Pemberontakan di Aceh: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Kenrick95Bot (bicara | kontrib)
k Bot: Penggantian teks otomatis (-di tahun +pada tahun)
k clean up, replaced: merubah → mengubah using AWB
Baris 14:
|combatant1={{flagicon|Indonesia}} [[Indonesia]]
|combatant2=[[File:Flag of Aceh.svg|20px]] [[Gerakan Aceh Merdeka]]
|commander1=[[Suharto]]</br /> [[Bacharuddin Jusuf Habibie|Jusuf Habibie]]</br /> [[Abdurahman Wahid]]</br /> [[Megawati Sukarnoputri]]</br /> [[Susilo Bambang Yudhoyono|Susilo Yudhoyono]]
|commander2=[[Hasan di Tiro]]
|strength1= 150,000 <ref>Miller, Michelle Ann. Rebellion and Reform in Indonesia. Jakarta's Security and Autonomy Policies in Aceh (London: Routledge 2008) ISBN 978-0-415-45467-4</ref>
Baris 34:
Kecenderungan sistem sentralistik pemerintahan [[Soeharto]], bersama dengan keluhan lain mendorong tokoh masyarakat Aceh [[Hasan di Tiro]] untuk membentuk [[Gerakan Aceh Merdeka]] (GAM) pada tanggal [[4 Desember]] [[1976]] dan mendeklarasikan kemerdekaan Aceh. Ancaman utama yang dianggap melatarbelakangi adalah terhadap praktik agama Islam konservatif masyarakat Aceh, budaya pemerintah Indonesia yang dianggap "neo-kolonial", dan meningkatnya jumlah migran dari pulau [[Jawa]] ke provinsi Aceh. Distribusi pendapatan yang tidak adil dari sumber daya alam substansial Aceh juga menjadi bahan perdebatan. Serangan pertama GAM pada tahun 1977 dilakukan terhadap [[Mobil Oil]] Indonesia yang merupakan pemegang saham PT [[Arun NGL]], perusahaan yang mengoperasikan [[ladang gas Arun]].
 
Pada tahap ini, jumlah pasukan yang dimobilisasi oleh GAM yang sangat terbatas. Meskipun telah ada ketidakpuasan cukup besar di Aceh dan simpati yang mungkin pada tujuan GAM, hal ini tidak mengundang partisipasi aktif massa. <ref name=Schulz_p14>{{cite book|title=Ibid|page=14}}</ref> Dalam pengakuan Hasan di Tiro sendiri, hanya 70 orang yang bergabung dengannya dan mereka kebanyakan berasal dari kabupaten [[Pidie]], terutama dari desa di Tiro sendiri, yang bergabung karena loyalitas pribadi kepada keluarga di Tiro, sementara yang lain karena kekecewaan terhadap pemerintah pusat. <ref name=Schulz_p14>{{cite book|title=ibid}}</ref>
 
Banyak pemimpin GAM adalah pemuda dan profesional berpendidikan tinggi yang merupakan anggota kelas ekonomi atas dan menengah masyarakat Aceh. <ref>{{cite book|last=di Tiro|first=Hasan M.|title=The Price of Freedom The Unfinished Diary|year=1984|publisher=Information Department, National Liberation Front Acheh Sumatara|location=Norsborg, Sweden|pages=108}}</ref> Kabinet pertama GAM, yang dibentuk oleh di Tiro di Aceh antara tahun 1976 dan 1979, terdiri dari tokoh [[Darul Islam|pemberontakan Darul Islam]] berikut ini: <ref>{{cite book|last=Schulz|title=Op Cit|page=10}}</ref>
 
* Teungku [[Hasan di Tiro]]:''Wali Negara'', Menteri Pertahanan, dan Panglima Agung
Baris 57:
[[Berkas:Teuku Daud Beureueh.jpg|thumb|left|175px|Teungku Muhammad [[Daud Beureueh]]]]
 
