Oerip Soemohardjo: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
terjemahkan. Belum selesai |
+ |
||
Baris 40:
| website = <!-- {{URL|example.com}} -->
}}
Jenderal '''Oerip Soemohardjo''' (<!--{{IPA-id|uˈrɪp sumoˈhardʒo|}}; -->[[Ejaan Yang Disempurnakan|EYD]]: '''Urip Sumoharjo'''; {{lahirmati||22|2|1893||17|11|1948}}) adalah seorang jenderal
Oerip mengundurkan diri dari jabatannya sekitar tahun 1938 setelah berselisih dengan Bupati Purworejo, tempat ia ditempatkan. Oerip dan istrinya, Rohmah, kemudian pindah ke sebuah desa di dekat [[Yogyakarta]]. Di sana, mereka membangun sebuah vila dan kebun bunga yang luas. Setelah [[Jerman Nazi]] [[Pertempuran Belanda|menginvasi Belanda]] pada bulan Mei 1940, Oerip dipanggil kembali untuk bertugas. Ketika [[Kekaisaran Jepang]] [[Pendudukan Jepang di Indonesia|menduduki Hindia]] dua tahun kemudian, Oerip ditangkap dan ditahan di kamp tawanan perang selama tiga setengah bulan. Ia melalui sisa masa pendudukan Jepang di vilanya.
Pada tanggal 14 Oktober 1945, beberapa bulan setelah [[Proklamasi kemerdekaan Indonesia|Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya]], Oerip ditetapkan sebagai kepala
==Kehidupan awal==
Baris 51:
Oerip Soemohardjo lahir dengan nama Muhammad Sidik ("[[Muhammad]] Kecil"{{sfn|Zoetmulder|Robson|Darusupapta|Supriyitna|2006|p=1085}}) di rumah keluarganya di [[Sindurjan, Purworejo, Purworejo|Sindurjan]], [[Purworejo]], [[Hindia Belanda]], pada tanggal 22 Februari 1893.{{sfn|Pemerintah Kota Jakarta, Oerip Soemohardjo}} Ia adalah putra pertama dari pasangan Soemohardjo, seorang kepala sekolah dan putra tokoh [[Muslim]] setempat, dan istrinya, {{efn|Namanya tidak disebutkan.{{sfn|Imran|1983|p=3}}}} putri dari Raden Tumenggung Widjojokoesoemo, [[bupati]] [[Trenggalek]];{{sfn|Imran|1983|p=2}} pasangan ini kemudian memiliki dua putra lagi, Iskandar dan Soekirno,{{sfn|Soemohardjo-Soebroto|1973|pp=13–15}} serta tiga orang putri.{{sfn|Soemohardjo-Soebroto|1973|pp=30–36}} Putra-putranya sebagian dibesarkan oleh pembantu, dan pada usia muda Sidik mulai menunjukkan kualitas pemimpin, ia memimpin kelompok anak-anak di lingkungannya ketika memancing dan bermain [[sepak bola]]. Ketiga saudara ini bersekolah di sekolah untuk [[suku Jawa]] yang dikepalai oleh ayah mereka, oleh sebab itu mereka menerima perlakuan khusus. Hal ini menyebabkan mereka menjadi nakal dan berpuas diri.{{sfn|Soemohardjo-Soebroto|1973|pp=13–15}}
Pada tahun kedua sekolahnya, Sidik jatuh dari pohon [[kemiri]] dan kehilangan kesadaran.{{sfn|Soemohardjo-Soebroto|1973|pp=18–19}}{{sfn|Imran|1983|p=7}} Setelah sadar, ibunya mengirim surat kepada Widjojokoesoemo,
Setelah lulus ujian calon pegawai negeri{{sfn|Soemohardjo-Soebroto|1973|p=21}} dan persiapan selama beberapa bulan, Oerip pindah ke [[Magelang]] pada tahun 1908 untuk melanjutkan pendidikan ke [[OSVIA|Sekolah Pendidikan Pegawai Pribumi]] ({{lang|nl|''Opleidingsschool Voor Inlandse Ambtenaren''}}, atau OSVIA);{{sfn|Soemohardjo-Soebroto|1973|pp=23–26}}
