Konferensi Kebudayaan Indonesia

Konferensi Kebudayaan Indonesia adalah sebuah konferensi yang diadakan pada 5-7 Agustus 1950 di Gedung Pertemuan Umum Kota Praja, Jakarta. Tema yang diangkat dari konferensi ini adalah "Kebudayaan nasional dan pengaruh asing." Kongerensi ini menghasilkan pembentukan Lembaga Kebudayaan Indonesia.[1][2][3]

Pembahasan sunting

Dalam konferensi ini disampaikan tiga kertas kerja dari tiga tokoh, yakni Sutan Takdir Alisjabana, Ki Hadjar Dewantara dan Trisno Sumardjo.

Sutan berpandangan bahwa kebudayaan nasional tidak boleh lahir dari permusuhan, sehingga Indonesia dapat menggunakan kedekatan dengan Belanda untuk mendekati dunia internasional. Dengan demikian, ilmu pengetahuan yang diperlukan untuk memajukan Indonesia dapat dengan mudah diperoleh.

Ki Hadjar Dewantara tidak bersetuju dengan pendapat Sutan. Ia berpendapat bahwa pertukaran kebudayaan seharusnya lebih bebas. Ia juga memandang persetujuan kebudayaan antara Indonesia dan Belanda merupakan suatu kegagalan diplomatik utusan Indonesia di Den Haag. Trisno Sumardjo mendukung pandangan Ki Hadjar Dewantara tersebut.

Pengaruh sunting

Konferensi Kebudayaan Indonesia 1950 menginspirasi lahirnya Lekra. Pada 17 Agustus 1950, tepat sepuluh hari setelah konferensi diselelanggarakan, Lekra berdiri. Lekra kemudian menjadi salah satu lembaga kebudayaan yang paling menonjol di Indonesia pada masanya.

Catatan kaki sunting

  1. ^ Hun, Koh Young (2020-02-24). Pramoedya Menggugat, Melacak Jejak Indonesia (cover baru 2020). Gramedia Pustaka Utama. ISBN 978-602-03-8291-3. 
  2. ^ Surah, Tim Redaksi Majalah (2013-02-01). Surah #01: Majalah Sastra Indonesia. Surah Sastra. 
  3. ^ Mohamad, Gunawan; Publishing, TEMPO (2011). Di sekitar sajak (dalam bahasa Inggris). Tempo Publishing. ISBN 978-602-99643-3-2.