Wikipedia:Memperbaiki artikel rintisan: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k weleh
Dr. Priyanto Rahardjo, MSc. Peneliti Senior pada Balai Riset Perikanan Laut dan Expert Tuna Asia Pacific. E-mail : begawanlaut@yahoo.com
Baris 14:
* [[Wikipedia:Utiliti|Utiliti "Utilities"]] untuk halaman berguna yang lain.
 
BISNIS TUNA INDONESIA (1975 – 2040)
== Peringatan stub! ==
Dr. Priyanto Rahardjo, MSc.
Peneliti Senior pada Balai Riset Perikanan Laut dan Expert Tuna Asia Pacific.
E-mail : begawanlaut@yahoo.com
 
Ringkasan:
Jika anda membuat sebuah stub, tambahkan [[Wikipedia:Boilerplate_text|teks boilerplate]] untuk memberitahukan pengguna lain bahwa halaman tersebut berisi stub:
Produk perikanan tuna dari laut Indonesia adalah bisnis besar yang tersembunyi. Terjadi kenaikan nilai ekspor rata-rata 5,5 % per tahun, yaitu dari US$ 190 juta pada tahun 1999 menjadi US$ 244 juta pada tahun 2004. Jika bangsa Indonesia dapat memanfaatkannya secara arif dan bijaksana, sumberdaya ini dapat menjadi salah satu pilar pembangunan ekonomi nasional secara berkelanjutan, menuju Indonesia yang maju, makmur, mandiri, dan berkeadilan. Bisnis perikanan tuna dunia kini dalam keadaan krisis, namun tantangan paling besar bisnis tuna Indonesia adalah bagaimana memanfaatkan sumberdaya ini secara lestari dan berkesinambungan sampai tahun 2040.
 
Berita kompas pada hari minggu 22 April 2007 (GEOWEEK, halaman 16) menjelaskan penyebab merosotnya jumlah ikan tuna sirip biru di dunia akibat dari meluasnya populasi penggemar makanan sushi dan sashimi di Jepang. Sementara itu, Indonesia adalah negara nomor satu dalam mengekspor tuna segar/beku ke negara Jepang (FAO, 2005). Sumberdaya tuna di perairan laut nusantara merupakan anugerah bagi bangsa Indonesia. Sumberdaya ini dapat diperbaharui (renewable resources), namun jika salah dalam memanfaatkannya dan sumberdaya ini dapat terancam punah (kolap), maka pemulihannya akan memerlukan waktu yang panjang dan biaya yang sangat mahal. Pemanfaatan secara arif dan bijaksana sangat diperlukan, agar sumberdaya ini dapat diwariskan secara berkesinambungan antar generasi.
{{stub}}
Sifat biologi ikan tuna yang tumbuh lamban, berumur panjang, matang seksual pada umur relatif tua dan hanya menghasilkan sedikit anak. Sifat-sifat seperti itu membuat tuna sangat sensitif terhadap penangkapan berlebihan (FAO, 2000). Eksploitasi perikanan tuna di perairan Indonesia bersifat multi spesies dan multi gear. Mengingat banyaknya permintaan dan harga ekspor komoditi perikanan tuna yang tinggi, maka banyak nelayan yang memburu ikan ini sebagai hasil tangkapan utama.
 
Tantangan terbesar bagi bisnis perikanan tuna Indonesia adalah bagaimana membuat model pengelolaan tuna secara berkelanjutan, yang mampu menjamin agar kelestarian sumberdaya laut ini dapat diwariskan secara berkesinambungan antar generasi sampai tiga puluh tahun kedepan (2040). Sedangkan peluang bisnis terbaik untuk perikanan tuna adalah penerapan strategi pengelolaan sumberdaya yang sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Cara termudah ialah menggunakan jalan pintas:
Pemanfaatan perikanan tuna
 
FAO Newsroom (7 juni 2005) menjelaskan banyak penduduk miskin dunia bergantung dari ikan, 38 % produk perikanan merupakan perdagangan internasional (nilainya US$60 billion), dan sumbangan dari negara berkembang yang mengekspor produk ikannya mencapai 55 % dari total (tuna merupakan koditi utama). Nilai ekspor produk perikanan dari negara berkembang jauh lebih tinggi dibandikan komoditas teh, kopi dan beras, apakah ini peluang atau resiko? Jawabannya adalah bagaimana menerapkan pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab menjadi sangat penting (responsible management is so important).
