Kilir lidah atau selip lidah (bahasa Inggris: slip of the tongue) merupakan kondisi pengucapan yang keliru antara hasil produksi tuturan dengan apa yang sebenarnya ingin diucapkan dan dimaksudkan. Ada kesulitan atau ketidaklancaran dalam berbahasa. Kilir lidah termasuk dalam kekeliruan berbahasa atau kekeliruan wicara karena penutur tidak memproduksi kata yang sebenarnya dikehendaki.[1] Ketika penutur menyadari kekeliruan yang diperbuat, biasanya mereka melakukan perbaikan, senyap sebentar, melanjutkan tuturannya lagi, atau terkadang menambahkan komentar atas kekeliruan yang telah diucapkan tersebut. Proses koreksi kekeliruan dalam kilir lidah berkolerasi dengan retrival kata, yaitu proses pemanggilan kosakata yang dibutuhkan dalam tuturan. Sebagai contoh, penutur mengucapkan "makan" untuk maksud "makam"; "kanan" untuk maksud "kiri"; "melon" untuk maksud "lemon"; dan sebagainya.

Definisi menurut para ahli

sunting
  • Menurut Jaeger (2005), kilir lidah adalah suatu kekeliruan dalam perencanaan produksi tuturan, yakni ketika pembicara ingin menuturkan beberapa kata, frasa, atau kalimat, dan selama proses perencanaan berlangsung terjadi sesuatu yang keliru sehingga produksinya tidak sesuai perencanaannya.[2]
  • Menurut Darwowidjojo (2008), kekeliruan dalam bertutur dapat disebabkan oleh kilir lidah atau penyakit afasia. Kilir lidah adalah kekeliruan karena tidak memproduksi kata yang sebenarnya dikehendaki sedangkan kekeliruan afrasik muncul karena otak terganggu sehingga penutur tidak mampu untuk menuturkan kata yang sebenarnya diinginkan. Penyakit ini umumnya muncul karena penutur mengalami stroke, yakni kurangnya oksigen di sebagian otak sehingga bagian tersebut menjadi cacat.[1]
  • Menurut Pateda (1989), selip lidah mengacu pada situasi pengucapan yang keliru, misalnya karena tidak ingat atau karena tekanan-tekanan yang bersifat psikologis.
  • Menurut Tarigan (2009), selip lidah merupakan kesalahan-kesalahan ujaran, salah ucap.[3]
  • Menurut Pechmann (1994), kilir lidah merupakan "gangguan bicara normal" sebagai lawan dari gangguan bicara yang terjadi secara patologis. Kilir lidah tidak menyangkut masalah kompetensi linguistik, tetapi performansi linguistik.[4]

Senyapan dan kilir lidah

sunting

Menurut Aitchison (2008), proses mental yang terjadi saat berujar ada dua, yaitu senyapan (pause) dan kekeliruan (errors).[5] Berkaitan dengan senyap, Darwowidjojo (2008) menyebutkan alasan munculnya senyap dalam berujar, yaitu (1) orang senyap karena telanjur mulai dengan ujarannya, tetapi sebenarnya belum siap untuk seluruh kalimat itu; (2) lupa akan kata-kata yang diperlukan; (3) berhati-hati dalam memilih kata. Senyap terjadi ketika penutur mengambil jeda untuk bernapas atau mengalami keraguan dalam berujar. Senyap terbagi menjadi dua jenis, yaitu (1) senyapan diam, ketika penutur berhenti sejenak dan diam saja. Kalimat akan dilanjutkan kembali setelah menemukan kata-kata yang dicari; (2) senyapan terisi, merupakan senyapan yang diisi dengan sesuatu.[1]

Senyapan dan kilir lidah saling berkaitan dalam dua sudut pandang. Dari sudut pandang kilir lidah, senyapan digunakan penutur untuk mengulur waktu hingga didapatkan kata yang ingin diucapkan dan dimaksudkan. Adapun dari sudut pandang senyapan, kilir lidah merupakan penyebab hadirnya senyapan dalam tuturan.[6]

Jenis kilir lidah

sunting

Menurut Darwowidjojo (2005), ada dua macam kilir lidah, yaiitu kekeliruan seleksi dan kekeliruan assembling. Kekeliruan seleksi meliputi kekeliruan semantik, kekeliruan malapropism, campur kata, dan transposisi. Sementara itu, kekeliruan assembling meliputi kekeliruan antisipasi dan preservasi.[7]

Seleksi semantik yang keliru (Freudian slips)

sunting

Kekeliruan semantik terjadi karena sejumlah kata memiliki medan semantik yang sama, seperti contoh berikut.

