Madrasah Qudsiyyah

sekolah di Indonesia

Madrasah Qudsiyyah adalah salah satu sekolah berbasis pendidikan Islam. Kurikulum yang diajarkan pada sekolah ini 80% berbasis salaf dengan menggunakan kitab klasik, atau yang lebih sering disebut dengan Kitab Kuning. Sekolah ini merupakan sekolah tertua di Kudus, didirikan oleh salah satu pendiri organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama, yaitu K. H. R. Asnawi pada tahun 1919 M. Pertama kali didirikan sekolah ini murni menggunakan kurikulum lokal berbasis Islam seperti:

  • Nahwu
  • Shorof
  • I'lal
  • I'rob
  • Tauhid
  • Fiqih
  • Ushul Fiqih
  • Manthiq
  • Balaghoh
  • Qiro'ah Sab'ah
  • Tafsir
  • Hadits
  • dan lain-lain

Seiring tuntutan perkembangan zaman, untuk tetap bertahan sebagai lembaga pendidikan formal, Qudsiyyah mulai mengadopsi kurikulum pendidikan dari DIKNAS, seperti: bahasa Indonesia, Matematika, PPKn, dan lain-lain.

Sejarah Singkat Madrasah Qudsiyyah

Sumber: Arsip Qudsiyyah || Perubahan terakhir: 2010-10-21

1. Masa Formulasi (1917 M-1943) M.

Madrasah Qudsiyyah, sebagai salah satu madrasah tertua di Kudus, mempunyai sejarah yang cukup panjang. Madrasah Qudsiyyah tidak serta-merta hadir dan menjadi besar, melainkan mengalami proses jatuh bangun yang cukup melelahkan.

Sebelum Budi Utomo menggelorakan Kebangkitan Nasional pada 1920 M, Madrasah Qudsiyyah telah berdiri tegak mengembangkan sayap-sayap pendidikan agama yang antipenjajah. Tercatat sejak 1917 M, kegiatan belajar mengajar telah dimulai, walaupun saat itu belum memiliki nama dan tempat belajar yang pasti. Dua tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1919 M, yang bertepatan dengan tahun 1337 H, Madrasah Qudsiyyah resmi didirikan oleh K. H. R. Asnawi.

K. H. R. Asnawi adalah keturunan dari Sunan Kudus yang ke XIV dan keturunan ke lima dari K. H. A. Mutamakin. Wali pada zaman Sultan Agung Mataram di Kajen Margoyoso Pati. Wajar saja apabila yang dilaksanakan dia tidak jauh beda dari para pendahulunya. Baik dari pola pendidikan dan dimensi penegakan reputasi agama Islam.

Nama asli K. H. R. Asnawi adalah Ahmad Syamsi, kemudian berganti nama lagi menjadi Ilyas. Gelar raden yang juga disebut sebelum nama Asnawi mempunyai arti sendiri. Raden sebagaimana ditentukan oleh keluarga adalah sebutan dari anak turun (dzurriyah) Nabi Muhammad yang sudah terpotong oleh nasab puteri. Berbeda dengan sayyid, kalau sayyid semuanya sambung dari nabi hingga yang bersangkutan dari anak laki-laki.

Sedangkan panggilan kiai yang disematkan kepada dia lebih karena partisipasi dia dalam masyarakat. Ini setidaknya tampak dari dua sisi. Pertama, K. H. R. Asnawi memang seorang yang faqih dan benar-benar ahli dalam bidang agama. Ke dua, K. H. R. Asnawi adalah pemangku dan pengasuh pondok pesantren sebagai pemimpin agama. K. H. R. Asnawi tidak mau menjauh dari kebutuhan umat. Bahkan dia terkenal sangat memiliki sifat marhamah. Wibawanya besar, galak, keras dalam menetukan hukum, lebih-lebih terhadap anak-anak seusia 4-6 tahun.

Dalam konteks mendidik ini pula Qudsiyyah didirikan. Gedung Madrasah Qudsiyyah yang didirikan K. H. R. Asnawi saat itu berada di Kompleks Masjid Al-Aqsha, tepatnya di depan gapura masuk Menara Kudus.

Nama Qudsiyyah diambil dari kata Quds yang berarti suci dan sekaligus nama kota tempat kelahiran madrasah tersebut. Nama tersebut digunakan dengan maksud agar apa yang diajarkan serta diamalkan dalam madrasah menjadi benar-benar suci dan murni tidak dicampuradukkan dengan yang kurang baik.

Dalam perjalanan panjang tentang sejarah madrasah, kondisi madrasah pada masa penjajahan Belanda diurus oleh Departemen voor Inlandsche Zaken, sebuah departemen pengajaran agama di lembaga pendidikan Islam (pesantren dan madrasah). Namun, Madrasah Qudsiyyah tetap bertahan dan tidak terpengaruh dengan lembaga pemerintah Belanda tersebut. Justru K. H. R. Asnawi sering melakukan perlawanan terhadap kebijakan pemerintahan Belanda.

Hal ini terjadi lantaran pada praktiknya fungsi lembaga Belanda tersebut tidak menangani masalah pendidikan Islam dalam arti memfasilitasi, melainkan lebih merupakan sarana untuk mengontrol dan mengawasi lembaga-lembaga pendidikan yang ada. Oleh karenanya, pesan-pesan perjuangan melawan kolonialisme pada setiap kali dia mengajar di madrasah senantiasa disampaikan kepada santri-santrinya.

Boleh dibilang, K. H. R. Asnawi adalah benteng antipenjajah di semenanjung utara Jawa. Ketika dia melihat tekanan penjajah semakin kuat dalam membelenggu umat Islam, K. H. R. Asnawi tampil dengan jiwa kritisnya menyatakan amar ma'ruf nahi munkar. Segala hal yang dianggap menyimpang dari pemerintah Belanda dia berani mengkritik.