Pada tahun terakhirnya di OSVIA, Oerip memutuskan untuk mendaftar ke [[akademi militer]] di [[Meester Cornelis]], [[Jakarta|Batavia]] (kini Jatinegara, Jakarta). Ia berangkat ke sana langsung dari Magelang, dan mengatakan kepada adik-adiknya untuk memberitahu ayah mereka, yang tidak setuju dengan pilihan putranya.{{sfn|Soemohardjo-Soebroto|1973|pp=30–36}}{{sfn|Imran|1983|p=21}} Soemohardjo pada awalnya berusaha untuk membujuk putranya agar kembali ke OSVIA dengan memberinya uang 1.000 [[Gulden Hindia Belanda|gulden]], tapi akhirnya menyetujui pilihan Oerip untuk masuk akademi militer.{{sfn|Imran|1983|p=26}} Setelah pelatihan, yang menurutnya menyenangkan, Oerip lulus dari akademi militer pada bulan Oktober 1914 dan menjadi letnan dua di KNIL.{{sfn|
== KNIL ==
Setelah mengunjungi ayahnya di Purworejo selama beberapa hari, Oerip kembali ke Meester Cornelis, tempat ia menjabat di Batalion XII.{{sfn|Soemohardjo-Soebroto|1973|pp=39–43}} Meskipun ia adalah pria terkecil dan satu-satunya [[pribumi]] di unitnya,{{sfn|Imran|1983|p=28}} ia diserahi jabatan pemimpin.{{sfn|Soemohardjo-Soebroto|1973|pp=39–43}} Satu setengah tahun kemudian, ia dikirim ke [[Banjarmasin]], [[Borneo]].{{sfn|Pemerintah Kota Jakarta, Oerip Soemohardjo}}{{sfn|Soemohardjo-Soebroto|1973|pp=39–43}} Setelah melewati masa-masa berpatroli di belantara Puruk Cahu dan Muara Tewe, ia dikirim ke Tanah Grogot, kemudian ke [[Balikpapan]]. Saat ditempatkan di sana, Oerip dipromosikan menjadi letnan satu, namun menghadapi diskriminasi dari tentara Belanda karena ia berasal dari kalangan pribumi. Di Banjarmasin, ia meyakinkan komandannya untuk mengeluarkan peraturan yang memperbolehkan perwira non-Belanda bergabung dengan tim sepak bola, dan pada tahun 1917 ia telah menerima status hukum yang sama dengan tentara Belanda.{{sfn|
Di Malinau, Oerip berpatroli di perbatasan [[Kerajaan Sarawak]] (kini bagian dari [[Malaysia]]) yang dikuasai oleh Hindia Belanda dan Inggris; ia juga bertugas mencegah konflik dan [[Pemburuan kepala|pengayauan]] antar suku [[Dayak]].{{sfn|Soemohardjo-Soebroto|1973|pp=47–48}} Suatu hari, tujuh tahun setelah tiba di Borneo, Oerip baru saja selesai berpatroli dan menemukan rumahnya sudah dibakar. Atas rekomendasi seorang dokter, Oerip kembali ke Jawa, melalui Tarakan dan [[Surabaya]], dan tiba di [[Cimahi]]. Di Cimahi, Oerip mengistirahatkan diri selama beberapa bulan.{{sfn|Soemohardjo-Soebroto|1973|pp=50–52}}