(1a) Ton ..., Di ..., Jon ..., Dam ...

(2a) Kiri ..., gimana, sih? Eh ..., kanan maksudku.

Tuturan (1a) diucapkan oleh seorang ibu yang memiiki empat orang anak yang bernama Toni, Didi, Joni, dan Adam. Ketika ia ingin memanggil salah satu dari mereka, ia selalu menyebut keempat anaknya. Antara produksi tuturan (lisan) dengan maksud yang dituju berbeda. Di memori otak sang ibu, tersimpan nama keempat anaknya. Akan tetapi, ketika memanggil salah satu nama anaknya, ia menyebutkan nama keempat anaknya. Kadang pula, sang ibu ingin memanggil Toni, tetapi yang keluar secara lisan Joni. Kekeliruan pada seleksi semantik umumnya berwujud kata utuh yang berasal dari medan semantik yang sama. Dalam kasus tuturan (1a), yaitu sama-sama nama orang. Tuturan (2a) diucapkan oleh seseorang yang sedang mengendarai motor. Dalam memori penutur, kata "kanan" dan "kiri" memiliki medan semantik yang sama, yaitu arah lokasi. Ia ingin mengatakan "kanan", tetapi ketika dilisankan menjadi "kiri".

Malaproprisme

sunting

Asal mula lahirnya istilah malapropisme berawal dari tokoh wanita dalam novel The Rivals karangan Richard Sheridan. Tokoh Nyonya Malapro ingin terlihat cerdas dengan menggunakan kata-kata muluk yang sulit dimengerti. Akan tetapi, kata-kata itu bentuknya keliru. Kekeliruan ini dapat dilihat melalui contoh berikut.

(1b) Pantes-lah, statusisasinya aja gitu, kok.

Kata "statusisasinya" pada tuturan (1b) merupakan kata yang dipopulerkan oleh Vicky Prasetyo. Kata tersebut keliru sebab sebenarnya kata tersebut merujuk pada maksud "status di media sosial". Namun, digunakan kata "statusisasinya" agar terlihat sulit dimengerti dan intelek.

Campur kata (Blends)

sunting

Kekeliruan campur kata (blends) terjadi apabila seseorang tergesa-gesa sehingga ia mengambil satu atau sebagian suku dari kata pertama dan kata kedua. Kemudian kedua bentuk itu dijadikan satu. Kekeliruan ini dapat dilihat melalui contoh berikut.

(1c) Kamu taruh di sinu, ya? Eh, di situ.

Tuturan (1c) pada "di sinu" merupakan gabungan antara kata "di sana" dan "di situ".

Transposisi

sunting

Kekeliruan transposisi terjadi akibat memindahkan kata atau bunyi dari suatu posisi ke posisi yang lain. Kekeliruan ini dapat dilihat melalui contoh berikut.

(1d) Kamu makan sumpit pakai nasi.

(2d) Kunci udah dipintu belum?

Tuturan (1d) mengalami pertukaran kata. Kata "nasi" semestinya mengalami pertukaran posisi dengan kata "sumpit" menjadi "Kamu makan nasi pakai sumpit." Begitu pula dengan tuturan (2d). Kata "kunci" semestinya mengalami pertukaran posisi dengan kata "dipintu" menjadi "Pintu udah dikunci belum?"

Antisipasi

sunting

Kekeliruan antisipasi terjadi ketika penutur mengantisipasi akan munculnya suatu bunyi kemudian bunyi tersebut diucapkan sebagai ganti dari bunyi seharusnya. Kekeliruan ini dapat dilihat melalui contoh berikut.

(1e) Aku jadi sebra salah.

(2e) Tolong, pakai supatu dulu.

Pada tuturan (1e) semestinya suku kata pertama adalah "ser" dengan huruf akhir konsonan /r/, tetapi karena penutur mengantisipasi adanya huruf /b/ maka kata tersebut menjadi "sebra", bukan "serba". Begitu pula dengan tuturan (2e) semestinya suku kata pertama adalah "se" dengan huruf akhir konsonan /u/, tetapi karena penutur mengantisipasi adanya huruf /u/ maka kata tersebut menjadi "supatu" bukan "sepatu".