::'''<nowiki>{{stub}}</nowiki>'''
Selanjutnya FAO Newsroom (5 Maret 2007) melaporkan bahwa perlu perhatian sangat serius terhadap kondisi sumberdaya perikanan laut. Hasil pemantauan FAO menunjukan bahwa 25 % sumberdaya perikanan laut sudah kelebihan tangkap (over exploited). Sebanyak 66 % sumberdaya ikan laut yang menjadi stok bersama berbagai negara sudah dalam kondisi kelebihan tangkap, bahkan cadangan stoknya di laut bebas sudah sangat menipis (depleted). Akhirnya secara umum FAO melaporkan bahwa dari 600 jenis ikan laut yang dieksploitasi di dunia dalam kondisi 3% (under exploited) ; 20 % (moderately exploited); 52 % (fully exploited); 17 % (over exploited); 7% (depleted); dan 1 % (recovering from depletion). Perhatian paling serius ditujukan pada ikan yang beruaya jauh dan merupakan stok bersama antar berbagai negara seperti ikan tuna.
 
Pertemuan pertama kali dari lima organisasi manajemen perikanan tuna regional (RFMO, Regional Fisheries Management Organisation) yang dihadiri IOTC, CCSBT, WCOFC, ICCAT dan IATTC pada Januari 2007 di Kobe, Jepang dengan tujuan membahas pentingnya peningkatan manajemen penangkapan dan perdagangan produk hasil laut. Hasil pertemuan secara umum menyoroti kegagalan anggota RFMO memenuhi kewajiban mereka sendiri, sampai saat ini Indonesia belum masuk anggota RFMO. Seperti yang telah ditetapkan masyarakat international, RFMO diharapkan mencegah eksploitasi yang berlebihan, pengkayaan kembali stok ikan yang telah menipis, atau melindungi ekosistem kelautan secara lebih luas. Isu sangat penting dari pertemuan ini adalah bagaimana mengurangi tangkapan sampingan yang berupa hiu dan penyu pada penangkapan tuna secara regional.
:Lihat '''[[Wikipedia:MediaWiki_custom_messages|Pesanan khas MediaWiki]]''' untuk informasi lebih lanjut.
Pada akhirnya, kegagalan RFMO ini berkaitan dengan fakta bahwa kunci kebijakan tentang kuota tuna yang diizinkan ditangkap, dikendalikan oleh kepentingan jangka pendek. Tuna dalam berbagai bentuk produk, mulai dari sashimi hingga bentuk kaleng merupakan komoditi global. Seperti juga produk global lain, industri ini sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor pendorong utamanya (harga jual tinggi dan investasi yang rendah). Dikendalikan oleh permintaan yang terus menerus dan dibantu oleh serangkaian perkembangan teknologi, industri penangkapan tuna dunia berkembang besar dan lebih efisien sejak tahun 1970. Sejak tahun 1980 bentuk armada penangkapan tuna yang berasal dari Uni Eropa, Amerika Serikat, Jepang, Korea, Taiwan dan Venezuela telah tersebar diseluruh samudera dunia. Sampai saat ini jumlah negara yang mengeksploitasi sumberdaya tuna mencapai 80 negara, kombinasi kapasitas tangkapan dan armada penangkap tuna dunia sudah melebihi kapasitas yang seharusnya. Bisnis tuna di dunia kini telah dilanda krisis berkepanjangan, tanpa manajemen yang baik maka bisnis ini akan segera mengalami keruntuhan.
Tuna adalah salah satu ikan di laut yang sangat luar biasa. Tuna adalah perenang ulung jarak jauh dan merupakan predator tertinggi. Tuna yang sangat berharga ini di temukan sepanjang lautan Atlantik, Pasifik, Samudera Hindia dan lautan sekitarnya. Tetapi dunia perikanan tuna mengalami sejumlah persoalan umum mendesak yang mengancam keberadaan, kelestarian mereka dan membahayakan ekosistem yang lebih luas. Para ilmuwan terbaik dunia memperingatkan, tanpa tindakan tegas, kebanyakan populasi tuna akan menurun pada tingkat yang membahayakan dalam satu dekade. Tuna adalah bisnis besar bagi bangsa Indonesia, bayangkan satu ikan tuna sirip biru (segar untuk sashimi) dari Indonesia dihargai lebih mahal dari sebuah mobil baru di pasar ikan Tokyo. Tuna sirip biru adalah ikan termahal, untuk jenis ini terjual dengan nilai fantastis US$ 173.600 di pasar ikan Tsukiji Tokyo tahun 2001. Indonesia adalah negara pengespor utama tuna segar (fresh fish tuna) ke Jepang, volume ekspornya mencapai 39 % dari total impor tuna segar di Jepang, sedangkan nilainya mencapai 50% dari nilai total di Jepang tahun 2004. Data ini menunjukan bahwa produk tuna segar Indonesia lebih kompetitif dari negara lainnya.