Setelah pulih total, pada tahun 1923 Oerip ditempatkan di kampung halamannya, Purworejo. Pada september 1925, Oerip dipindahkan ke Magelang dan bertugas di ''[[Korps Marechaussee te Voet|Maréchaussée te Voet]]'', sebuah unit militer bentukan KNIL.{{sfn|Soemohardjo-Soebroto|1973|pp=53–55}} Meski awalnya Oerip diketahui adalah pria yang kerap menghindari wanita, di bawah tekanan untuk segera menikah, Oerip berkenalan dengan Rohmah Soebroto, putri dari Soebroto, mantan guru [bahasa Jawa]] dan [[bahasa Melayu|Melayu]]-nya, yang juga kerabat jauh tokoh emansipasi wanita [[Kartini]]. Sejoli ini bertunangan pada tanggal 7 Mei 1926 dan menikah pada 30 Juni di tahun yang sama.{{sfn|Soemohardjo-Soebroto|1973|pp=57–58}}{{sfn|Tempo 1977, Meninggal Dunia}}{{sfn|Imran|1983|p=35}} Di Magelang, Oerip menggunakan [[Patronim|nama ayahnya]] sebagai nama belakang untuk berurusan dengan Belanda.{{efn|Nama keluarga disyaratkan oleh Belanda untuk urusan-urusan seperti pembelian tanah.{{sfn|Soemohardjo-Soebroto|1973|p=59}}}} Setelah itu, ia mulai menyebut dirinya dengan nama lengkap Oerip Soemohardjo, meskipun orang lain terus memanggilnya Oerip.{{sfn|Soemohardjo-Soebroto|1973|p=59}}
Setahun setelah pernikahannya, Oerip dan istrinya ditempatkan di [[Ambarawa]]. Di sana, Oerip ditugaskan untuk membangun kembali unit KNIL yang telah dibubarkan sebelumnya.{{sfn|Soemohardjo-Soebroto|1973|p=59}} Sambil melatih prajurit lokal menggantikan komandan Belanda yang belum tiba, Oerip dipromosikan menjadi kapten.{{sfn|Imran|1983|p=36}} Setelah komandan Belanda tiba, pada Juli 1928 Oerip diberi cuti satu tahun, yang ia manfaatkan untuk melakukan perjalanan wisata ke seluruh Eropa bersama istrinya. Sekembalinya ke Hindia, ia ditempatkan di Meester Cornelis.{{sfn|Soemohardjo-Soebroto|1973|pp=60–62}}
Di Meester Cornelis, Oerip mulai menjalankan latihan militer; saat ditempatkan di sana, ayahnya meninggal dunia.{{sfn|Imran|1983|p=36}} Pada 1933, ia dikirim ke [[Padang Panjang]] di [[Sumatera]] untuk menangani kerusuhan yang menewaskan beberapa perwira Belanda. Di Padang Panjang, ia melalui hari-harinya tanpa banyak peristiwa, dan bulan Juli 1935 ia diberi cuti untuk bepergian ke Eropa sekali lagi.{{sfn|Soemohardjo-Soebroto|1973|pp=63–67}} Oerip juga dipromosikan menjadi mayor pada saat itu, yang menjadikannya sebagai perwira [[pribumi]] dengan pangkat tertinggi di KNIL.{{sfn|Anderson|2005|pp=233–234}} Setahun kemudian, setelah kembali ke Hindia, ia ditempatkan di Purworejo.{{sfn|Soemohardjo-Soebroto|1973|p=69}} Pada pertengahan 1938, setelah berselisih dengan bupati setempat,{{efn|Bupati Purworejo tidak diizinkan masuk ke pesta perayaan ulang tahun penobatan Ratu [[Wilhelmina dari Belanda|Wilhelmina]].{{sfn|Imran|1983|p=38}}{{sfn|Soemohardjo-Soebroto|1973|pp=72–73}}}} Oerip dipindahkan ke [[Gombong]]; ia menolaknya, dan kemudian keluar dari KNIL dan pindah ke rumah mertuanya di [[Yogyakarta]].{{sfn|Imran|1983|p=38}}{{sfn|Soemohardjo-Soebroto|1973|pp=72–73}}
== Warga sipil dan pendudukan Jepang ==
