Masjid Keramat Pelajau

masjid di Indonesia

Masjid Keramat Pelajau adalah salah satu masjid tertua di Provinsi Kalimantan Selatan, Indonesia.[1] Masjid yang terletak di Desa Palajau, Kecamatan Pandawan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah ini dikelola masyarakat secara swadaya dan memiliki luas 400 meter persegi. Masjid ini merupakan bukti dari perjuangan melawan penjajah Belanda pada masa lalu khususnya di Kalimantan Selatan.[2] Keberadaan masjid ini cukup berarti bagi masyarakat Pelajau yang taat beribadah dan agamis. Selain menjadi tempat ibadah mahda, juga menjadi pusat berkembangnya peradaban umat Islam di Barabai, umumnya di Kalsel.

Masjid Keramat Palajau
Papan penanda cagar budaya
Masjid Keramat Pelajau tampak samping

Letak masjid ini berada di desa Pelajau, Kecamatan Pandawan yang berjarak kurang lebih 3 kilometer hingga 5 kilometer ke arah barat laut dari Kota Barabai, ibu kota Kabupaten Hulu Sungai Tengah.[2]

Sejarah sunting

Penulis buku "Sejarah Mesjid Keramat Pelajau Barabai" Meldy Muzada Elfa, mengungkapkan sejarah berdirinya Mesjid Keramat dimulai dari telah dikenalnya Kampung Pelajau yang memiliki sungai sejak abad ke-13 Masehi yang mulanya sungai tersebut bernama Palayarum,[1] namun sungai tersebut kini sudah mati.[3]

Palayarum, sebuah nama yang diambil dari sungai di pegunungan Meratus. Namun keberadaan sungai Palayarum sekarang sudah mati dan ditumbuhi oleh pohon-pohon rumbia. Padahal sebelumnya air mengalir dari Pegunungan Meratus melalui Sungai Batang Alai, Sungai Palayarum ini menjulur ke Sungai Buluh sampai ke Negara dan terus ke Banjarmasin yang merupakan pusat dari Kerajaan Banjar.[1]

Di sebuah daerah di lereng Pegunungan Meratus yang bertemu dengan dataran rendah ini, terdapat pusat kediaman penduduk yang tertua di Kalimantan Selatan. Memanjang dari utara ke selatan yaitu Muara Tabalong, Kelua sampai pada Amuntai atau yang lebih dikenal dengan Negara Daha. Sungai Alai Birayang dengan ranting sungai-sungainya seperti Sungai Kambat dan Sungai Palayarum yang semakin mengalami pendangkalan karena erosi.[2]

Sungai Palayarum dahulu merupakan satu-satunya urat nadi perhubungan yang dapat dilayari oleh para pedagang. Sambil berdakwah menyiarkan agama Islam, di tepi sungai yaitu di tempat yang disebut Pelajau tumbuh sebatang pohon kayu besar yang rimbun. Di bawah pohon tua itu dibangun tempat peristirahatan yang sangat sederhana, dan pohon kayu tersebut kemudian dinamai Pelajau.[2]

Tradisi sunting

Setiap tahun, utamanya saat hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, di masjid terdapat sebuah tradisi bernama "Batumbang". Proses batumbang antara lain membawa bayi yang telah berumur sejak lahir hingga kurang lebih satu tahun ke masjid, kaum remaja mengangkat si bayi dan kemudian menjejakkan kaki si bayi tersebut ke atas tangga mimbar tempat Khatib berkhutbah.[4][5]

Kemudian si bayi dikembalikan kepada orang tuanya disambung acara menghamburkan uang receh untuk diperebutkan anak-anak yang ada, dilanjutkan acara salat dan doa yang dipimpin oleh kaum masjid yang diiringi dan diamini keluarga si bayi dan orang-orang sekitar yang mengikuti kegiatan ini.[4]

Terakhir, membagikan kue apam ke masing-masing hadirin untuk dimakan bersama-sama dengan harapan kiranya rahmat dan berkah dari Allah SWT senantiasa tercurah.[5]

Referensi sunting

  1. ^ a b c Mesjid Keramat Tertua di Kalsel. Antara Kalsel. Diakses pada 13 Juni 2012
  2. ^ a b c d Mesjid Keramat Pelajau, Bangunan Mesjid Kelima Kerajaan Islam Demak. Situs Pemkab Hulu Sungai Tengah. Diakses pada 13 Juni 2012
  3. ^ Mesjid Keramat Palajau, Pandawan, HST. Radar Banjarmasin, 8 Agustus 2011. Diakses pada 28 Juli 2012
  4. ^ a b Tradisi "Batumbang" di Mesjid Keramat. Situs Pemkab Hulu Sungai Tengah. Diakses pada 13 Juni 2012
  5. ^ a b Batumbang, Tradisi Sebelum Menginjak Bumi[pranala nonaktif permanen]. KOMPAS. Diakses pada 13 Juni 2012