Pada tahun 1985, di Tiro mendapat dukungan [[Libya]] untuk GAM, dengan mengambil keuntungan dari kebijakan [[Muammar Gaddafi]] yang mendukung pemberontakan nasionalis melalui "[[Mathaba]] Melawan [[Imperialisme]], [[Rasisme]], [[Zionisme]] dan [[Fasisme]]".<ref name=Aspinall_Islam_105>{{cite book|last=Aspinall|title=Islam and Nation|page=105}}</ref> Tidak jelas apakah Libya kemudian telah mendanai GAM, tapi yang pasti disediakan adalah tempat perlindungan di mana para serdadu GAM bisa menerima pelatihan militer yang sangat dibutuhkan.<ref name=Aspinall_Islam_105>{{cite book|title=ibid}}</ref> Sejumlah pejuang GAM yang dilatih oleh Libya selama periode 1986-1989 atau 1990 menceritakan pengakuan yang berbeda-beda.<ref>{{cite book|title=ibid}}</ref> Perekrut GAM mengklaim bahwa jumlah mereka ada sekitar 1.000 sampai 2.000 sedangkan laporan pers yang ditulis berdasar laporan militer Indonesia menyatakan bahwa mereka berjumlah 600-800.<ref name=Aspinall_Islam_105>{{cite book|title=ibid}}</ref> Di antara para pemimpin GAM yang bergabung selama fase ini adalah [[Sofyan Dawood]] (yang kemudian menjadi komandan GAM Pasè, [[Aceh Utara]]) dan [[Ishak Daud]] (yang menjadi juru bicara GAM di [[Peureulak]], [[Aceh Timur]]). <ref>{{cite book|last=Schulz|title=Op cit|pages=15–16}}</ref>
 
Insiden di tahap kedua dimulai pada tahun 1989 setelah kembalinya peserta pelatihan GAM dari Libya.<ref name=Aspinall_Islam_110>{{cite book|last=Aspinall|title=Islam and Nation|pages=110}}</ref> Operasi yang dilakukan GAM antara lain operasi merampok senjata, serangan terhadap polisi dan pos militer, pembakaran dan pembunuhan yang ditargetkan kepada polisi dan personel militer, informan pemerintah dan tokoh-tokoh yang pro-Republik Indonesia.
Baris 68:
Pada tahun 1999, terjadi kekacauan di [[Jawa]] dan pemerintah pusat yang tidak efektif karena jatuhnya [[Soeharto]] memberikan keuntungan bagi [[Gerakan Aceh Merdeka]] dan mengakibatkan pemberontakan tahap kedua, kali ini dengan dukungan yang besar dari masyarakat Aceh.<ref>Miller, Michelle Ann. op. cit.</ref> Pada tahun 1999 penarikan pasukan diumumkan, namun situasi keamanan yang memburuk di Aceh kemudian menyebabkan pengiriman ulang lebih banyak tentara. Jumlah tentara diyakini telah meningkat menjadi sekitar 15.000 selama masa jabatan Presiden [[Megawati Soekarnoputri]] (2001 -2004) pada pertengahan 2002. GAM mampu menguasai 70 persen pedesaan di seluruh Aceh.<ref>{{cite news|newspaper=The Indonesian Observer|date=2 December 1999}}</ref>
 
Selama fase ini, ada dua periode penghentian konflik singkat: yaitu "Jeda Kemanusiaan" tahun 2000 dan "Cessation of Hostilities Agreement" (COHA) ("Kesepakatan Penghentian Permusuhan") yang hanya berlangsung antara Desember 2002 ketika ditandatangani dan berakhir pada Mei 2003 ketika pemerintah Indonesia menyatakan "[[darurat militer]]" di Aceh dan mengumumkan bahwa ingin menghancurkan GAM sekali dan untuk selamanya. <ref>{{cite book|last=Aspinall|first=Edward|title=The Helsinki Agreement: A More Promising Basis for Peace in Aceh?|year=2005|publisher=East-West Center Washington|location=Washington|isbn=978-1-932728-39-2|pages=vii}}</ref>
 