Jika dilihat dari negara tujuan ekspor produk tuna tahun 2004, tiga negara yang menduduki peringkat atas adalah Jepang (37 % dalam volume dan 50 % dalam nilai), disusul Amerikan Serikat (21 % dalam volume dan 23 % dalam nilai) dan Uni Eropa (13 % dalam volume dan 9 % dalam nilai). Bagi negara Jepang, Indonesia merupakan negara produsen utama dalam memenuhi kebutuhan tuna, hampir 30 % impor produk tersebut dipenuhi dari Indonesia. Mengacu dari jenis tuna yang diimpor Jepang, terlihat bahwa pada tahun 2004 impor tuna siri kuning (Thunnus albacares) mencapai 24.049 ton (42,59 %), tuna mata besar (Thunnus obesus) mencapai 18.901 ton (33,46 %) dan sisanya dari jenis lain seperti albakor, tuna sirip biru dll. Dari jumlah tersebut, Indonesia merupakan eksportir terbesar untuk produk tuna sirip kuning dengan volume 7.429 ton (31 %) dan tuna mata besar sejumlah 7.168 ton (38 %).
Pemanfaatan sumberdaya perikanan tuna di perairan Indonesia sudah berlangsung secara turun temurun, mulai dari zaman Majapahit, penjajahan Belanda, Jepang dan sampai sekarang (Masyarakat Ambon dan Manado memiliki tradisi makan ikan tuna dan cakalang sejak lama). Catatan resmi pemanfaatan sumberdaya perikanan laut dalam bentuk statistik perikanan dimulai pada tahun 1975. Walaupun masih banyak kekurangannya, namun statistik ini sangat bermanfaat sebagai langkah awal dalam pengelolaan perikanan laut. Statistik perikanan Indonesia selama tiga puluh tahun terakhir (1975–2005) menunjukkan produksi ikan tuna nasional mengalami fluktuasi, namun secara umum laju tangkapan tuna mengalami penurunan dari tahun-ke tahun. Sejak tahun 1975 sampai sekarang, statistik perikanan Indonesia mencatat tuna hanya dalam tiga jenis (tuna, cakalang dan tongkol), sedangkan kenyataanya jumlah jenis perikanan tuna yang diekspolitasi mencapai 23 spesies (10 jenis telah dieksploitasi secara intensif dan komersil di Indonesia). Kegiatan penangkapan tuna berlangsung sepanjang tahun. Musim penangkapan secara spesifik belum dapat di tentukan kecuali berdasarkan data bulanan produksi ikan yang didaratkan di pelabuhan perikanan. Sebagai contoh, puncak penangkapan tuna di Indonesia barat adalah bulan April- Juni.
Pemanfaatan tuna adalah bentuk perikanan industri, artinya eksploitasi sumberdaya ini melibatkan investasi yang cukup tinggi dan merupakan komoditi global. Perkembangan industri perikanan tuna Indonesia dimulai sekitar tahun 1975. Industri ini diawali oleh Pemerintah yang bekerja sama dengan bank dunia dan Jepang dengan cara mendirikan perusahaan negara (Badan Usaha Milik Negara) yakni PT. Perikanan Samodra Besar di Bali, PT Perikani Bitung, PT Perikani Ambon dan PT Usaha Mina Sorong. Tujuan dari perusahaan ini adalah untuk mengeksploitasi dan menjadi pionir dalam mengembangkan perikanan tuna demi kesejahteraan bangsa ini. Dalam perjalanannya selama tiga puluh tahun, kini hanya tinggal PT Perikanan Samodra Besar yang masih beroperasi, dan mengalami berbagai perubahan manajemen dan berganti nama menjadi PT Perikanan Nusantara (Persero). Namun demikian misi pembangunan perikanan tuna kini telah tercapai, yaitu banyaknya perusahaan swasta yang ikut berinvestasi di bidang ini. Fakta membuktikan bahwa Indonesia menjadi negara pengekspor tuna segar nomor dua didunia (dibawah Spanyol) sejak tahun 1990 sampai sekarang.
