Ketoprak Dor adalah seni pertunjukan rakyat dengan gaya opera. Ketoprak Dor merupakan warisan tradisi hiburan orang-orang Jawa Deli di Sumatra bagian Timur. Seni pertunjukan ini lahir di tengah-tengah situasi perbudakan terburuk dalam sejarah Asia Tenggara dan menjadi bagian sejarah kuli kontrak di tanah Deli[1][2]

Ciri-ciri sunting

Ketoprak Dor merupakan produk asimilasi kesenian dengan kemasan yang tidak lagi 100 persen Jawa. Ada percampuran budaya seperti Melayu, India, Tionghoa dan Jawa dalam kesenian ini. Ciri khas pertunjukan ini yaitu bahasa, lakon dan musik.

Lakon-lakon yang dibawakan tidak selalu tentang kisah-kisah kepahlawanan, ksatria Jawa tetapi hikayat dari tanah Deli dan cerita keseharian yang disampaikan lewat bahasa Melayu (Indonesia). Ketoprak Dor banyak mengangkat persoalan para kuli kontrak di kawasan perkebunan. Pendekatan Ketoprak Dor tidak mengabarkan derita, melainkan dagelan (humor), sebagai semacam penawar kerinduan pada kampung halaman.

Perlengkapan alat musik pada pertunjukan ini menggunakan akordion atau harmonium (alat musik khas Melayu), keyboard, drum, bas elektrik, alat tiup dan perkusi dari tanjidor (sebagai pengiring), dan balok kayu yang dilubangi seperti kentongan. Balok kayu ini menghasilkan bunyi Prak dan Dor. Dari suara musik inilah, pertunjukan ini diberinama Ketorprak Dor.

pakaian yang digunakan terpengaruh budaya Melayu seperti penggunaan kain ikatan atau songket; budaya Timur Tengah dan India seperti kain sutra yang penuh pernak pernik; budaya Belanda dan Portugis seperti pakaian pembesar kerajaan.[2]

Sejarah sunting

Ketoprak Dor lahir pada akhir abad ke-19, ketika Belanda mulai menanam tembakau. Saat itu Belanda mengusung puluhan ribu buruh perkebunan dari Jawa.[3] Hal ini dikarenakan kuli dari India dan Tingkok tidak mencukupi, meskipun para kuli rekrutan dari Tiongkok lebih ahli karena memiliki tradisi tanam tembakau. Perlakuan brutal tuan kebun Belanda membuat jengkel dan frustasi para kuli kontrak. Situasi ini menimbulkan rasa kerinduan akan hiburan sebagai pelipur lara. Tembang dan nyanyian yang pernah didengar atau tontonan yang pernah menghibur ketika mereka masih tinggal di kampung halaman, muncul kembali dalam kenangan mereka dan berperan menjadi pereda menghilangkan rasa lara di hati.[1]

Rasa kesepian dan kerinduan terhadap kampung halaman membuat mereka ingin bergembira dan tertawa saat menonton Ketoprak Mataram.[2] Akhirnya mereka pun membuat sebuah pertunjukkan kesenian, meskipun menemui kesulitan dalam memadukan gerak tari, nyanyian, dialog, cerita, dan musik. Mereka menggunakan berbagai perlengkapan yang ada sebagai adaptasi dari ketoprak yang asli.[2]

Referensi sunting

  1. ^ a b Rizaldi Siagian, Catatan Budaya: Di tengah perbudakan lahir Ketoprak Dor, Kompas, minggu, 13 Desember 2015. hal. 27
  2. ^ a b c d Mohammad Hilmi Faiq, Kesenian: Daya hidup rakyat di Ketorprak Dor. Kompas, minggu, 13 Desember 2015. hal. 1 dan 15
  3. ^ catatan Jan Breman dalam Menjinakkan Sang Kuli: Politik Kolonial pada awal Abad ke-20 (1997) dalam Daya hidup rakyat di Ketoprak Dor

Pranala luar sunting