Dalam istirahat dari penggunaan cara-cara militer untuk mencapai kemerdekaan, GAM bergeser posisi mendukung penyelenggaraan referendum. Dalam demonstrasi pro-referendum [[8 November]] [[1999]] di [[Banda Aceh]], GAM memberikan dukungan dengan menyediakan transportasi pada para pengunjuk rasa dari daerah pedesaan ke ibukota provinsi. <ref>{{cite web|title=Millions demand referendum in Aceh|url=http://www.greenleft.org.au/node/18871|publisher=Green Left|accessdate=23 October 2012}}</ref> Pada tanggal [[21 Juli]] [[2002]], GAM juga mengeluarkan [[Deklarasi Stavanger]] setelah pertemuan "''Worldwide Achehnese Representatives Meeting''" di [[Stavanger]], [[Norwegia]].<ref>{{cite web|title=Acheh: The Stavanger Declaration|url=http://www.unpo.org/article/747|publisher=Unrepresented Nations and Peoples Organization|accessdate=23 October 2012}}</ref> Dalam deklarasi tersebut, GAM menyatakan bahwa "Negara Aceh mempraktekkan sistem demokrasi."<ref>{{cite web|title=ibid|accessdate=23 October 2012}}</ref> Impuls hak-hak demokratis dan hak asasi manusia dalam GAM ini ini dilihat sebagai akibat dari upaya kelompok berbasis perkotaan di Aceh yang mempromosikan nilai-nilai tersebut karena lingkungan yang lebih bebas dan lebih terbuka setelah jatuhnya rezim otoriter Soeharto.<ref>{{cite book|last=Aspinall|title=Islam and Nation|page=142}}</ref>
 
Memburuknya kondisi keamanan sipil di Aceh menyebabkan tindakan pengamanan keras diluncurkan pada tahun 2001 dan 2002. Pemerintah Megawati akhirnya pada tahun 2003 meluncurkan [[Operasi militer Indonesia di Aceh 2003-2004|operasi militer]] untuk mengakhiri konflik dengan GAM untuk selamanya dan [[keadaan darurat]] dinyatakan di Provinsi Aceh. Pada bulan November 2003 darurat militer diperpanjang lagi selama enam bulan karena konflik belum terselesaikan. Menurut laporan ''[[Human Rights Watch]]'',<ref>[http://hrw.org/reports/2003/indonesia1203/5.htm#_Toc58915047 Human Rights Watch]</ref> militer Indonesia kembali melakukan pelanggaran [[hak asasi manusia]] dalam operasi ini seperti operasi sebelumnya, dengan lebih dari 100.000 orang mengungsi di tujuh bulan pertama darurat militer dan pembunuhan di luar hukum yang umum. Konflik ini masih berlangsung ketika tiba-tiba [[Gempa bumi Samudra Hindia 2004|bencana Tsunami bulan Desember 2004]] memporakporandakan provinsi Aceh dan membekukan konflik yang terjadi di tengah bencana alam terbesar dalam sejarah Indonesia tersebut.
 
=== Kesepakatan damai dan pilkada pertama ===
Setelah [[Gempa bumi Samudra Hindia 2004|bencana Tsunami dahsyat]] menghancurkan sebagian besar Aceh dan menelan ratusan ribu korban jiwa, kedua belah pihak, GAM dan pemerintah Indonesia menyatakan [[gencatan senjata]] dan menegaskan kebutuhan yang sama untuk menyelesaikan konflik berkepanjangan ini. <ref>Pengakuan yang sangat berguna dan rinci dari proses negosiasi dari pihak Indonesia dalam buku oleh negosiator kunci Indonesia , Hamid Awaludin, ''Peace in Aceh: Notes on the peace process between the Republic of Indonesia and the Aceh Freedom Movement (GAM) in Helsinki'', diterjemahkan Tim Scott, 2009, [[Centre for Strategic and International Studies (Indonesia)|Centre for Strategic and International Studies]], Jakarta. ISBN 978-979-1295-11-6.</ref> Namun, bentrokan bersenjata sporadis terus terjadi di seluruh provinsi. Karena gerakan separatis di daerah, pemerintah Indonesia melakukan pembatasan akses terhadap [[pers]] dan [[pekerja bantuan]]. Namun setelah tsunami, pemerintah Indonesia membuka daerah untuk upaya bantuan internasional.<ref>http://www.asiapacific.ca/analysis/pubs/pdfs/commentary/cac43.pdf</ref>
 
