Memento mori (berasal dari bahasa Latin yang bermakna 'ingatlah bahwa Anda [akan] mati'[2]) adalah sebuah kiasan artistik atau simbolis sebagai pengingat bahwa kematian adalah sesuatu yang tidak terhindarkan.[2] Konsep ini berakar pada filsuf kuno klasik dan Kristen. Konsep ini juga muncul dalam seni dan arsitektur penguburan dari periode abad pertengahan dan seterusnya.

Panel luar dari karya Rogier van der Weyden, Braque Triptych (ca 1452) yang menunjukkan tengkorak yang dipajang di panel dalamnya. Tulang-tulangnya bertumpu pada batu bata, sebuah simbol dari kerja keras dan pencapaiannya sebelumnya.[1]

Ragam hias yang paling umum adalah tengkorak yang sering disertai dengan satu tulang atau lebih. Seringkali ini saja sudah cukup untuk menunjukkan kiasan tentang kematian. Akan tetapi, ragam hias lain seperti peti mati, jam pasir dan bunga layu juga menandakan ketidakkekalan kehidupan manusia. Seringkali, bentuk-bentuk ragam hias ini berfungsi dalam sebuah karya yang subjek utamanya adalah sesuatu yang lain, seperti sebuah lukisan, tetapi vanitas adalah genre artistik di mana tema kematian adalah subjek utama. Danse Macabre dan Kematian yang dipersonifikasikan juga dianggap lebih langsung membangkitkan kiasan tentang kematian.

Momento mori. Sebuah prasasti batu nisan (1746). Edinburgh. Halaman Gereja St. Cuthbert.

Sejarah

sunting

Zaman klasik

sunting

Filsuf Democritus mempraktikkan kehidupan yang menyendiri dan mengunjungi makam.[3] Dalam karya Plato tentang Phaedo (memuat cerita tentang kematian Socrates), diperkenalkan gagasan bahwa praktik filsafat yang tepat adalah "segala sesuatu tentang kematian".[4]

Salah satu tema utama dalam pemikiran Stoikisme kuno klasik adalah tentang kematian. Dalam surat-surat Seneca, ditemukan banyak perintah untuk merenungkan tentang kematian.[5] Filsuf Stoik Epictetus memberi tahu murid-muridnya bahwa ketika mencium anak, saudara laki-laki, atau teman mereka, mereka harus mengingat bahwa semua orang-orang dekat mereka ini tidak kekal. Selain itu, ia juga mengingatkan agar membatasi kesenangan mereka, seperti halnya "mereka yang berdiri di belakang manusia dalam kemenangan mereka dan mengingatkan mereka bahwa mereka adalah tidak abadi".[6] Pemikir Stoik lainnya Marcus Aurelius mengajak pembaca untuk "merefleksikan betapa tidak kekal namun berartinya semua hal fana ini" dalam karyanya, Meditasi.[7][8]

Dalam beberapa kisah tentang kemenangan Romawi Kuno, seorang rekan atau budak publik berdiri di belakang atau di dekat jenderal yang menang selama pawai kemenangannya dan mengingatkannya tentang kematian.[9] Versi peringatan ini diterjemahkan menjadi "Ingat, Caesar, engkau fana", misalnya dalam Fahrenheit 451.

Referensi

sunting
  1. ^ Campbell, Lorne. Van der Weyden. London: Chaucer Press, 2004. 89. ISBN 1904449247
  2. ^ a b Literally 'remember (that you have) to die', Oxford English Dictionary, Third Edition, June 2001.
  3. ^ Diogenes Laertius Lives of the Eminent Philosophers, Book IX, Chapter 7, Section 38
  4. ^ Phaedo, 64a4.
  5. ^ See his Moral Letters to Lucilius.
  6. ^ Discourses of Epictetus, 3.24.
  7. ^ Henry Albert Fischel, Rabbinic Literature and Greco-Roman Philosophy: A Study of Epicurea and Rhetorica in Early Midrashic Writings, E. J. Brill, 1973, p. 95.
  8. ^ Marcus Aurelius, Meditations IV. 48.2.
  9. ^ Beard, Mary: The Roman Triumph, The Belknap Press of Harvard University Press, Cambridge, Mass., and London, England, 2007. (hardcover), pp. 85–92.

Pranala luar

sunting