Alat tangkap utama yang digunakan untuk menangkap tuna tersebut adalah Rawai tuna untuk PT Perikanan Samodra Besar dan target penangkapannya adalah tuna berukuran besar (sirip kuning, Thunnus albacares; mata besar, Thunnus obesus; dan sirip biru selatan, Thunnus maccoyii). Sedangkan tiga perusahaan lainya menggunakan armada huhate (Pole and Line) dan jenis target tangkapannya adalah cakalang (Katsuwonus pelamis), dan tongkol (Euthynnus affinis dan Auxis thazard), komoditi tuna ini berukuran kecil dan diekspor hanya dalam keadaan beku untuk tuna kaleng. Dalam perjalanannya tiga perusahaan yang memiliki target cakalang dan tongkol mengalami persaingan dari perusahaan negara lain yang juga mengeksploitasi jenis ini dengan menggunakan armada pukat cincin (purse seine) di perairan lannya. Selanjutnya sejak tahun 1995 ketiga perusahaan itu sudah tidak beroperasi secara efisien.
Perkembangan industri tuna berukuran besar dari alat rawai tuna, pada awalnya (1975-1985) adalah untuk target ekspor ke Jepang dalam bentuk produk tuna beku. Armada yang digunakan untuk menangkap tuna adalah kapal dengan ukuran 100 – 300 GT buatan Jepang (berjumlah 18 buah kapal), dengan jumlah pancing rata-rata 1500 – 2000 pancing sekali operasi. Daerah operasi penangkapan utamanya adalh Laut Banda dan Samudera Hindia (Selatan Jawa dan Barat Sumatera). Awalnya industri ini mengalami kemajuan yang sangat pesat yang ditandai dengan peningkatan jumlah ekspor dari tahun ketahun, jumlah armada penangkapannya dan ukuran kapalnya. Namun pada tahun 1985-1986 akibat naiknya harga bahan bakar, armada rawai tuna banyak yang tidak dapat beroperasi. Biaya eksplotasi kapal jauh lebih tinggi jika dibandingkan harga jual tuna beku pada saat itu. Pada tahun 1987, banyak permintaan tuna segar dari pasar Jepang dengan harga sangat tinggi (20 kali harga tuna beku per kilonya). Inilah awal kebangkitan armada tuna di Indonesia, selain nelayan Indonesia kapal rawai tuna Taiwan juga beroperasi dan berpangkalan di Indonesia (sebahagian awaknya dari Indonesia). Armada rawai tuna pun tidak hanya menggunakan kapal besar, namun juga menggunakan apal berukuran dibawah 50 GT. Kini jumlah armada rawai tuna di Indonesia mencapai 1200 kapal (berbagai ukuran) dari 200 perusahaan yang tersebar pada berbagai pelabuhan, diantaranya Benoa Bali, Muara Baru Jakarta, Pelabuahan Ratu, dan Bitung Manado. Pada tahun 1997, dimana Indonesia dilanda krisis ekonomi, industri perikanan tuna malah banyak meraup keuntungan.
Potensi perikanan tuna
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, wilayah daratan Indonesia (1,9 juta Km2) tersebar pada sekitar 17.500 buah pulau yang disatukan oleh laut yang sangat luas (sekitar 5,8 juta km2). Panjang garis pantai yang mengelilingi daratan tersebut adalah sekitar 81.000 km, yang merupakan garis pantai tropis terpanjang didunia atau terpanjang kedua didunia setelah Kanada. Secara geografis laut Indonesia terletak diantara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, antara benua Asia dan Australia, termasuk didalamnya paparan Sunda di bagian barat dan paparan Sahul di bagian timur. Sejak tahun 2000 laut kita dikenal dunia sebagai the coral triangle atau segitiga perairan karang yang diyakini menyimpan potensi sumberdaya (keanekaragaman) hayati tertinggi di dunia. Tingginya keanekaragaman hayati tersebut bukan hanya disebabkan oleh letak geografis yang sangat strategis, melainkan juga dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti variasi iklim musiman, arus atau masa air laut yang dipengaruhi dua Samudera, serta keragaman tipe habitat dan ekosisistem didalamnya. Potensi keanekaragaman hayati di wilayah lautan Indonesia, baik dalam bentuk spesies, ekosistem dan genetik merupakan aset yang sangat berharga untuk menunjang pembangunan ekonomi Indonesia.