Bencana tsunami dahsyat tersebut walaupun menyebabkan kerugian manusia dan material yang besar bagi kedua belah pihak, juga menarik perhatian dunia internasional terhadap konflik di Aceh. Upaya-upaya perdamaian sebelumnya telah gagal, tetapi karena sejumlah alasan, termasuk tsunami tersebut, perdamaian akhirnya menang pada tahun 2005 setelah 29 tahun konflik berkepanjangan. Era pasca-[[Soeharto]] dan [[Sejarah Indonesia (1998-sekarang)|masa reformasi]] yang liberal-demokratis, serta perubahan dalam sistem militer Indonesia, membantu menciptakan lingkungan yang lebih menguntungkan bagi pembicaraan damai. Peran Presiden Indonesia yang baru terpilih, [[Susilo Bambang Yudhoyono]] dan Wakil Presiden [[Jusuf Kalla]] adalah sangat signifikan dalam menangnya perdamaian di Aceh.<ref>See Hamid Awaludin, op. cit.</ref> Pada saat yang sama, kepemimpinan juga GAM mengalami perubahan, dan [[militer Indonesia]] telah menimbulkan begitu banyak kerusakan pada gerakan pemberontak yang mungkin menempatkan GAM di bawah tekanan kuat untuk bernegosiasi.<ref>[http://www.atimes.com/atimes/Southeast_Asia/HH15Ae01.html Asia Times Online :: Southeast Asia news - A happy, peaceful anniversary in Aceh<!-- judul hasil Bot -->]</ref> Perundingan perdamaian tersebut difasilitasi oleh [[LSM]] berbasis [[Finlandia]], ''[[Crisis Management Initiative]]'', dan dipimpin oleh mantan Presiden Finlandia [[Martti Ahtisaari]]. Perundingan ini menghasilkan kesepakatan damai <ref>[http://www.aceh-mm.org/download/english/Helsinki%20MoU.pdf Text of the MOU] (PDF format)</ref> ditandatangani pada [[15 Agustus]] [[2005]]. Berdasarkan perjanjian tersebut, Aceh akan menerima otonomi khusus di bawah Republik [[Indonesia]], dan tentara non-organik (mis. tentara beretnis non-Aceh) akan ditarik dari provinsi Aceh (hanya menyisakan 25.000 tentara), dan dilakukannya pelucutan senjata GAM. Sebagai bagian dari perjanjian tersebut, [[Uni Eropa]] mengirimkan 300 pemantau yang tergabung dalam ''[[Aceh Monitoring Mission]]'' (Misi Pemantau Aceh). Misi mereka berakhir pada tanggal [[15 Desember]] [[2006]], setelah suksesnya [[pilkada]] atau [[Pemilihan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam 2006|pemilihan daerah gubernur Aceh]] yang pertama.
Baris 104:
Meskipun Indonesia adalah negara bermayoritas penduduk Muslim, dengan membangun adanya "konsepsi diri" di Aceh akan perannya dalam Islam dan dengan adanya sikap bermusuhan ''Orde Baru'' terhadap pengaruh sosial dalam bentuk-bentuk Islam di Aceh, GAM mampu membingkai perjuangan mereka melawan pemerintah Indonesia sebagai "''prang sabi''" ("perang suci" atau "[[jihad]]" menurut Islam). Dalam banyak cara yang sama, istilah ini banyak digunakan dalam "Perang Kafir" (atau [[Perang Aceh]]) melawan Belanda tahun 1873-1913. Indikasi tentang ini adalah peminjaman istilah-istilan dalam buku ''[[Hikayat Prang Sabi]]'' ("Cerita Perang Suci"), sebuah kumpulan cerita Aceh yang digunakan untuk menginspirasi perlawanan terhadap Belanda, oleh beberapa simpatisan GAM sebagai propaganda melawan pemerintah Indonesia. Sebelum gelombang kedua pemberontakan oleh GAM pada akhir 1980-an, telah diamati bahwa beberapa orang telah memaksa anak-anak sekolah Aceh untuk malah menyanyikan lagu ''Hikayat Prang Sabi'', daripada lagu nasional Indonesia, ''[[Indonesia Raya]]''.<ref>{{cite book|last=Aspinall|title=Islam and Nation|page=110}}</ref> Bahan publikasi politik GAM juga menggambarkan ''[[Pancasila]]'', ideologi negara resmi Indonesia sebagai "ajaran [[politeisme|politeistik]]" yang dilarang oleh Islam.<ref>{{cite book|title=ibid|page=199}}</ref>
 