Untuk menyatukan visi keiislamannya, K. H. R. Asnawi bergabung kembali dengan Serikat Islam Cabang Kudus. Jabatan komisaris bagi Asanawi sudah disandangnya ketika berdiri Serikat Islam Cabang Makkah tahun 1912 M. Aktivitasnya di Serikat Islam ini menjadikan dia akrab dengan Samaun dan H. Agus Salaim serta HOS Cokroaminoto.

Hingga tahun 1929 M, Madrasah Qudsiyyah dipimpin langsung oleh K. H. R. Asnawi sebagai kepala sekolah dan didampingi oleh K. H. Shafwan Duri. Pada tahun 1929 M-1935 M Madrasah Qudsiyyah dipimpin oleh K. Tamyiz sebagai kepala sekolah. K. H. R. Asnawi sendiri, memimpin pondok pesantren Raudlatuth Thalibin yang didirikan pada tahun 1927 M di Bendan, Kerjasan Kudus. Pada tahun 1935 M, K. R. Sujono memimpin Qudsiyyah sampai dengan tahun 1939 M. Setelah K.R. Sujono wafat, Madrasah Qudsiyyah kemudian dipimpin oleh K. H. abu amar mulai tahun 1939 M sampai tahun 1943 M.

2. Masa Kemunduran (1943-1950)

Buntut dari pemerintahan Dai Nippon Jepang yang menguasai Indonesia pada tahun 1943 M, ternyata berpengaruh terhadap pendidikan di Madrasah Qudsiyyah Kudus. Madrasah mengalami kemunduran drastis, bahkan hingga dilakukan penutupan.

Awalnya ketika Jepang berkuasa, pemerintah Dai Nippon rupanya mencurigai umat Islam. Tidak hanya sekadar curiga, bahkan pemerintah dengan tegas melarang mengajarkan semua pelajaran agama di madrasah-madrasah dengan tulisan Arab. Jadi, saat itu semua pelajaran agama harus ditulis dengan huruf latin.

Kebijakan tersebut membuat Madrasah Qudsiyyah menjadi salah satu korban. Pasalnya, berbagai pelajaran agama yang dahulunya menggunakan bahasa Arab serta tulisan Arab, kini dalam pengajarannya harus dijalankan dengan menggunakan tulisan Latin.

Hal tersebut menyebabkan ketidaknyamanan di Madrasah Qudsiyyah. Alasannya, akan sangat berbeda tulisan dengan menggunakan tulisan Arab diganti dengan tulisan Latin. Selain itu, dalam pelaksanaannya madrasah-madrasah yang ada juga sering didatangi serdadu Dai Nippon. Sehingga berakibat jalannya pendidikan di madrasah-madrasah sangat terganggu.

Hal ini kemudian membuat Madrasah Qudsiyyah merasa sangat terganggu. Dengan pertimbangan yang masak-masak oleh para Guru Madrasah Qudsiyyah, akhirnya keputusan pahit pun diambil, dan untuk sementara waktu Madrasah Qudsiyyah ditutup. Salah satu penyebab dari penutupan Madrasah Qudsiyyah Kudus adalah kekejaman tentara Jepang yang terus mencurigai serta tidak diperkenankannya mengajar dengan menggunakan bahasa Arab.

Namun, pendidikan yang dilakukan madrasah tidak berhenti begitu saja. Pendidikan di madrasah dialihkan dengan pengajian Alquran pada setiap ba'dal magrib yang diatur dengan kelas-kelas. Namun hal ini tidak bertahan lama, dan pada akhirnya berhenti juga. Praktis dalam masa ini pendidikan di madrasah lumpuh total.

3. Masa kebangkitan (1950-sekarang)

Masa penjajahan Jepang pun segera berakhir. Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia telah didengungkan ke dunia pada 17 Agustus tahun 1945. Namun, di awal kemerdekaan tersebut Madrasah Qudsiyyyah belum juga bangkit dari tidur panjangnya. Dan ternyata, cukup lama juga Madrasah Qudsiyyah tertidur dan kosong dari segala aktivitas. Barulah sekitar tahun 1950 M, Madrasah Qudsiyyah kembali menemukan ruhnya untuk bangkit kembali.

Perkembangan pendidikan di Madrasah Qudsiyyah semakin hari semakin meningkat hingga pada tanggal 25 Mei 1952 terwujudlah tingkat lanjutan pertama yang dinamakan Sekolah Menengah Pertama Islam Qudsiyyah (SMPIQ) dan mendapat perhatian penuh dari masyarakat.

Semakin hari, sambutan dari masyarakat Kudus begitu besar terhadap pendidikan di Madrasah Qudsiyyah ini. Sehingga jumlah murid dari hari ke hari terus bertambah dan menyebabkan tingkat lanjutan dibagi menjadi dua, yaitu SMPI Qudsiyyah dan Pendidikan Guru Agama (PGA) Qudsiyyah. Pada tahun 1957, PGA Qudsiyyah dihapuskan dan SMPI Qudsiyyah diubah namanya menjadi Madrasah Tsanawiyyah Qudsiyyah.

Pada tahun 1970-an, Madrasah Qudsiyyah juga pernah membuka Madrasah Diniyyah sore hari. Keberadaan diniyyah ini berlangsung selama lima tahunan. Pada akhir tahun 1973 M, Madrasah Qudsiyyah mendirikan jenjang Aliyah untuk menampng alumni Tsanawiyahnya. Sejak itu, Madrasah Qudsiyyah semakin berkembang hingga sekarang.

Pranala luar sunting

SUMBER sunting