Di Yogyakarta, Oerip yang pengangguran menghabiskan waktunya dengan berkebun [[anggrek]]. Setiba di Yogyakarta, istrinya membeli sebuah vila di Gentan, di sebelah utara kota. Meskipun vilanya kecil, pasangan tersebut memanfaatkan lahan seluas {{convert|2|ha}} untuk berkebun bunga,{{sfn|Soemohardjo-Soebroto|1973|pp=74–75}} dengan biaya hidup berasal dari uang pensiun Oerip di KNIL.{{sfn|Imran|1983|p=47}} Di vilanya, yang bernama KEM ({{lang|nl|''Klaarheid en Moed''}}, atau "Kemurnian dan Keberanian"), Oerip kerap menerima tamu, baik yang berasal dari kalangan militer maupun warga sipil. Lewat tamu-tamu ini, ia menerima informasi mengenai peristiwa terkini dan memberikan saran tentang masalah-masalah militer dan politik.{{sfn|Soemohardjo-Soebroto|1973|pp=76–77}} Pada tahun 1940, pasangan ini mengadopsi seorang gadis Belanda berusia empat tahun bernama Abby dari sebuah panti asuhan di [[Semarang]].{{sfn|Soemohardjo-Soebroto|1973|pp=78–79}}
Tak lama kemudian, pada tanggal 10 Mei 1940, setelah [[Jerman Nazi]] [[Pertempuran Belanda|menginvasi Belanda]], Oerip dipanggil kembali untuk bertugas. Tiga hari setelah melapor kepada Kolonel Pik di Magelang, ia berangkat ke markas KNIL di [[Bandung]].{{sfn|Soemohardjo-Soebroto|1973|pp=80–81}} Di sana, ia menjadi perwira pensiunan pertama yang melapor.{{sfn|Imran|1983|p=53}} Setelah itu, Oerip bersama keluarganya dipindahkan ke [[Cimahi]], dan ia ditugaskan untuk membangun depot batalion baru. beberapa perwira pribumi ditempatkan di bagian utara Hindia pada tahun 1941 untuk berjaga-jaga jika [[Kekaisaran Jepang]] menyerang, namun Oerip tetap berada di Cimahi.{{sfn|Soemohardjo-Soebroto|1973|pp=80–81}}
Setelah [[Pendudukan Jepang di Indonesia|Jepang menduduki Hindia]] pada awal 1942, Oerip ditangkap dan dijebloskan ke kamp penahanan [[tawanan perang]] di Cimahi. Setelah dibebaskan tiga setengah bulan kemudian, Oerip menolak untuk membentuk pasukan kepolisian baru yang disponsori oleh Jepang, dan kembali ke KEM.{{sfn|Soemohardjo-Soebroto|1973|p=83}}{{sfn|Imran|1983|pp=54–55}} Di KEM, ia dan istrinya menyewa [[sawah]] dan menanaminya dengan padi sambil terus melanjutkan kegiatan berkebun.{{sfn|Soemohardjo-Soebroto|1973|pp=84–87}} Untuk melindungi lahan mereka, Oerip melindungi tanah dan rumahnya dengan pagar bambu yang tinggi.{{sfn|Imran|1983|p=58}} Meskipun tak lagi aktif di militer, Oerip sesekali juga menerima tamu mantan anggota KNIL di vilanya, termasuk [[Abdul Haris Nasution]] dan Sunarmo, yang membawa kabar terkini mengenai peristiwa yang terjadi di luar desa. Pasangan ini terus melanjutkan aktivitas mereka sebagai warga sipil, kadang diganggu dan diawasi oleh orang Jepang dan orang Indonesia yang pro-Jepang, sampai [[pengeboman Hiroshima dan Nagasaki]] pada awal Agustus 1945, yang menandakan bahwa Jepang akan segera mundur dari Indonesia.{{sfn|Soemohardjo-Soebroto|1973|pp=84–87}} Selama periode ini, Oerip mulai mengalami masalah jantung.{{sfn|Soemohardjo-Soebroto|1973|p=109}}
== Revolusi Nasional Indonesia dan kematian ==
[[File:Dharma Wiratama Museum 04.jpg|350px|thumb|Markas TKR pertama di Gondokusuman, Yogyakarta; saat ini menjadi [[Museum Dharma Wiratama]].]]
