Kadipaten Panjalu: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Kang Ari Tea (bicara | kontrib)
Kang Ari Tea (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 228:
Kemaharajaan Sunda sendiri posisinya semakin lama semakin terjepit oleh kekuasaan Cirebon-Demak di sebelah timur dan Banten di sebelah barat. Pada tahun [[1579]] pasukan koalisi Banten-Cirebon dipimpin oleh Sultan Banten Maulana Yusuf berhasil mengalahkan pertahanan terakhir pasukan Sunda, kaprabon dan ibukota Kemaharajaan Sunda yaitu Pakwan Pajajaran berhasil diduduki, benda-benda yang menjadi simbol Kemaharajaan Sunda diboyong ke Banten termasuk batu singgasana penobatan Maharaja Sunda berukuran 200cm x 160cm x 20cm yang bernama ''Palangka Sriman Sriwacana'' (orang Banten menyebutnya ''Watu Gilang'' atau batu berkilau) . Akibat peristiwa ini, Prabu Ragamulya Surya Kancana ([[1567-1579]]) beserta seluruh anggota keluarganya menyelamatkan diri dari kaprabon yang menandai berakhirnya Kemaharajaan Sunda.
 
Menurut sumber sejarah Sumedang Larang, ketika peristiwa itu terjadi empat orang kepercayaan Prabu Ragamulya Surya Kancana yang dikenal dengan ''Kandaga Lante'' yang terdiri dari Sanghyang Hawu (Jayaperkosa), Batara Adipati Wiradijaya (Nangganan), Sanghyang Kondanghapa dan Batara Pancar Buana (Terong Peot) berhasil menyelamatkan atribut pakaian kebesaran Maharaja Sunda yang terdiri dari mahkota emas simbol kekuasaan Raja Pakwan, kalung bersusun dua dan tiga, serta perhiasan lainnya seperti benten, siger, tampekan, dan kilat bahu. Atribut-atribut kebesaran tersebut kemudian diserahkan kepada Raden Angkawijaya putera Ratu Inten Dewata ([[1530-1579]]) yang kemudian naik tahta Sumedang Larang dengan gelar [[Prabu Geusan Ulun]] ([[1579-1601]]).
 
== Pengaruh [[Mataram]] ==