Kendati hal di atas, terlihat bahwa pada masa setelah [[kejatuhan Soeharto|jatuhnya Soeharto]] pada tahun 1998, agama Islam sebagai faktor pendorong separatisme Aceh mulai mereda, bahkan setelah terjadi proliferasi munculnya serikat mahasiswa Muslim dan kelompok-kelompok ormas Islam lainnya di Aceh. Telah dicatat bahwa kelompok-kelompok baru yang muncul tersebut jarang menyerukan pelaksanaan ''syariah'' di Aceh. Sebaliknya, mereka menekankan perlunya [[referendum]] kemerdekaan Aceh dan menyoroti [[pelanggaran HAM]] yang dilakukan oleh [[Angkatan Bersenjata Republik Indonesia]] (TNI) di Aceh.<ref>{{cite book|title=ibid|page=197}}</ref> Demikian pula, posisi GAM pada ''syariah'' juga bergeser. Ketika pemerintah pusat mengeluarkan [[Daerah istimewa|UU Nomor 44/1999]] tentang Otonomi Aceh yang mencakup ketentuan pelaksanaan ''syariah'' di Aceh, GAM malah mengutuk langkah pemerintah Indonesia tersebut sebagai tidak relevan dan mungkin upaya untuk menipu Aceh atau menggambarkan mereka ke dunia luar sebagai fanatik agama.<ref>{{cite book|title=ibid|page=194}}</ref> Meskipun merubahmengubah sikap terhadap ''syariah'', posisi GAM tidaklah jelas. Hal ini dicatat oleh ''[[International Crisis Group]]'' (ICG) bahwa antara tahun 1999 dan 2001, terjadi beberapa kasus secara periodik di mana komandan militer lokal GAM memaksakan penerapan hukum ''syariah'' di masyarakat Aceh dimana mereka memiliki pengaruh.
<ref>{{cite journal|title=Islamic Law and Criminal Justice in Aceh|journal=International Crisis Group|date=31|year=2006|month=July|issue=117|page=5}}</ref> Aspinall mengamati bahwa secara keseluruhan, posisi GAM yang berubah-ubah terhadap ''syariah'' dan Islam di Aceh tergantung pada lingkungan internasional dan negara yang mereka inginkan dukungannya untuk kemerdekaan mereka, yaitu: jika negara Barat yang mereka anggap penting, Islam akan tidak ditekankan, namun jika negara-negara Islam yang dianggap penting, Islam akan sangat ditekankan.<ref>{{cite book|last=Aspinall|title=Islam and Nation|pages=200–202}}</ref>
 
