Butsudan (佛壇 atau 仏壇, secara harfiah berarti "altar Buddha") adalah ruang suci kecil yang biasanya ditemukan pada kuil dan rumah penduduk dalam budaya Buddhisme di Jepang.[1] Butsudan merupakan sebuah altar berbentuk lemari kayu dengan pintu untuk menyimpan suatu gohonzon atau benda keagamaan, biasanya patung maupun lukisan Buddha dan Bodhisatwa, atau suatu naskah gulungan mandala. Pintunya dibuka untuk menampilkan benda yang disucikan selama hari raya keagamaan, dan ditutup sebelum matahari terbenam. Suatu butsudan biasanya menjadi tempat menyimpan seperangkat alat-alat keagamaan, disebut butsugu, misalnya lilin, dupa, genta, dan nampan untuk menempatkan sesajen seperti buah-buahan, teh, atau nasi. Beberapa sekte Buddhisme menambahkan ihai, yaitu papan nama untuk mengenang anggota keluarga yang telah meninggal dunia, dan menempatkannya di dalam atau di luar butsudan.[2]

Butsudan yang dihias indah dengan pintu terbuka menampilkan patung Buddha yang disimpan di dalamnya.

Penyusunan sunting

Penyusunan dan jenis benda di dalam atau di luar butsudan dapat bervariasi tergantung sekte yang diikuti. Suatu butsudan biasanya menyimpan suatu patung atau lukisan Buddha atau dewa-dewi Buddha, meskipun gulungan naskah mantra dan sutra yang disulam juga biasa didapati. Benda perlengkapan atau sarana keagamaan yang biasa ditemukan dekat butsudan meliputi sesajen (teh, air, makanan—biasanya buah-buahan atau nasi), dupa, lilin, bunga, lentera, dan bunga hijau abadi.[3] Sebuah rin gong atau mangkuk persembahyangan biasanya didapati pada butsudan, yang senantiasa diketuk selama peribadatan atau pembacaan doa. Pengikut beberapa sekte Buddha menempatkan ihai—papan ukiran nama anggota keluarga atau sanak saudara yang telah meninggal dunia—di dalam atau di depan butsudan. Sekte Buddha lainnya, contohnya Jōdo Shinshū, biasanya tidak demikian. Butsudan umumnya ditempatkan dalam lemari besar yang di dalamnya juga tersimpan surat/dokumen dan sertifikat berharga milik keluarga bersangkutan.[4]

Hubungan sosial-spiritual sunting

Umumnya butsudan dipandang sebagai bagian esensial dalam kehidupan keluarga tradisional Jepang karena merupakan pusat keyakinan spiritual dalam rumah tangga, terutama menyangkut kematian sanak saudara atau mengenang para leluhur. Hal ini tidak jarang ditemukan pada wilayah pedesaan, yang setiap rumah didapati memiliki butsudan bahkan dengan persentase lebih dari 90%, bertolak belakang dengan wilayah pemukiman perkotaan dan pinggiran kota, dengan tingkat keberadaan butsudan dapat anjlok hingga kurang dari 60%.[5]

Lihat pula sunting

Catatan kaki sunting

  1. ^ Reader (1995:55) notes: "Over 60% of Japanese households have a butsudan: many of the rest do not simply because no-one in the family has yet died and become an ancestor".
  2. ^ Cf. Reader (1995:55-56); Lewis (2007:178).
  3. ^ Cf. Buckley (2002:56-57).
  4. ^ Cf. Hamabata (1990:61).
  5. ^ See Nakamaki (2003:24-25) for a discussion of the sociological stratification of butsudan ownership in modern Japan.

Referensi sunting

  • Buckley, Sandra (2002) "Butsudan and Kamidana" in Buckley, Sandra (Ed.) Encyclopedia of Contemporary Japanese Culture, pp. 56–57. London: Routledge. ISBN 0-415-14344-6.
  • Hamabata, M. Masayuki (1990). Crested Kimono: Power and Love in the Japanese Business Family. New York: Cornell University Press. ISBN 0-8014-2333-3.
  • Lewis, Todd T. (2007). "Butsudan" in Espin, Orlando (Ed.) An Introductory Dictionary of Theology and Religious Studies, pg. 178. Collegeville: Liturgical Press. ISBN 978-0-8146-5856-7.
  • Nakamaki, Hirochika (2003). Japanese Religions at Home and Abroad. New York: Routledge/Curzon. ISBN 0-7007-1617-3.
  • Reader, Ian (1995). Japanese Religions: Past and Present. Honolulu: University of Hawaii Press. ISBN 0-8248-1545-9.