Perseverasi (Perseverations)

sunting

Kekeliruan ini disebut juga repetisi, yaitu kebalikan dari antisipasi. Apabila antisipasi merupakan sebuah kekeliruan pada awal kata, maka perseverasi merupakan sebuah kekeliruan pada akhir kata. Kekeliruan ini dapat dilihat melalui contoh berikut.

(1f) Aku lagi sakit diari.

(2f) Konsernya seri.

Pada tuturan (1f) semestinya suku kata terakhir adalah "-re" pada "diare", bukan "diari". Bunyi /e/ pada kata "diare" terbawa ke belakang sehingga kata yang harusnya diucapkan adalah "diare" menjadi "diari". Begitu pula dengan tuturan (2f) semestinya suku terakhir adalah "-ru" pada "seru", bukan "seri". Bunyi /u/ pada kata "seru" terbawa ke belakang sehingga kata yang seharusnya diucapkan adalah "seru" menjadi "seri".

Penyebab kilir lidah

sunting

Kilir lidah terjadi karena penutur mengalami efek psikologis tertentu, seperti tergesa-gesa, grogi (gugup, gelisah, takut salah, khawatir), disengaja sebagai humor lelucon, tidak sengaja dan tidak konsentrasi.[7]

Unit-unit kilir lidah

sunting

Kekeliruan segmen fonetik

sunting

Kekeliruan fonetik terjadi karena fonem bertukar tempat. Misal:

(1g) Siang-siang begini enaknya minum eh tes.

Pada contoh tuturan (1g), terjadi pertukaran fonem, yaitu fonem /h/ pada kata "teh" bertukar dengan fonem /s/ pada "es" sehingga kata "es teh" menjadi "eh tes".

Kekeliruan suku kata

sunting

Kekeliruan suku kata terjadi karena suku kata yang tertukar. Biasanya, yang tertukar adalah konsonan pertama dari suatu suku kata dengan konsonan pertama dari suatu suku kata yang lain. Misal:

(1h) Aku sudah sampai di Subaraya.

Pada contoh tuturan (1h), terjadi kekeliruan suku kata pada kata "Subaraya". Suku kata /ra/ bertukar posisi dengan suku kata /ba/ sehingga kata "Surabaya" menjadi "Subaraya" saat dilisankan.

Kekeliruan kata

sunting

Kekeliruan kata terjadi apabila yang tertukar posisi atau tempat adalah kata. Misal:

(1i) Aku habis bangun langsung tidur.

Pada contoh tuturan (1i), terjadi petukaran kata, yaitu antara kata "bangun" dengan kata "tidur". Kata "tidur" semestinya berada di awal, bertukar posisi dengan kata "bangun" sehingga bentuk kalimatnya menjadi "Aku habis tidur langsung bangun".

Referensi

sunting
  1. ^ a b c 1938-, Dardjowidjojo, Soenjono, (2007). Psikolinguistik : memahami asas pemerolehan bahasa. PTS Professional Publishing. ISBN 978-983-3586-30-1. OCLC 317899887. 
  2. ^ Kids’ Slips as Evidence for Language Development 1.1. Slips of the Tongue and Language Development. Psychology Press. 2004-12-13. hlm. 18–66. 
  3. ^ 1933-, Tarigan, Henry Guntur, (1981). Berbicara sebagai suatu keterampilan berbahasa. ANGKASA. ISBN 979-404-122-X. OCLC 975159147. 
  4. ^ Lapasau, Merry; Setiawati, Sulis (2021-01-02). "SLIPS OF THE TONGUE IN INDONESIAN DAILY CONVERSATION: A PSYCHOLINGUISTIC VIEW". Hortatori : Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. 4 (2): 127–132. doi:10.30998/jh.v4i2.531. ISSN 2579-7840. 
  5. ^ Aitchison, Jean (2006-09-07). "The Articulate Mammal". doi:10.4324/9780203027561. 
  6. ^ Pangesti, Fida (2019-01-31). "SENYAPAN DAN KILIR LIDAH BERDAMPINGAN DALAM PRODUKSI UJARAN". Hasta Wiyata. 2 (1): 8–17. doi:10.21776/ub.hastawiyata.2018.002.01.02. ISSN 2615-1200. 
  7. ^ a b Mayasari, Ira (2015). "SENYAPAN DAN KILIR LIDAH DALAM PRODUKSI UJARAN (KAJIAN PSIKOLINGUISTIK)". Jurnal Deiksis. 7 (02): 123–132. doi:http://dx.doi.org/10.30998/deiksis.v7i02.543 Periksa nilai |doi= (bantuan).