi beberapa hak impor tersebut dari partner lamanya, yaitu Zorro Corp. milik seorang WNA bernama Matthew Fox. Ia lalu bekerjasama mengelola bisnisnya dengan Fox, yang saat itu memang terpaksa karena perusahaan lamanya tidak bisa membangun bisnis saat itu karena dimiliki WNA.[11] Merek-merek yang sempat diimpornya antara lain Dodge, Wiliys Jeep, RCA dan Remington.[12] Pada masa Orde Baru, bisnis Soedarpo pun berkembang dengan terjun ke sektor lain, terutama teknologi informasi yang merupakan pengembangan dari bisnis importir alat kantor sebelumnya. Bisnis ini dipegang oleh PT Sumber Daya Praweda Indonesia dan PT Praweda Ciptakarsa Informatika,[13] yang mulai dikembangkan dari 1985-1988.[14] Awalnya, usaha Soedarpo Corp di bidang ini cukup sukses,[15] terbukti dari dipercayainya perusahaan ini oleh sejumlah perusahaan teknologi besar seperti Unisys untuk menjadi agen produk-produknya di Indonesia.[16]

Pada tanggal 21 Februari 1990, nama perusahaan disederhanakan menjadi PT Soedarpo Corporation, dan pada 7 Mei di tahun yang sama, PT Soedarpo melepas 38,46% sahamnya ke masyarakat di Bursa Efek Jakarta (kini BEI). Kode SDPC sendiri berasal dari singkatan nama perusahaan saat itu.[7] PT Soedarpo kemudian berkembang juga sebagai distributor perusahaan farmasi, menjadi satu dari 10 distributor terbesar di Indonesia saat itu. 60% pendapatannya kemudian berasal dari farmasi, dan perusahaan ini menjadi distributor bagi 7 perusahaan farmasi, termasuk Merck.[17] Akan tetapi, di saat yang sama, bisnis impor dan keagenan produk IT sendiri mulai mengalami penurunan, menyebabkan keuangannya berubah dari untung Rp 2 miliar pada 1992 menjadi rugi Rp 4,7 miliar pada 1995.[18] Merger dua anak usahanya di bidang IT, PT Praweda dan PT Sumber Daya pun, kurang berhasil menghadapi tantangan yang ada di bidang komputer, termasuk pesaing baru. Malahan, keuntungannya makin sulit menutupi kerugian di bisnis tersebut.[16]

Akibat kondisi keuangan yang semakin memburuk, pada Juni 1997, Soedarpo Sastrosatomo terpaksa menjual saham perusahaannya itu kepada BUMN keuangan, PT Danareksa sebesar Rp 15,8 miliar. Danareksa sendiri menargetkan dalam 1-2 tahun PT Soedarpo sudah bisa untung kembali, dan kemudian mulai memfokuskan bisnisnya pada farmasi karena dianggap lebih menguntungkan.[19][20] Danareksa sendiri membeli 51% saham Soedarpo, meningkatkan kepemilikan dari sebelumnya yang cukup kecil.[21] Keluarga Soedarpo sendiri hanya mendapat 15% saham setelah penjualan, dan kemudian membangun bisnis komputer/IT-nya kembali dengan perusahaan lain.[22] Saham keluarga Soedarpo pun makin mengecil dengan penjualan sahamnya ke Danareksa pada 30 November 1999, yang meningkatkan kepemilikannya menjadi 73,45%.[23] Seiring dengan perubahan fokus usaha menjadi di bidang farmasi, pada 12 September 2000 nama perusahaan diganti menjadi nama saat ini.[7]

Kepemilikan Danareksa sendiri tidak bertahan lama. Pada 12 September 2000, saham Danareksa terdilusi dengan masuknya PT Tigamitra Multikarya lewat rights issue yang kemudian memegang 55% saham, sebagai rangka pembayaran utang.[23][24] Kemudian di tahun 2002, diungkapkan bahwa saham Danareksa (27%) akan dijual kepada perusahaan Eropa sebagai investor strategis, dan kemudian menghilang.[25] Tidak lama kemudian, akhirnya saham Tigamitra di MPI diakuisisi oleh Pharmaniaga International Corporation Sdn. Bhd. Malaysia (anak usaha farmasi Boustead Holdings Bhd., perusahaan milik tentara Malaysia), untuk dijadikan strategic business unit.[26] Akuisisi lewat anak usaha Pharmaniaga, Esteem Interpoint Sdn. Bhd. ini selesai pada 3 Desember 2004, menjadikannya pemegang saham pengendali sampai sekarang.[7]

Rujukan sunting

Pranala luar sunting