K'tut Tantri (19 Februari 1898 – 27 Juli 1997), yang lahir dengan nama Muriel Stuart Walker, adalah seorang wanita Amerika Skotlandia yang paling dikenal karena karyanya sebagai penyiar radio di Republik Indonesia pada saat Revolusi Nasional Indonesia.

K'tut Tantri
K'tut Tantri bersama Bung Karno
K'tut Tantri bersama Bung Karno
LahirMuriel Stuart Walker
(1898-02-19)19 Februari 1898
Britania Raya Glasgow
Meninggal27 Juli 1997(1997-07-27) (umur 99)
Australia Sydney
Nama pena"Soerabaja Sue"
PekerjaanPenyiar
Kewarganegaraan Australia
Karya terkenalRevolusi di Nusa Damai
PasanganKarl Jenning Pearson

Biografi

sunting

Kehidupan awal

sunting
 
Sampul buku Revolusi di Nusa Damai karangan K'tut Tantri terbitan Gunung Agung tahun 1965

Muriel Stuart Walker lahir di Glasgow di Britania Raya dan berimigrasi bersama dengan ibunya ke California setelah Perang Dunia Pertama. Ia bekerja sebagai penulis naskah di Hollywood. Antara 1930 dan 1932, ia juga menikah dengan seorang pria Amerika yang bernama Karl Jenning Pearson, yang wafat pada 1957. Pada 1932, ia meninggalkan Amerika Serikat untuk memulai hidup baru di sebuah pulau di Indonesia yang bernama Bali, dimana ia menjalani lima belas tahun berikutnya.[1]

Alasan Pindah

sunting

Ia bermigrasi ke Bali diawali karena sedang gundah dengan dirinya sendiri. Ia lalu berjalan-jalan di Hollywood Boulevard. Di depan sebuah bioskop, perempuan ini memutuskan untuk membeli karcis dan menyaksikan sebuah film berjudul, Bali: The Last Paradise.

Sekeluarnya dari bioskop, perempuan itu seperti menemukan hidup. Hanya beberapa menit seusai film itu kelar ditonton, ia sudah punya keputusan bulat: pergi dan menetap di Bali.

Beberapa bulan berselang, dengan mengendarai mobil yang dibelinya di Batavia, ia tiba di Surga Terakhir yang diimpikannya. Ia bersumpah baru akan turun dari mobil hanya ketika mobilnya kehabisan bensin. Dan di sanalah ia berjanji aman tinggal. Mobilnya berhenti persis di depan sebuah istana raja yang ia sangka sebuah pura.

Hati-hati ia masuki istana itu. Perempuan itu akhirnya disambut oleh sang raja dan seperti sebuah dongeng, ia diangkat menjadi anaknya yang keempat. Dan ia dinamai: K’tut Tantri.[2]

Masa Perjuangan

sunting

Surabaya Sue. Begitu pers di Singapura, Australia dan di belahan bumi lain mengenalnya. Julukan itu tersampir di pundaknya karena pilihan sadarnya untuk lebih memilih berjuang membantu rakyat Indonesia yang menginginkan kemerdekaan total. Di Surabaya ia dikenal sebagai penyiar dari radio yang dioperasikan para pejuang arek-arek Suroboyo pimpinan Bung Tomo. Ketika di Surabaya pecah pertempuran November yang gila-gilaan dan tak seimbang itu, ia berada di tengah para pejuang Indonesia yang sedang kerasukan semangat kemerdekaan.

Perkenalannya dengan dunia politik sendiri dimulai oleh diskusi-diskusinya yang intens dengan Anak Agung Ngurah, putra tertua Raja yang mengangkatnya anak. Ngurah adalah pangeran Bali yang pernah mengecap pendidikan di Leiden dan Universitas Heidelberg di Jerman.

Ketika Jepang mendarat di Bali, ia berhasil meloloskan diri ke Surabaya. Di sana, ia mulai menjalin kontak dengan sejumlah orang yang bersimpati pada gerakan anti-Jepang. Ketika akhirnya ia tertangkap, interogasi berbulan-bulan lamanya mesti ia hadapi. Ia ditanyai soal aktivitas bawah tanahnya. Berkali-kali ia disiksa. Ia bahkan nyaris dieksekusi. Sekali waktu ia terkapar nyaris mati. Tapi ia tetap bungkam. Karena kesehatannya yang anjlok ke titik ternadir, ia pun dikirim ke rumah sakit. Di sanalah ia mendengar kabar diproklamasikannya kemerdekaan.

Aktivitas bawah tanah dan keteguhan sikap untuk tak mangap selama interogasi membuat tentara Indonesia di bawah pimpinan Bung Tomo membebaskannya. Ia diberi pilihan: kembali ke negerinya dengan jaminan pengamanan tentara Indonesia atau bergabung dengan pejuang Indonesia.

Dan Ktut Tantri memilih pilihan kedua. Ia dipercaya untuk mengelola siaran radio perjuangan. Suaranya mengudara tiap malam. Ketenarannya membikin sebuah faksi tentara Indonesia menculiknya dan memintanya untuk siaran di radio gelap yang mereka kelola sebelum kemudian anak buah Bung Tomo berhasil membebaskannya.

Sewaktu pemerintahan Indonesia pindah ke Jogja, K’tut Tantri pun pindah ke Jogja. Di sana ia bekerja pada kantor Menteri Pertahanan yang ketika itu dijabat oleh Amir Syarifuddin. Ia pernah menuliskan pidato Soekarno. Sekali waktu ia menjadi seorang agen spionasi yang berhasil menjebak sekomplotan pengkhianat.

Marabahaya tentu saja melela di mana-mana. Dialah satu-satunya perempuan yang berkeliaran di jantung Jogja yang pekat oleh bau mesiu itu. Ketenaran dan pengorbanannya juga menjadi rebutan faksi-faksi politik. Sekali waktu ia pernah dibawa diam-diam oleh salah satu kelompok politik yang hendak melakukan rapat rahasia di Solo. Ktut bahkan tak sadar kalau dalam perjalannya menuju Solo ia berada satu mobil dengan ScarletPimpernal-nya Indonesia yang legendaris itu, Tan Malaka.

Dalam sebuah konferensi pers yang dihadiri wartawan dan koresponden pelbagai kantor berita dan media massa luar negeri, ia dipilih olehpemerintah untuk mengisahkan bagaimana rakyat begitu bersemangat mendukung perjuangan dan betapa dustanya propaganda Belanda yang menyebutkan bahwa pemerintahan Soekarno-Hatta sama sekali tak didukung rakyatnya. Dari sanalah julukan Surabaya Sue lahir.

Kesetiaannya yang tanpa karat membuat Ktut dipilih pergi ke Singapura dan Australia untuk melakukan kampanye menggalang solidaritas internasional. Tanpa visa dan paspor, dengan hanya bermodal kapal tua yang dinakhodai seorang Inggris yang frustasi, Ktut berhasil lolos dari blokade kapal laut Belanda. Dari Singapura ia pergi ke Australia untuk menggalang dana, melakukan propaganda agar (rakyat) Australia memboikot Belanda. Selama di sana ia berhasil menggalang sebuah demonstrasi mahasiswa di perwakilan pemerintahan Belanda di Australia.[2]

Bacaan tambahan

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ Anderson, Sarah (4 September 1997). "Obituary: K'tut Tantri". The Independent. Britania Raya. Diakses tanggal 28 Februari 2014. 
  2. ^ a b Rachmat, Zen (2008). Revolusi di Surga yang Tersisa. Diakses tanggal 1 Juli 2016.