Koke Bale atau Korke merupakan rumah adat suku Lamaholot di Nusa Tenggara Timur. Istilah Koke Bale sendiri terdiri atas dua kata yakni koke atau boke yang memiliki arti titik pusat dan bale yang berarti tempat tinggal atau rumah. Sehingga, Koke Bale dapat bermakna rumah induk, rumah asal, atau rumah leluhur.[1]

Bentuk Bangunan sunting

Koke Bale merupakan satu dari tiga bagian penting dalam kepercayaan masyarakat Lamaholot. Adapun tiga unsur penting terserbut adalah koke bale, nama atau namang, dan nabanara atau nubanara. Dalam proses pembangunannya, ketiga unsur tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.

Koke Bale umumnya berbentuk panggung. Di dalam Koke Bale terdapat sebuah tiang suci yang disebut rie lima lanang. Tiang tersebut merupakan lambang dari Rera Wulan Tana Ekan atau Yang Maha Kuasa.[2] Selain itu, Koke Bale dilengkapi dengan berbagai macam benda purbakala dan peninggalan leluhur yang diyakini memiliki kekuatan gaib oleh masyarakat Lamaholot. Di halaman depan Koke Bale terdapat sebuah pelataran yang memiliki ukuran 500-1.000 meter persegi. Pelataran tersebut digunakan oleh masyarakat sebagai tempat untuk menampilkan pertunjukkan tradisional khas Lamaholot, seperti tarian hedung, hamang, dolo-dolo, uah, tandak, dan pencak silat tradisional.[1] Pelataran ini juga digunakan sebagai tempat persembahan. Adapun pelataran tersebut disebut sebagai Nama atau namang.

Di tengah-tengah pelataran atau Nama terdapat sebuah batu kecil berbentuk bundar yang disebut Nubanara.[3] Nubanara atau Naba nara merupakan bangunan megalitik yang memilki fungsi sebagai tempat persembahan kepada Yang Maha Kuasa. Selain itu, di halaman Koke Bale terdapat sebuah menhir yang diletakkan di atas bangunan pagar batu.[2]

Upacara sunting

Proses pembangunan Koke Bale dimulai dengan upacara adat berupa penebangan pohon yang kayunya akan dijadikan sebagai tiang-tiang rumah. Orang Lamaholot yang ditugaskan untuk melakukan penebangan pohon harus membawa persembahan untuk para Nitu yang mendiami pohon-pohon itu. Upacara ini bertujuan agar para Nitu dapat merelakan pohon-pohonnya untuk ditebang. Kerelaan para Nitu, diharapkan akan membuat kayu yang dihasilkan pohon tersebut tidak mudah lapuk atau termakan ngengat sehingga Koke Bale tidak mudah rusak.[3]

Makna sunting

Koke Bale yang berarti rumah leluhur memiliki hubungan erat dengan kepercayaan masyarakat Lamaholot terhadap arwah nenek moyang atau leluhur mereka. Bagi masyarakat Lamaholot, arwah leluhur memiliki peran yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari mereka. Koko Bale sebagai rumah leluhur dianggap sebagai tempat yang menjadi cikal bakal leluhur desa yang disebut Kewokot. Koke Bale dipercaya sebagai pusat hidup warisan dari Kewokot tersebut. Para leluhur atau Kewokot ini memiliki peran sebagai utusan dari Rera Wulan atau Lera Wulan. Lera Wulan yang berarti matahari dan bulan dipercaya sebagai penguasa tertinggi masyarakat. Kewokot diberi tugas oleh Lera Wulan untuk memberikan perlindungan kepada tiap-tiap keturunannya. Koke Bale bagi masyarakat Lamoholot dianggap sebagai jiwa, pusat hidup, dan nyawa dari semua anggota masyarakat suku Lamaholot yang tinggal di desa. Karena kepercayaan itulah, pada saat upacara adat setiap warga desa turut aktif berkontribusi. Suku Lamaholot selalu memberikan upeti tahunan kepada Kewokot di rumah Koke Bale berupa hewan kurban yang khusus disiapkan. Hewan kuban yang dijadikan sesaji biasanya adalah hewan seperti ayam jantan, kambing jantan, dan babi jantan. Hewan berjenis jantan yang dikurbankan tersebut dalam kepercayaan suku Lamaholot menyimbolkan kekuatan dan kekuasaan.[1] Dalam beberapa upacara persembahan lain di Koke Bale, sesaji dapat berupa telur ayam, tembakau, daun lontar yang dijadikan kertas pembungkus tembakau untuk rokok, buah pinang, tuak, beras merah, kelapa aren, golok dan pisau.[4]

Arti penting Koke Bale bagi masyarakat Lamaholot dapat terlihat dari bagaimana mereka memposisikan rumah tersebut dalam berbagai aktivitas sehari-hari. Permasalahan kepemilikan status tanah, pembangunan relasi perkawinan dengan etnis atau suku lain, dan juga keperluan pembukaan ladang semua dilakukan melalui berbagai upacara yang diadakan di Koke Bale.[5] Dalam upacara-upacara adat tersebut, di dalam Koke Bale pertama akan dilakukan tradisi lisan dengan menceritakan berbagai kisah kepahlawanan dari para leluhur. Selanjutnya, diadakan pagelaran tarian adat di namang sambil melakukan ritual pengorbanan hewan di altar persembahan yang disebut nabanara tersebut.[5] Terakhir, hewan yang dikurbankan tersebut akan dimakan secara bersama-sama oleh masyarakat Lamaholot.[4][6]

Daftar Pustaka sunting

  1. ^ a b c kompas.id (2018-07-07). "Rumah Adat Koke Bale, Pusat Hidup Suku Lamaholot". Kompas.Id. Diakses tanggal 2019-04-04. 
  2. ^ a b Melalatoa, M. J., & Indonesia. (1995). Ensiklopedi suku bangsa di Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
  3. ^ a b Baon, Yohanes Paulus Bala. (2017) "KISAH “BESI PARE TONU WUJO” DALAM MASYARAKAT LAMAHOLOT: TERBITAN TEKS, ANALISIS STRUKTUR DAN FUNGSI." (Tugas Akhir Sarjana). Diakses melalui https://repository.usd.ac.id/11666/1/104114022_full.pdf Diarsipkan 2019-04-04 di Wayback Machine.
  4. ^ a b Gerten, Dieter.; Bergmann, Sigurd, 1956-; Potsdam-Institut für Klimafolgenforschung. (2012). Religion in environmental and climate change : suffering, values, lifestyles. London: Continuum. ISBN 9781441166289. OCLC 775411772. 
  5. ^ a b Thaum, Yoseph Yapi. (1993) Antara Asal-Usul dan Kehendak: Mengungkai Cerita 'Wato Wele-Lia Nurat" dalam Puisi Lisan Flores Timur. Jurnal Kebudayaan Kalam, Edisi 4 (1995), 20-21 Diakses melalui http://salihara.org/sites/default/files/kalam04.pdf[pranala nonaktif permanen] pada 4 April 2019.
  6. ^ "ラマホロット | Lamaholot". www.sumai.org. Diakses tanggal 2019-04-05.