Lisensi artistik, atau yang lebih spesifik dikenal sebagai lisensi puitis, lisensi historis, lisensi dramatis, dan lisensi naratif tergantung konteksnya, merupakan hak atau kebebasan pelaku seni untuk melanggar kaidah atau mengubah fakta tertentu demi alasan kesenian.

Lisensi puitis

sunting

Lisensi puitis adalah hak atau kebebasan bagi penyair untuk melanggar kaidah kebahasaan yang berlaku.[1] Istilah ini merupakan serapan dari bahasa Latin yaitu licentia poetica yang kemudian diserap oleh bahasa Inggris menjadi poetic license. Sedangkan dalam bahasa Belanda dikenal istilah poetarum licentia yang memiliki arti serupa yaitu "keleluasaan penyair".[2]

Penggunaan

sunting

Lisensi puitis dapat digunakan dengan melanggar aturan sintaksis, mengubah bentuk kata, menggunakan tanda baca tertentu sebagai simbol, hingga menciptakan kata baru untuk menghasilkan keindahan (bisa berupa rima atau pola) pada karya yang dibuatnya.[3] Lisensi puitika tidak terbatas hanya pada puisi saja, tetapi juga dapat diterapkan pada karya sastra lain, yaitu cerita pendek dan novel. Chairil Anwar dan Sutardji Calzoum Bachri adalah contoh penyair Indonesia yang pada beberapa karyanya telah melakukan "pelanggaran" terhadap kaidah kebahasaan.[3]

Referensi

sunting
  1. ^ "poetic license | literature | Britannica". www.britannica.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-04-22. 
  2. ^ Teeuw, A. (2017). Sastra dan Ilmu Sastra. Bandung: Pustaka Jaya. hlm. 49, 57. ISBN 9789794194157. 
  3. ^ a b Yudhistira (2021-02-27). "Batas Lisensi Puitis | Narabahasa". Diakses tanggal 2022-04-22.