Setelah [[Proklamasi Kemerdekaan Indonesia]] pada tanggal 17 Agustus 1945, Oerip dan keluarganya meninggalkan KEM dan pindah ke rumah orangtua Rohmah di Yogyakarta.{{sfn|Soemohardjo-Soebroto|1973|p=89}} Setelah [[Badan Keamanan Rakyat]] (BKR) didirikan pada tanggal 23 Agustus, Oerip memimpin sekelompok komandan militer mengajukan petisi untuk membentuk formasi militer nasional.{{sfn|Anderson|2005|pp=103–106}}{{sfn|Imran|1983|p=63}} Sementara itu, kelompok terpisah yang dipimpin oleh politisi [[Oto Iskandar di Nata]] menginginkan agar BKR menjadi organisasi kepolisian. Para pemimpin politik, yang terdiri dari [[Presiden Republik Indonesia|Presiden]] [[Soekarno]] dan [[Wakil Presiden Republik Indonesia|Wakil Presiden]] [[Muhammad Hatta]], sepakat untuk berunding; BKR akhirnya ditetapkan sebagai organisasi kepolisian, tapi sebagian besar anggotanya pernah bertugas di militer, baik [[Pembela Tanah Air]] (PETA) maupun [[Heiho| Heihō]].{{sfn|Anderson|2005|pp=103–106}}
Pada 14 Oktober 1945 – sembilan hari setelah [[Tentara Nasional Indonesia]] didirikan secara resmi – Oerip ditetapkan sebagai Kepala Staff dan panglima sementara, dan segera berangkat menuju Jakarta.{{efn|Batavia berganti nama menjadi Jakarta setelah invasi Jepang.{{sfn|Soemohardjo-Soebroto|1973|p=89}} }} Dalam rapat kabinet keesokan harinya,{{sfn|Soemohardjo-Soebroto|1973|pp=99–100}} Oerip diperintahkan untuk membentuk angkatan perang nasional yang bermarkas di Yogyakarta,{{efn|Oerip pada awalnya menyarankan [[Purwokerto]] sebagai markas, namun akhirnya memilih Yogyakarta karena fasilitasnya yang lebih baik dan terjaminnya dukungan dari penguasa setempat. {{sfn|Said|1991|p=28}}}} dalam persiapan untuk menghadapi serangan yang mungkin akan dilancarkan oleh pasukan Belanda untuk merebut kembali Hindia.{{sfn|Anderson|2005|pp=232–234}} Ia berangkat ke Yogyakarta pada 16 Oktober, dan tiba keesokan harinya. Oerip pertama-tama mendirikan markas di sebuah kamar di Hotel Merdeka, yang digunakannya sampai Sultan Yogyakarta [[Hamengkubuwono IX]] menyumbangkan tanah dan bangunan untuk digunakan oleh para tentara.{{sfn|Imran|1983|pp=67–68}}
Karena BKR tersebar di bawah para komandan independen di seluruh negeri, angkatan perang yang baru dibentuk, [[Tentara Keamanan Rakyat]] (TKR, sekarang dikenal dengan Tentara Nasional Indonesia), berupaya untuk menarik perwira pribumi yang berasal dari mantan anggota KNIL.{{sfn|Anderson|2005|pp=232–234}} Namun, para perwira ini dipandang dengan penuh kecurigaan oleh para nasionalis Indonesia karena pernah bertugas di angkatan perang Belanda. Sementara itu, jajaran anggota TKR diambil dari sejumlah kelompok, termasuk mantan tentara PETA, para pemuda, dan BKR.{{sfn|Soemohardjo-Soebroto|1973|pp=99–100}}{{sfn|Anderson|2005|pp=235–237}} Meskipun Oerip berhasil memusatkan komando, pada kenyataannya hierarki angkatan perang bersifat kedaerahan dan sangat bergantung pada kekuatan unit daerah.{{sfn|Anderson|2005|p=240}}
<!--==Biografi==
Baris 249 ⟶ 273:
| url = http://www.jakarta.go.id/english/encyclopedia/detail/2102
| work = Encyclopedia of Jakarta
| publisher =
| accessdate = 9 Mei 2012
| archivedate = 9 Mei 2012
| archiveurl = http://www.webcitation.org/67WUfhDjl
| ref = {{sfnRef|
}}
* {{cite book
|