Manajemen keuangan syariah

Manajemen keuangan syariah adalah manajemen keuangan yang mengelola keuangan berdasarkan syariat Islam.[1]

Sejarah awal sunting

Manajemen keuangan syariah pertama kali diperkenalkan pada abad ke-17 oleh Nabi Muhammad. Ia menerapkannya pada keuangan negara ketika menjabat sebagai kepala negara Islam. Pada masa tersebut, kekayaan negara terlebih dahulu dikumpulkan. Setelah terkumpul, barulah kekayaan negara tersebut digunakan sesuai dengan kebutuhan negara. Sumber pendapatan negara pada saat itu utamanya berasal dari kharaj, zakat, khumus, jizyah. Selain itu, terdapat pula sumber pendapatan lain seperti kafarat dan harta waris.[2] Pengumpulan dana dilakukan oleh sebuah lembaga yang bekerja di dalam Masjid Nabawi. Lembaga yang disebut baitulmal. Pendapatan negara ini disimpan di baitulmal dalam waktu singkat untuk kemudian dibagikan kepada masyarakat. Dana tersebut ditujukan untuk kepentingan penyebaran Islam, pendidikan dan kebudayaan. Pada masa ini hanya sedikit orang yang mampu membaca, menulis dan memahami aritmatika sederhana. Akibatnya, pendapatan negara secara keseluruhan tidak tercatat dengan sempurna.[3]

Prinsip sunting

Ketentuan Al-Qur'an sunting

Di dalam Al-Qur'an telah dijelaskan mengenai prinsip-prinsip manajemen keuangan syariah melalui kegiatan perdagangan. Prinsip-prinsip ini yaitu saling rida, keadilan, persaudaraan universal, investasi halal, pelarangan riba dan pelarangan pelalaian ibadah. Prinsip saling rida berarti bahwa setiap kegiatan perdagangan harus didasarkan kepada keridaan oleh semua pihak yang terlibat. Kegiatan perdagangan harus tidak merugikan atau menzalimi pihak manapun. Prinsip keadilan berkaitan dengan keadilan terhadap takaran, timbangan, nilai tukar dari mata uang, maupun pembagian keuntungan. Prinsip persaudaraan universal berkaitan dengan kasih sayang dan sikap tolong-menolong yang berlaku secara universal. Prinsip investasi halal berarti bahwa kegiatan perdagangan tidak boleh dalam investasi atas bisnis yang haram dan harus investasi yang halal. Jenis investasi haram seperti perdagangan narkoba dan pornografi. Prinsip investasi halal juga berlaku bagi komoditas perdagangan. Prinsip larangan riba berarti bahwa perdagangan tidak boleh melakukan kegiatan gharar, tadlis, dan maisir. Sedangkan prinsip pelarangan pelalaian ibadah berarti kegiatan perdagangan tidak boleh melalaikan seseorang dari kegiatan ibadah kepada Allah. Pelalaian ini utamanya berlaku pada salat, zakat dan zikir.[4]

Ketentuan sistem manajemen keuangan sunting

Prinsip pada sistem manajemen keuangan syariah didasarkan kepada syariat Islam yang diajarkan di dalam Al-Qur'an dan sunnah. Terdapat beberapa prinsip ditinjau dari sistem manajemen keuangan syariah yaitu larangan suku bunga, uang sebagai modal potensial, berbagi risiko, larangan perilaku spekulatif, kesucian kontrak, aktivitas sesuai syariat Islam, dan keadilan sosial.[5]

Manajemen investasi sunting

Manajemen investasi syari’ah merupakan kegiatan mengelola modal atau sumber daya ekonomi untuk keperluan masa depan. Keperluan masa depan ini berkaitan dengan masa depan di dunia maupun di akhirat. Manajemen investasi syariah dikelola berdasarkan syariat Islam dan prinsip-prinsip yang diajarkan oleh Nabi Muhammad.[6] Prinsip dasar dari manajemen investasi syariah adalah perencanaan yang baik dan usaha yang disertai dengan kerja keras.[7] Kegiatan investasi termasuk bagian dari muamalah. Jenis investasi yang dapat diterima hanya yang tidak dilarang secara gamblang maupun dinyatakan yang tidak dinyatakan secara jelas berdasarkan dalil Al-Qur’an dan hadits.[8]

Lembaga keuangan sunting

Bank syariah sunting

Bank syariah adalah jenis bank yang menerapkan aturan syariat Islam. Keuangan di bank syariah tidak menerapkan sistem riba, tetapi menggunakan sistem bagi hasil sebagai penggantinya.[9] Bagi hasil di dalam bank syariah dilakukan baik pada keadaan memperoleh keuntungan maupun kerugian.[10] Bank syariah memberlakukan sistem bagi hasil ke semua jenis produk keuangan. Larangan yang berlaku pada produk-produk tersebut adalah kegiatan riba, gharar, dan maisir. Ini berdasarkan kepada firman Allah di dalam Al-Qur'an pada Surah Ali Imran ayat 130.[11] Selain sistem bagi hasil, bank syariah juga mengadakan kegiatan jual beli dan sewa.[12]

Pembiayaan pada bank syariah dibedakan menjadi tiga macam, yaitu mudharabah, musyarakah dan ijarah. Mudharabah adalah pembiayaan yang berdasarkan kepada prinsip bagi hasil, sedangkan musyarakah berdasarkan prinsip penyertaan modal. Sedangkan ijarah dikhususkan pada pembiayaan barang modal yang berdasarkan sewa murni tanpa pilihan. Selain itu, bank syariah menerapkan murabahah dalam prinsip jual beli. Terdapat pula pilihan untuk mengalihkan hak kepemilikan atas barang yang disewa oleh pihak lain dari pihak bank.[13]

Referensi sunting

Catatan kaki sunting

  1. ^ Sobana 2017, hlm. 21.
  2. ^ Sobana 2017, hlm. 23.
  3. ^ Sobana 2017, hlm. 23-24.
  4. ^ Sobana 2017, hlm. 21-22.
  5. ^ Sobana 2017, hlm. 22-23.
  6. ^ Aziz 2010, hlm. 56-57.
  7. ^ Aziz 2010, hlm. 57.
  8. ^ Aziz 2010, hlm. 57-58.
  9. ^ Abdullah dan Wahjusaputri 2018, hlm. 50.
  10. ^ Abdullah dan Wahjusaputri 2018, hlm. 185.
  11. ^ Wahyu, A. Rio Makkulau (2019). Bank Islam di Indonesia (PDF). Surakarta: CV Kekata Group. hlm. 4. ISBN 978-602-476-243-8. 
  12. ^ Ascarya dan Yumanita, D. (2005). Bank Syariah: Gambaran Umum. Jakarta: Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan, Bank Indonesia. hlm. 1. ISBN 979-3363-16-9. 
  13. ^ Sumartik dan Hariasih, M. (2018). Sartika, Septi Budi, ed. Buku Ajar Manajemen Perbankan (PDF). Sidoarjo: UMSIDA Press. hlm. 21–22. ISBN 978-602-5914-04-1. 

Daftar pustaka sunting