Maras Taun adalah salah satu adat istiadat yang dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat Belitung. "Maras" berarti kegiatan membersihkan duri-duri kecil pada tanaman. Yang dimaksud dengan membersihkan duri adalah kegiatan membersihkan atau menyelesaikan semua masalah. Sedangkan "Taun" berarti tahun. Dapat disimpulkan bahwa, Maras Taun berarti pergantian tahun, dari tahun lama ke tahun baru. Ritual ini nantinya akan dipimpin oleh dukun (pemangku adat) bersama masyarakat.[1]

Maras Taun
Maras Taun
Jenisupacara adat
Dimulaitidak diketahui dengan pasti.
Berakhirsekarang
Frekuensisetiap tahun
LokasiBelitung
Tahun aktif2023
Terakhir diadakan2023
Acara sebelumnyatidak diketahui dengan pasti.
Acara berikutnya2024
Pesertamasyarakat tradisional Belitung
Hadirinsemua masyarakat tradisional Belitung
Anggaranseharga lepat besar
Badan pelindungdukun kampong dan kepala desa
Tokohmasyarakat Belitung
Anggotamasyarakat Belitung
Situs webhttps://www.detik.com/sumbagsel/budaya/d-7010013/serba-serbi-maras-taun-tradisi-usai-panen-dari-belitung
pulau belitung

Asal Mula Maras Taun sunting

Asal mula tradisi Maras Taun tidak diketahui dengan pasti. Seiring dengan pola pikir masyarakat tradisional Belitung, hadir dan berkembanglah tradisional ini. Awal mulanya, masyarakat Belitung yang berada di bagian pedalaman daratan, hidup secara berkelompok mendiami wilayah pemukiman yang disebut dengan "kubok" dan "parong". Awal mulai Pembukaan "kubok" dan "parong" bermula dari masyarakat yang membuka hutan untuk berladang padi, padi inilah yang digunakan sebagai sumber makanan utama Masyarakat Belitung.

Penghuni kubok merupakan sebuah perkampungan kecil yang awal mulanya berasal dari sebuah kelompok kecil dari sebuah keluarga, yang kemudian berkembang menjadi beberapa keluarga. Kubok dipimpin oleh seseorang yang lebih berpengalaman/dituakan dalam perkampungan, yang disebut dengan "kepala kubok". Lebih berpengalaman/dituakan artinya memiliki kepribadian baik, termasuk ilmu perdukunan, karenanya ketua kelompok ini nantinya, juga otomatis akan merangkap tugasnya menjadi "dukun" yang akan melindungi warganya.

Sedangkan penghuni parong merupakan sebuah kelompok keluarga yang berasal lebih dari 1 keluarga/beberapa keluarga dengan jumlahnya yang banyak. Sehingga, pada akhirnya terbentuklah sebuah perkampungan. "kubok" dan "parong" dipimpin oleh seorang ketua adat yang dituakan. Yang disebut kepala kubok dan kepala parong.

Lama kelamaan, "kubok" dan "parong" bertambah populasinya dan berkembang menjadi sebuah perkampungan, dengan adanya perkampungan ini, maka dukun tersebut tetap menjalankan tugasnya sebagi dukun sekaligus merangkap tugasnya sebagai kepala kampung. Sekarang, dalam masyarakat Belitung dikenal adanya "dukun kampong". Pola ini menjadi tradisi hingga sekarang, bahwa di setiap kampung harus terdapat seorang dukun kampong di samping adanya kepala desa atau lurah sebagai pimpinan adminisratifnya.

Sebagai ungkapan rasa syukur atas panen padi inilah kemudian diadakan kegiatan ritual Maras Taun[2] pada setiap tahunnya. Dalam ungkapan rasa syukur ini masyarakat mengucap rasa syukur dengan diadakannya acara dan berharap keberhasilan panen di tahun mendatang. Rasa syukur ini pada awalnya disebut dengan "berselamatan tahun". Dalam tradisi ini, akan diadakannya pemotongan lepat besar. Lama kelamaan tradisi ini disebut dengan Maras Taun.[3]

Makna Dalam Tradisi Maras Taun sunting

Makna yang terdapat di tradisi Maras Taun di pulau Belitung adalah bahwa sebagai manusia, kita diharuskan untuk selalu menjaga alam, saling menghormati terhadap sesama, terlebih pada leluhur dan jangan lupa untuk mengucap rasa syukur atas sesuatu yang sudah diberikan Tuhan Yang Maha Esa

Kegiatan tradisi Maras Taun di pulau Belitung mengandung makna tertentu. Tradisi ini, biasanya berlangsung selama 3 sampai 7 hari.

Tradisi Maras Taun dibuka dengan pelaksanaan tarian dan menyanyikan lagu Maras Taun bersama-sama untuk mengiringi tarian. Setelah tarian berakhir, seorang kepala desa akan memimpin masyarakat untuk berdoa. Setelah itu, Kepala suku membakar sebatang gaharu, berdoa dan memberkati dua lembar daun kesalan (daun suci). Setelah itu, daun kesalan tersebut nantinya diberikan kepada masyarakat. Dengan daun kesalan yang sudah di berkati tersebut, masyarakat bisa menyebarkan daun kesalan tersebut di sekitar rumah dan perahu mereka karena mereka percaya bahwa daun kesalan membawa keberuntungan.

Hari terakhir tradisi Maras Taun merupakan puncak kegiatan. Sebelum puncak kegiatan, masyarakat yang hadir akan menyaksikan berbagai macam pertunjukan, khususnya "kesenian tradisional Belitung". Selain kesenian tradisional belitung, pentas musik modern, atau yang biasa disebut Organ Tunggal, juga hadir dalam memeriahkan Upacara adat ini.

Tradisi Maras Taun bertujuan untuk mencari keselamatan kampung. Tradisi ini diadakan setiap tahun dengan seluruh warga berkumpul bersama-sama dengan seorang "dukun kampung" untuk berdoa bersama. Jadi, Maras Taun merupakan tradisi yang masih dianggap sakral oleh masyarakat Belitung.[4]

Referensi sunting

  1. ^ "Dinas Kebudayaan & Pariwisata | Kabupaten Belitung Timur". disbudpar.belitungtimurkab.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-10-22. Diakses tanggal 2021-10-22. 
  2. ^ Belitong Nture Of Paradise. Jakarta: Elex Media Coputindo Kelompok Grmaedia. 2016. hlm. 15. ISBN 978-602-02-7835-3. 
  3. ^ "Warisan Budaya Takbenda | Beranda". warisanbudaya.kemdikbud.go.id. Diakses tanggal 2021-10-22. 
  4. ^ "Pemerintah Kabupaten Belitung". portal.belitung.go.id. Diakses tanggal 2021-10-22. 

Lihat Pula sunting