Haji (gelar): Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
EmausBot (bicara | kontrib)
k Bot: Migrasi 16 pranala interwiki, karena telah disediakan oleh Wikidata pada item d:Q1066124
Baris 1:
'''Haji''' adalah gelar homonim dengan etimologi yang berbeda. Dalam budaya Islam, gelar haji umumnya digunakan untuk orang yang sudah melaksanakan haji. Istilah ini berasal dari bahasa Arab (حاج) yang merupakan bentuk isim fail (partisip aktif) dari kata kerja 'hajj' (Arab: حج, 'pergi haji') atau dari kata benda 'hajj' (Arab: حج, 'ibadah haji') yang diberi sufiks [nisbah|Nisbah] menjadi 'hajjiy' (Arab: حجي).
'''Haji''' adalah sebutan atau [[gelar]] untuk pria [[muslim]] yang telah berhasil menjalankan ibadah [[haji]]. Umum digunakan sebagai tambahan di depan nama dan sering disingkat dengan "H". Dalam hal ini biasanya para Haji membubuhkan gelarnya dianggap oleh mayoritas masyarakat sebagai tauladan maupun contoh di daerah mereka. Bisa dikatakan sebagai [[guru]] atau panutan untuk memberikan contoh sikap secara lahiriah dan batiniah dalam segi [[Islam]] sehari-hari.
 
== Gelar dalam Islam ==
=== Asal mula ===
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Een islamitische pelgrim die naar Mekka is geweest TMnr 3728-729.jpg|thumb|200px|Sebuah [[lukisan]] yang menggambarkan seseorang yang telah menunaikan ibadah [[haji]] dan mengenakan pakaian [[Arab]], di masa [[Hindia Belanda]] digambar oleh [[Auguste van Pers]], pada tahun 1854.]]
'''Haji''' adalah sebutan atau [[gelar]] untuk pria [[muslim]] yang telah berhasil menjalankan ibadah [[haji]]. Umum digunakan sebagai tambahan di depan nama dan sering disingkat dengan "H". Dalam hal ini biasanya para Haji membubuhkan gelarnya dianggap oleh mayoritas masyarakat sebagai tauladan maupun contoh di daerah mereka. Bisa dikatakan sebagai [[guru]] atau panutan untuk memberikan contoh sikap secara lahiriah dan batiniah dalam segi [[Islam]] sehari-hari.
Penggunaan gelar haji yang sering disematkan pada seseorang yang telah pergi haji, awalnya digunakan pemerintah [[Hindia Belanda]] untuk identifikasi para jemaah haji yang mencoba memberontak, sepulangnya dari [[Tanah Suci]]. Mereka dicurigai sebagai anti [[kolonialisme]], dengan pakaian ala penduduk [[Arab]] yang disebut oleh [[VOC]] sebagai “kostum [[Muhammad]] dan sorban”.
 
Gelar yang aslinya bahasa Arab ini telah memiliki versi sesuai bahasa lokal masing-masing negara. Dalam bahasa Farsi dan Pashto ditulis: حاجی, bahasa Yunani: Χατζής, Albania: ''Haxhi'', Bulgaria: Хаджия, Kurdi: ''Hecî'', Serbia/Bosnia/Kroasia: Хаџи atau Hadži, Turki: ''Hacı'', Hausa: ''Alhaji'' dan bahasa Romania: ''hagiu''.
Dalam gelombang propaganda anti VOC pada [[1670]]-an di [[Banten]], banyak orang meninggalkan [[pakaian adat]] [[Jawa]] kemudian menggantinya dengan memakai pakaian Arab.<ref>[[Kees van Dijk]] dalam “Sarung, Jubah, dan Celana: Penampilan sebagai Sarana Pembedaan dan Diskriminasi”, yang termuat dalam ''Outward Appearances'': Trend, Identitas, Kepentingan.</ref>
 