Pengertian sederhana potensi keanekaragaman spesies dilaut adalah banyaknya jenis dan jumlah ikan di laut yang sering dikenal dengan potensi perikanan laut. Sebagai contoh, untuk negara ASEAN yang memiliki jumlah spesies ikan terbanyak adalah Indonesia (3213 spesies), Filipina (2824 spesies), Malaysia (1102 spesies), selangkan lima negara ASEAN lainnya memiliki jumlah spesies ikan dibawah 1000 jenis. Jumlah spesies ikan tuna diseluruh dunia yang diekspoitasi secara intensif mencapai 23 jenis, sedangkan di perairan Indonesia yang dieksploitasi secara komersil baru 10 jenis. Pertanyaan mendasarnya adalah apakah potensi perikanan tuna Indonesia turun dari waktu kewaktu karena tekanan eksploitasi penangkapan? Belum banyak kajian tentang potensi perikanan tuna Indonesia, namun demikian jika dilihat dari data menyeluruh selama 30 tahun kebelakang, dapat disimpulkan bahwa potensi perikanan laut Indonesia tidak berubah. Artinya tekanan eksploitasi penangkapan ikan dan faktor lainnya masih seimbang dengan daya dukung sumberdaya perikanan tuna. Hal ini disebabkan oleh mayoritas nelayan kita yang mengeksploitasinya masih mengikuti kaidah penangkapan ikan yang bertanggung jawab (code of conduct of resposible fishing, FAO). Walaupun ada sebahagian kecil nelayan kita yang menggunakan alat yang merusak lingkungan.
Pada tahun 1997 para ahli perikanan laut Indonesia bersepakat mendirikan Komisi Nasional Stok Assessment/KNSA (penulis merupakan salah seorang penggagas, dan duduk sebagai sekretaris 1997-1999) dengan tujuan untuk mengevaluasi potensi perikanan laut secara berkala demi menjaga kelestarian sumberdayanya. Untuk menyederhanakan dan memudahkan informasi, potensi perikanan laut dapat dibagi dalam sembilan wilayah oleh team KNSA (Gambar 1). Pembagian ini tentu dengan mempertimbangkan berbagai aspek potensi keanekaragaman hayati di wilayah laut Indonesia, baik dalam bentuk spesies, ekosistem dan genetik. Kondisi potensi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan tuna saat ini menunjukan bahwa sebahagian besar belum dimanfaatkan secara optimal. Wilayah yang telah di manfaatkan secara penuh umumnya pada daerah pantai oleh nelayan skala kecil dan menengah. Lokasi yang sudah dimanfaatkan secara berlebihan (over fishing) ternyata hanya 10 % dari keseluruhan wilayah yang tersedia. Sedangkan beberapa wilayah lainnya belum dimanfaatkan secara optimum (Tabel 1).
Peluang pengelolaan tuna terbaik
Tantangan terbesar dalam bisnis perikanan tuna Indonesia saat ini sampai tiga puluh tahun mendatang (tahun 2040) adalah bagaimana memanfaatkan sumberdaya ini secara cerdas namun kelestariannya tetap terjaga, baik dalam bentuk spesies, ekosistem dan genetik. Mengingat sumberdaya perikanan tuna adalah sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable resources) dan potensinya sangat besar, maka jika kita dapat mengelola pemanfaatannya secara arif dan bijaksana, sumberdaya ini dapat menjadi salah satu pilar pembangunan ekonomi nasional secara berkelanjutan, menuju Indonesia yang maju, makmur, mandiri, dan berkeadilan.
Langkah sederhana adalah bagaimana memberi kesadaran pada masyarakat bahwa sumberdaya perikanan tuna kita memiliki nilai manfaat yang luar biasa, oleh karena itu menjadi tanggung jawab kita bersama untuk menjaganya terutama ekosistemnya. Kerusakan ekosistem yang disebabkan berbagai kepentingan akan berdapak besar terhadap sumberdaya tuna yang ada didalamnya.
Peluang pengelolaan terbaik untuk perikanan tuna adalah penerapan strategi pengelolaan sumberdaya perikanan tunat sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Sebagai contoh: Untuk sumberdaya perikanan tuna yang hidup di pantai dan berukuran kecil ( cakalang dan tongkol), tingkat pemanfaatan di tiap wilayah dapat dilakukan sampai tingkat pemanfaatan penuh (fully exploited). Namun untuk ikan tuna yang hidup pada berbagai perairan (pantai, perairan karang dan laut bebas) dan memiliki karaktersitik berumur panjang, laju pertumbuhan lambat dan beruaya jauh, pemanfaatan di tiap wilayah harus dilakukan hanya pada tingkat pemanfaatan sedang (moderate exploited). Dengan menerapkan strategi ini, maka keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya tuna dapat dilakukan sampai tahun 2040.
Akhirnya kami tutup dengan lagu masa kita anak-anak yang berbunyi “ Hutan, Gunung, Sawah, dan Lautan Simpanan Kekayaan”. Dan kini lagu itu sekali lagi membuktikan bahwa “ Lautan Ibu Pertiwi menyimpan kekayaan ikan tuna yang besar”
 
== Daftar stub ==