Wahdatul Wujud: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Jagawana (bicara | kontrib)
k Suntingan 222.124.209.4 (Pembicaraan) dikembalikan ke versi terakhir oleh Shiyama
Shiyama (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 2:
'''Wahdatul Wujud''' mempunyai pengertian secara awam yaitu; ''bersatunya Tuhan dengan manusia yang telah mencapai hakiki atau dipercaya telah suci''. Pengertian sebenarnya adalah ''merupakan penggambaran bahwa Tuhan-lah yang menciptakan alam semesta beserta isinya. Allah adalah sang khalik, Dia-lah yang telah menciptakan manusia, Dia-lah Tuhan dan kita adalah bayangannya''. Dari pengertian yang hampir sama, terdapat pula kepercayaan selain wahdatul wujud. Yaitu '''Wahdatul Syuhud'''. Pengertiannya yaitu; ''Kita dan semuanya adalah bagian dari dzat Allah''.
 
Jadi keduanya berpengertian, kita dapat bersatu dengan dzat Allah. Dalam penggambaran karya-karya suluk di jawa yang antiberisi islammengkritik ajaran para wali sembilan, misalnya suluk karya Syekh Siti Jenar (contoh lainnya adalah serat gatholokoco, dinamakan serat karena penulis suluk ini, Gatholokoco berpendapat bahwa suluk lebih cenderung ke islam), manusia dianggap memiliki 20 sifat-sifat Allah. DzatContohnya di antaranya; dzat Allah yerdapatterdapat pada diri kita, jadi kita tidak perlu shalat karena dzat Allah sudah ada pada diri kita. Kitalah(Jawa: Islam TuhanAbangan). Tentu saja hal-hal tersebut di atas sangat bertentangan dengan syariat islam, dan [[Syekh Siti Jenar]] dihukum oleh para [[Wali Songo|wali sembilan]].{{fact}}
 
'''Wahdatul Wujud''' sebenarnya adalah suatu ilmu yang tidak disebarluaskan ke orang awam. Sekalipun demikian, para wali-lah yang mencetuskan hal tersebut. Karena sangat dikhawatirkan apabila ilmu wahdatul wujud disebarluaskan akan menimbulkan fitnah dan orang awam akan salah menerimanya.{{fact}} Wali yang mencetuskan tersebut contohnya adalah Al Hallaj dan Ibn Arabi. Meskipun demikian, para wali tersebut tidak pernah mengatakan dirinya adalah tuhan. Dan mereka tetap dikenal sebagai ulama alim.
 
Dalam dunia [[tasawuf]], sering terdapat perbedaan antara ilmu syariat dan ilmu ma'rifat. Sebagai orang islam tentu saja diharuskan menguasai ilmu syariat. Dan ilmu ma'rifat atau ilmu tashawuf dengan kata lain ilmu hikmah, sangat ditekankan untuk mengambil sebuah hikmah.<br> Hal tersebut telah diabadikan oleh Allah dalam [[Al-Qur'an]] [[Surat Al Kahfi]] tentang pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidir. Hal tersebut menunjukan Ilmu Syariat yang dikuasai Nabi Musa dari kitabnya (Taurat) dan Nabi Khidir yang mendapatkan langsung ilmunya dari petunjuk Allah yang penuh hikmah atau ilmu ma'rifat.
Hal tersebut telah diabadikan oleh Allah dalam [[Al-Qur'an]] [[Surat Al Kahfi]] tentang pertemuan [[Nabi Musa|Musa]] dan [[Nabi Khidir|Khidir]]. Hal tersebut menunjukan Ilmu Syariat yang dikuasai Nabi Musa dari kitabnya, dan Nabi Khidir yang mendapatkan langsung ilmunya dari petunjuk Allah yang penuh hikmah atau ilmu ma'rifat.
 
Dalam penggambaran awal tersebut sudah ditunjukan betapa susahnya memahami ilmu ma'rifat dengan ilmu syariat. Penggambarannya adalah seperti pertemuan antara daratan dan lautan. Dimana Musa diberitahukan, ia akan menemukan orang yang lebih pandai darinya disaat ikan yang dibawanya hilang. Ikan mati tersebut hidup kembali di suatu tempat ketika Nabi Musa dan pembantunya beristirahat. Hal itu merupakan penggambaran ilmu yang sangat susah sekali dimana ikan mati dapat hidup kembali, seperti Nabi Musa yang tidak dapat bersabar melihat perilaku Nabi Khidir yang dilihat secara syariat sangat bertentangan. Tetapi hal tersebut dilakukan Nabi Khidir dari petunjuk Allah yang penuh dengan hikmah. Jadi tentu saja hal-hal ma'rifat hanya dapat dipahami secara pribadi bagi orang yang diturunkan kepadanya secara langsung.
 
Meskipun ilmu ma'rifat terlihat sangat bertentangan dengan ilmu syariat, tetapi sebenarnya tidak. Jadi ilmu tersebut dapat dikatakan ilmu tinggi yang digali dari perjalanan pikir para wali dan tidak untuk disebarluaskan. Hal tersebut seperti terjadi pada Syekh Siti Jenar yang mendengarkan wejangan yang diberikan oleh [[Sunan Ampel]] kepada orang yang akhirnya menjadi seorang wali, yaitu [[Sunan Bonang]]. Siti Jenar adalah orang awam yang salah tangkap menerima wejangan tersebut.{{fact}} Tetapi dari kedua konsep tersebut, para ulama masih berbeda pendapat.
 
Selain perseteruan pendapat konsep wahdatul wujud dan wahdatul syuhud di jawa, hal itu juga terjadi pada kaum [[Syi'ah]] [[Isma'iliyah]] pada masa Al Hallaj. Hal yang berbeda pengertian terjadi dari definisi kaum syi'ah tentang zina, puasa, dan sabar. Mereka kemudianjuga dianggap pemberontak dan dianggap musuh oleh para ulamaraja dan rajapara ulama. Peperangan yang terjadi tidaklah dari para ulama, tetapi oleh Raja yang dianggapmenganggap mereka adalah pemberontak. Meskipundan padamusuh saat itu kaum ulama juga berseteru dengan kaum syi'ahpolitik. '''Al Hallaj''' yang hidup di masa itu, dia mengucapkan kata yang sangat menggemparkan: '''Ana Al-Haqq''' berarti Akulah kebenaran. Dia kemudian dianggap mendukung kaum syi'ah dan memberontak. Hal ini juga berarti permasalahan yang timbul dari perselisihan antara ilmu syariat, ilmu ma'rifat, dan kekuasaan atau politik. Semua yang terjadi adalah karena kesalahan pemahaman. Terbunuhnya Al Hallaj bukan karena ucapannya tetapi karena politik.Tetapi merupakan kesalahan Al Hallaj yang mengucapkan dan mengajarkan konsep Wahdatul Wujud (''Ana Al-Haqq'') kepada murid-muridnya. Bahwa hal tersebut adalah ilmu yang sangat pribadi dan hanya dimengerti oleh orang yang menerimanya.{{fact}} Selain itu, Al Haqq merupakan sifat-sifat Allah.
 
Ilmu syariat dan ilmu ma'rifat akan selalu menemui jalan buntukesulitan untuk diajarkan terutama ke masyarakat awam karena ilmu ma'rifat bersifat pribadi dan ghaib. Hal itu merupakan rahasia bagi orang yang menerimanya atau para wali.{{fact}}
 
[[Kategori:Sufi]]