Di beberapa negara, gelar haji dapat diwariskan turun-temurun sehingga menjadi nama keluarga seperti ''Hadžiosmanović'' dalam bahasa Bosnia yang berarti 'Bani Haji Usman' alias 'anak Haji Usman'. Di negara-negara Arab, gelar haji awam digunakan sebagai penghormatan kepada orang yang lebih tua terlepas dari pernah haji atau belum. Gelar haji juga digunakan di negara-negara kristen Balkan yang pernah dijajah Imperium Usmani (Bulgaria, Serbia, Yunani, Montenegro, Makedonia dan Romania) bagi orang kristen yang sudah pernah berziarah ke Yerusalem dan Tanah Suci.<ref>http://www.apologitis.com/gr/ancient/Ierosolyma.htm</ref>
Salah satu lawan tangguh [[Belanda]] pada saat itu adalah [[Pangeran Diponegoro]], pemimpin [[Perang Jawa]] (1825-1830). Dalam [[Babad Dipanegara]] disebutkan Pangeran Diponegoro pergi ke medan [[perang]] dengan mengenakan pakaian berupa celana, jubah, dan penutup kepala berwarna putih. Di kesempatan lain, dia mengenakan pakaian hitam dalam gaya Arab dan sorban hitam atau hijau, terlebih setelah dia mengundurkan diri dari kehidupan [[istana]] dan mengembara ke pedesaan. Pada masa itu, seiring kepopuleran [[Wahabi]] di [[Mekah]], kalangan [[ulama]] memang kerap menggunakan busana jubah dan sorban.
 
PenggunaanDalam konteks historis di Hindia Belanda, penggunaan gelar haji yang sering disematkan pada seseorang yang telah pergi haji, awalnyadan sempat digunakan pemerintah [[Hindia Belanda]] untuk identifikasi para jemaah haji yang mencoba memberontak, sepulangnya dari [[Tanah Suci]]. Mereka dicurigai sebagai anti [[kolonialisme]], dengan pakaian ala penduduk [[Arab]] yang disebut oleh [[VOC]] sebagai “kostum [[Muhammad]] dan sorban”.
Di Pulau [[Sumatra]], [[Imam Bonjol]] yang memimpin [[Perang Padri]], dan pasukannya, juga mengenakan pakaian gaya Arab serba putih. Kaum Padri, seperti juga kaum Wahhabi di Arab, menekankan pada pelaksanaan [[syariat Islam]] secara ketat. Dalam hal pakaian, mereka mengharuskan perempuan memakai [[jilbab]] dan laki-laki mengenakan pakaian putih bergaya Arab, dari sinilah muncul istilah “kaum putih”.
 
PemerintahDilatar belakangi oleh gelombang propaganda anti VOC pada [[1670]]-an di [[Banten]], ketika banyak orang meninggalkan [[pakaian adat]] [[Jawa]] kemudian menggantinya dengan memakai pakaian Arab, serta oleh pemberontakan Pangeran Diponegoro serta Imam Bonjol yang terpengaruh pemikiran Wahabi sepulang haji,<ref>[[Kees van Dijk]] dalam “Sarung, Jubah, dan Celana: Penampilan sebagai Sarana Pembedaan dan Diskriminasi”, yang termuat dalam ''Outward Appearances'': Trend, Identitas, Kepentingan.</ref> pemerintah Hinda Belanda akhirnya menjalankan [[politik]] Islam, yaitu sebuah kebijakan dalam mengelola masalah-masalah [[Islam]] di [[Nusantara]] pada masa itu.<ref>Politik [[Hindia Belanda]] Terhadap Islam (1985, LP3S) karya Prof. Dr. [[Aqib Suminto]].</ref> Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintahan Belanda ''Staatsblad'' tahun 1903. Maka sejak tahun [[1911]], pemerintah Hindia Belanda mengkarantina penduduk [[pribumi]] yang ingin pergi haji maupun setelah pulang haji di [[Pulau Cipir]] dan [[Pulau Onrust]], mereka mencatat dengan detail nama-nama dan maupun asal wilayah jamaah Haji. Begitu terjadi pemberontakan di wilayah tersebut, Pemerintah Hindia Belanda dengan mudah menemukan warga pribumi, karena di depan nama mereka sudah tercantum gelar haji.
 
=== Kontroversi ===