Kesultanan Pontianak: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baskoro Aji (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baskoro Aji (bicara | kontrib)
Baris 53:
Pada tanggal [[5 Juli]] [[1779]], [[Belanda]] membuat perjanjian dengan Sultan mengenai penduduk Tanah Seribu agar dapat dijadikan daerah kegiatan bangsa [[Belanda]] yang kemudian menjadi kedudukan pemerintahan ''Resident het Hoofd Westeraffieling van Borneo'' (Kepala Daerah Keresidenan Borneo Barat) dan ''Asistent Resident het Hoofd der Affleeling van Pontianak'' (Asisten Residen Kepala Daerah Kabupaten Pontianak). Area ini selanjutnya menjadi ''Controleur het Hoofd Onderafdeeling van Pontianak'' atau ''Hoofd Plaatselijk Bestuur van Pontianak''.
 
Pada tahun [[1808]], Sultan Syarif Abdurrahman wafat. Dia dimakamkan di Batu Layang, [[Pontianak]]. Selanjutnya, Syarif Kasim Alkadrie ([[1808]]-[[1819]]) naik tahta menjadi [[Sultan Pontianak]] menggantikan ayahnya. Di bawah kekuasaan Sultan Syarif Kasim, Kesultanan Pontianak semakin mempererat kerjasama dengan [[Kerajaan Belanda]] dan kemudian [[Kerajaan Inggris]] sejak tahun [[1811]].
 
Setelah Sultan Syarif Kasim wafat pada [[25 Februari]] [[1819]], Syarif Usman Alkadrie ([[1819]]-[[1855]]) naik tahta sebagai [[Sultan Pontianak]]. Pada masa kekuasaan Sultan Syarif Usman, banyak kebijakan bermanfaat yang dikeluarkan olehnya, termasuk dengan meneruskan proyek pembangunan Masjid Jami’ pada [[1821]] dan perluasan Istana Kadriyah pada tahun [[1855]]. Pada [[April]] [[1855]], Sultan Syarif Usman meletakkan jabatannya sebagai sultan dan kemudian wafat pada [[1860]].
 
Anak tertua Sultan Syarif Usman, Syarif Hamid Alkadrie ([[1855]]-[[1872]]), kemudian dinobatkan sebagai [[Sultan Pontianak]] pada [[12 April]] [[1855]]. Dan ketika Sultan Syarif Hamid wafat pada [[1872]], putra tertuanya, Syarif Yusuf Alkadrie ([[1872]]-[[1895]]) naik tahta sebagai beberapa bulan setelah ayahanya wafat. Sultan Syarif Yusuf dikenal sebagai satu-satunya sultan yang paling sedikit mencampuri urusan pemerintahan. Dia lebih kuataktif berpegangandalam danbidang berurusan pada aturan agamakeagamaan, sekaligus merangkap sebagai penyebar agama [[Islam]].
 
Pemerintahan Sultan Syarif Yusuf berakhir pada [[15 Maret]] [[1895]]. Dia digantikan oleh putranya, Syarif Muhammad Alkadrie ([[1895]]-[[1944]]) yang dinobatkan sebagai [[Sultan Pontianak]] pada [[6 Agustus]] [[1895]]. Pada masa ini, hubungan kerjasama Kesultanan Pontianak dengan [[Belanda]] semakin erat dan kuat. Masa pemerintahan Sultan Syarif Muhammad merupakan masa pemerintahan terpanjang dalam sejarah Kesultanan Pontianak. Ia sangat berperan dalam mendorong terjadinya pembaruan dan moderenisasi di [[Pontianak]]. Dalam bidang [[sosial]] dan [[kebudayaan]], dia adalah sultan [[Melayu]] di [[Kalimantan Barat]] yang pertama kali berpakaian kebesaran [[Eropa]] di samping pakaian [[Melayu]], ''Teluk Belanga'', sebagai pakaian resmi. Dia juga orang yang menyokong majunya bidang pendidikan serta kesehatan. Selain itu, ia juga mendorong masuknya modal [[swasta]] [[Eropa]] dan [[Cina]], serta mendukung bangsa [[Melayu]] dan [[Cina]] mengembangkan perkebunan karet, kelapa, dan kopra serta industri minyak kelapa di [[Pontianak]. Sementara dalam aspek [[politik]], Sultan memfasilitasi berdiri dan berkembangnya [[organisasi]]-[[organisasi]] [[politik]], baik yang dilakukan oleh kerabat kesultanan maupun tokoh-tokoh masyarakat.
 
=== Masa Pendudukan Jepang ===