Baris 136:
 
=== Pelanggaran HAM oleh militer Indonesia ===
Robinson mengatakan bahwa penggunaan teror oleh [[militer Indonesia]] dalam aksi kontra-pemberontakan melawan GAM dalam periode rezim ''Orde Baru'' pertengahan 1990 (dalam tahap kedua pemberontakan) telah menyebabkan meluasnya dukungan dari masyarakat Aceh yang terpengaruh oleh kebijakan militer Indonesia tersebut, dan mendorong mereka untuk menjadi lebih simpatik dan mendukung GAM. <ref name=Robinson_140>{{cite journal|last=Robinson|title=Rawan is as Rawan Does|journal=Indonesia|page=140}}</ref> Ia menilai bahwa metode militer tersebut malah memiliki efek meningkatkan tingkat kekerasan, mengganggu masyarakat Aceh, dan luka yang ditimbulkan terbukti sulit untuk disembuhkan.<ref name=Robinson_140>{{cite book|title=ibid}}</ref> ''[[Amnesty International]]'' mencatat:
 
: Otoritas politik [[ABRI|Angkatan Bersenjata]] (Republik Indonesia), yang besar bahkan dalam kondisi normal, sekarang (telah) menjadi tak tertandingi. Atas nama keamanan nasional, otoritas militer dan polisi dikerahkan di Aceh kemudian bebas untuk menggunakan hampir segala cara yang dipandang perlu untuk menghancurkan [[GPK]] ("Gerakan Pengacauan Keamanan"), yang merupakan nomenklatur (istilah) pemerintah Indonesia untuk GAM.<ref name=AI_1993>{{cite book|title=Document - Indonesia: "Shock Therapy": Restoring Order in Aceh 1989-1993|year=1993|publisher=Amnesty International|url=http://www.amnesty.org/en/library/asset/ASA21/007/1993/en/0428b5b2-ecb7-11dd-85fd-99a1fce0c9ec/asa210071993en.html}}</ref>
Baris 149:
 
=== Kepentingan militer Indonesia di Aceh ===
Damien Kingsbury, yang menjabat sebagai penasihat informal pimpinan GAM di [[Swedia]] selama [[Perundingan Damai Helsinki 2005]], menyatakan bahwa militer Indonesia memiliki kepentingan tersembunyi di Aceh sehingga mereka sengaja menjaga konflik supaya tetap terjadi di tingkat yang akan membenarkan kehadiran mereka di provinsi bergolak tersebut. <ref>{{cite journal|last=Kingsbury|first=Damien|coauthors=Lesley McCulloch|title=Military Business in Aceh|journal=Verandah of Violence: The Background to the Aceh Conflict|year=2006|series=ed Anthony Reid|pages=212}}</ref> [[ICG]] juga menegaskan dalam sebuah laporan tahun 2003 bahwa, "Aceh (adalah) tempat yang terlalu menguntungkan untuk para perwira militer yang sangat bergantung pada pendapatan yang bersumber non-anggaran ."<ref>{{cite journal|last=Indonesian Crisis Group|title=Aceh: How Not to Win Hearts and Minds|journal=Indonesia Briefing|date=3|year=2003|month=July|page=7}}</ref>
 
Kingsbury menguraikan berikut sebagai kegiatan usaha yang diduga dilakukan oleh militer Indonesia di Aceh:<ref>{{cite journal|last=Kingsbury|title=Military Businesses in Aceh|journal=Verandah of Violence|pages=212–217}}</ref>
 
* [[Obat terlarang]]: Pasukan keamanan mendorong petani lokal Aceh untuk menanam [[ganja]] dan membayar mereka harga yang jauh di bawah nilai [[pasar gelap]]. Salah satu contoh kasus yang disorot adalah di mana seorang polisi pilot helikopter mengakui setelah penangkapannya, bahwa ia mengangkut 40 &nbsp;kg konsinyasi obat (ganja) untuk atasannya, kepala polisi [[Aceh Besar]] (perlu dicatat bahwa pada saat itu [[Kepolisian Republik Indonesia]] atau Polri berada di bawah komando militer atau [[ABRI]]). Kasus lain adalah pada bulan September 2002 di mana sebuah truk tentara dicegat oleh polisi di [[Binjai]], [[Sumatera Utara]] dengan muatan 1.350 &nbsp;kg ganja.
 
