Kesultanan Pontianak: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baskoro Aji (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baskoro Aji (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 46:
 
=== Pendirian ===
Kesultanan ini didirikan oleh [[Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie|Syarif Abdurrahman Alkadrie]], seorang putra ulama keturunan [[Arab]] [[Hadramaut]] dari [[Kerajaan Mempawah]], pada hari Rabu, [[23 Oktober]] [[1771]] (14 Rajab 1185 H) yang ditandai dengan membuka hutan di persimpangan Sungai Landak, Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai Kapuas Besar untuk mendirikan balai dan rumah sebagai tempat tinggal. Pada tahun [[1778]] (1192 H), Syarif Abdurrahman dikukuhkan menjadi [[Sultan Pontianak]]. Letak pusat pemerintahan ditandai dengan berdirinya [[Masjid Jami' Pontianak]] (kini bernama Masjid Sultan Syarif Abdurrahman) dan Istana Kadariyah yang sekarang terletak di [[Kelurahan|Kelurahan Dalam Bugis]], [[Kecamatan|Kecamatan Pontianak Timur]], [[Kota Pontianak]].
 
=== Masa Kolonial ===
Pada tahun [[1778]], kolonialis [[Belanda]] dari [[Batavia]] memasuki [[Pontianak]] dengan dipimpin oleh Willem ArdinpolaArdinpalm. [[Belanda]] saat itu menempati daerah di seberang istana kesultanan yang kini dikenal dengan daerah Tanah Seribu atau ''Verkendepaal''. Palm kemudian digantikan oleh Wolter Markus Stuart yang bertindak sebagai ''Resident van Borneo’s Wester Afdeling I'' ([[1779]]-[[1784]]) dengan kedudukan di [[Pontianak]]. Semula, [[Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie]] menolak tawaran kerjasama dengan negeri asing dari [[Eropa]] itu. Namun setelah utusan itu datang untuk kedua kalinya, Syarif menerima [[Belanda]] sebagai rekan persemakmuran dengan tangan terbuka.
 
Pada tanggal [[5 Juli]] [[1779]], [[Belanda]] membuat perjanjian dengan Sultan mengenai penduduk Tanah Seribu agar dapat dijadikan daerah kegiatan bangsa [[Belanda]] yang kemudian menjadi kedudukan pemerintahan ''Resident het Hoofd Westeraffieling van Borneo'' (Kepala Daerah Keresidenan Borneo Barat) dan ''Asistent Resident het Hoofd der Affleeling van Pontianak'' (Asisten Residen Kepala Daerah Kabupaten Pontianak). Area ini selanjutnya menjadi ''Controleur het Hoofd Onderafdeeling van Pontianak'' atau ''Hoofd Plaatselijk Bestuur van Pontianak''.
Baris 59:
Anak tertua Sultan Syarif Usman, Syarif Hamid Alkadrie ([[1855]]-[[1872]]), kemudian dinobatkan sebagai [[Sultan Pontianak]] pada [[12 April]] [[1855]]. Dan ketika Sultan Syarif Hamid wafat pada [[1872]], putra tertuanya, Syarif Yusuf Alkadrie ([[1872]]-[[1895]]) naik tahta sebagai beberapa bulan setelah ayahanya wafat. Sultan Syarif Yusuf dikenal sebagai satu-satunya sultan yang paling sedikit mencampuri urusan pemerintahan. Dia lebih aktif dalam bidang keagamaan, sekaligus merangkap sebagai penyebar agama [[Islam]].
 
Pemerintahan Sultan Syarif Yusuf berakhir pada [[15 Maret]] [[1895]]. Dia digantikan oleh putranya, Syarif Muhammad Alkadrie ([[1895]]-[[1944]]) yang dinobatkan sebagai [[Sultan Pontianak]] pada [[6 Agustus]] [[1895]]. Pada masa ini, hubungan kerjasama Kesultanan Pontianak dengan [[Belanda]] semakin erat dan kuat. Masa pemerintahan Sultan Syarif Muhammad merupakan masa pemerintahan terpanjang dalam sejarah Kesultanan Pontianak. Ia sangat berperan dalam mendorong terjadinya pembaruan dan moderenisasi di [[Pontianak]]. Dalam bidang [[sosial]] dan [[kebudayaan]], dia adalah sultan [[Melayu]] di [[Kalimantan Barat]] yang pertama kali berpakaian kebesaran [[Eropa]] di samping pakaian [[Melayu]], ''Teluk Belanga'', sebagai pakaian resmi. Dia juga orang yang menyokong majunya bidang pendidikan serta kesehatan. Selain itu, ia juga mendorong masuknya modal [[swasta]] [[Eropa]] dan [[Cina]], serta mendukung bangsa [[Melayu]] dan [[Cina]] mengembangkan perkebunan karet, kelapa, dan kopra serta industri minyak kelapa di [[Pontianak]]. Sementara dalam aspek [[politik]], Sultan memfasilitasi berdiri dan berkembangnya [[organisasi]]-[[organisasi]] [[politik]], baik yang dilakukan oleh kerabat kesultanan maupun tokoh-tokoh masyarakat.
 
=== Masa Pendudukan Jepang ===