* [[Industri pertahanan|Penjualan senjata ilegal]]: Wawancara pada tahun 2001 dan 2002 dengan para pemimpin GAM di Aceh mengungkapkan bahwa beberapa senjata mereka sebenarnya dibeli dari oknum militer Indonesia. Metode pertama penjualan ilegal tersebut adalah: personil militer Indonesia melaporkan senjata-senjata tersebut sebagai senjata yang disita dalam pertempuran. Kedua, oknum personil militer utama Indonesia yang mempunyai otoritas akses bahkan langsung mensuplai GAM dengan pasokan senjata serta amunisi.
Baris 192:
 
==Laporan ''Time To Face The Past''==
Pada April 2013, ''[[ Amnesty International]]'' meluncurkan laporan ''Time To Face The Past'' ("Saatnya Menghadapi Masa Lalu") yang isinya pernyataan mereka bahwa "sebagian besar korban dan kerabatnya sudah lama dijauhkan dari kebenaran, keadilan, dan pemulihan, dan Indonesia telah melanggar kewajibannya menurut hukum internasional. Mereka masih menunggu otoritas lokal dan nasional Indonesia untuk mengakui dan memperbaiki apa yang telah mereka dan keluarganya alami pada masa konflik." Dalam perumusan laporannya, ''Amnesty International'' menggunakan hasil penelitiannya saat berkunjung ke Aceh pada Mei 2012. Pada kunjungan tersebut, perwakilan organisasi tersebut mewawancarai [[lembawa swadaya masyarakat]] (LSM), [[organisasi masyarakat]], [[pengacara]], anggota dewan, pejabat pemerintah setempat, [[jurnalis]], dan korban dan perwakilan mereka mengenai situasi di Aceh pada saat wawancara dilaksanakan. Korban menyatakan apresiasi mereka terhadap proses perdamaian dan meningkatnya keamanan di provinsi Aceh, tetapi juga menyatakan frustrasi atas tidak adanya tindakan dari pemerintah Indonesia sesuai [[nota kesepahaman]] 2005 yang mencantumkan rencana pembentukan [[Pengadilan Hak Asasi Manusia]] di Aceh dan [[Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh]].<ref>{{cite web|title=Time To Face The Past|url=http://www.amnesty.org/en/library/asset/ASA21/001/2013/en/5a7956bb-be04-494a-85e2-0c02d555b58e/asa210012013en.pdf|work=Amnesty International|publisher=Amnesty International|accessdate=18 April 2013|format=PDF|year=2013}}</ref>
 
Selain itu, laporan ''Time To Face The Past'' berisi peringatan potensi munculnya kekerasan baru di Aceh jika pemerintah Indonesia tetap stagnan dalam pelaksanaan komitmennya yang tercantum pada MoU 2005. Wakil direktur [[Asia Pasifik]] ''Amnesty International'' Isabelle Arradon menjelaskan saat peluncuran laporan tersebut: "Situasi yang sedang terjadi adalah munculnya benih-benih ketidakpuasan yang bisa tumbuh menjadi aksi kekerasan baru". Per 19 April 2013, pemerintah Indonesia belum menanggapi laporan ini. Juru bicara presiden SBY memberitahukan [[BBC]] bahwa ia belum bisa memberi komentar karena belum membaca laporan tersebut.<ref name="Graphics">[http://www.bbc.co.uk/news/world-asia-22198860 Amnesty: Indonesia 'failing to uphold' Aceh peace terms]</ref>