Orang Indo: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Gunkarta (bicara | kontrib)
Menolak perubahan teks terakhir (oleh 36.76.3.24) dan mengembalikan revisi 7024657 oleh Ennio morricone
merapikan using AWB
Baris 2:
 
{{ethnic group|
|group=Indo </br />''Indo-Europeanen''
|image = [[File:Zaalberg.jpg|70px|Karel Zaalberg]][[File:E.du.perron.jpg|70px|E. du Perron]][[File:Couperus.jpg|70px|Louis Couperus]][[File:Douwes.jpg|70px|E.Douwes Dekker]] [[File:COLLECTIE TROPENMUSEUM Dick de Hoog Volksraadslid en voorzitter van het I.E.V TMnr 10001381.jpg|70px|Dick de Hoog]][[File:Dahler0.jpg|70px|P. F. Dahler]][[File:MarionBloemWP-NL.JPG|70px|M.Bloem]][[File:Adriaan.vanDis.jpg|70px|Adriaan van Dis]][[File:Leonard3.jpg|74px|Leonard Retel Helmrich]]
|caption = {{nowrap|<small>[[Karel Zaalberg]]{{•}}[[E. du Perron]]{{•}}[[Louis Couperus]]<br/>[[Ernest Douwes Dekker]]{{•}}[[Dick de Hoog]]{{•}}[[P.F.Dahler|P. F. Dahler]]<br/>[[Marion Bloem]]{{•}}[[Adriaan van Dis]]{{•}}[[Leonard Retel Helmrich|Leonard R. Helmrich]]</small>}}
Baris 13:
'''Orang''' atau '''kaum Indo''' (singkatan dari nama dalam [[bahasa Belanda]], '''''Indo-Europeaan''''', "Eropa-Hindia"<ref>[http://nl.wikipedia.org/wiki/Indische_Nederlanders Lihat artikel di Wikipedia Bahasa Belanda]</ref>) adalah [[kelompok etnik]] [[Mestizo]] yang ada (atau pernah ada) di [[Hindia-Belanda]]/[[Indonesia]] dan sekarang menjadi kelompok etnik [[minoritas]] terbesar di [[Belanda]]. Kelompok etnis ini dicirikan dari kesamaan asal-usul [[ras manusia|rasial]], [[hukum|status legal]], dan [[kebudayaan|kultural]]. Kaum Indo merupakan keturunan campuran antara orang dari etnik tertentu di [[Eropa]] (terutama [[Belanda]], tetapi juga [[Jerman]], [[Belgia]], dan [[Prancis]]/[[Huguenot]]) dengan [[fenotipe]] Eropa dan orang dari etnik non-Eropa tertentu di [[Hindia-Belanda]]/[[Indonesia]]. Secara hukum, sebagian besar berstatus sebagai warga Eropa di [[Hindia-Belanda]] (''[[Europeanen]]''). Mereka menjunjung [[norma|nilai]]-nilai budaya Eropa (terutama Belanda) dengan banyak pengaruh lokal Indonesia pada derajat tertentu dalam kehidupannya sehari-hari. Meskipun demikian, ke dalam kelompok etnik ini dimasukkan pula orang Eropa yang datang dan menetap cukup lama di tanah Indonesia atau yang lahir di Indonesia, karena di antara kalangan kaum keturunan campuran sendiri terdapat rentang [[fenotipe]] yang luas, sehingga faktor penampilan tidak bisa dijadikan satu-satunya pembatas untuk kelompok etnik ini. Kelompok berdarah campuran adalah mereka yang biasa dikenal sebagai orang ''Indo'', ''Mesties'' ([[bahasa Belanda|Bld]].), atau ''[[Mestizo]]s'' ([[bahasa Portugis|Port]].), sedangkan mereka yang "berdarah murni" Eropa dikenal sebagai ''totok'' ([[bahasa Melayu|Mel]].), ''blijvers'' (Bld.), atau [[kreol]].
 
[[Perang Dunia Kedua]] dan sesudahnya menjadi titik awal [[diaspora]] bagi kaum Indo, sehingga saat ini keturunan mereka banyak dijumpai di Belanda, Indonesia, [[Amerika Serikat]] (AS), [[Australia]], [[Selandia Baru]], [[Kanada]], serta beberapa negara lain. Di Belanda, kaum Indo sekarang dianggap sebagai kelompok minoritas terbesar (total sekitar 500.000 orang). Mereka dikenal dengan beberapa istilah, seperti '''Indisch Nederlander''' atau '''Indisch''' saja. Secara budaya mereka berhubungan dekat dengan kelompok [[etnik Maluku di Belanda]]. Di AS mereka dikenal sebagai '''Dutch Indonesian''' atau '''Indonesian Dutch''' dan kebanyakan bermukim di [[California]]. Di Indonesia sendiri jumlah mereka sedikit dan kebanyakan keturunannya terintegrasi/melebur dengan berbagai kelompok etnis lain walaupun kebiasaan berbahasa Belanda masih dijalankan di dalam keluarga.
 
Istilah "orang Indo" dalam penggunaan [[bahasa Indonesia]] masa kini mengalami pergeseran arti dan dipakai secara taksa (ambigu). Sebutan ini juga digunakan untuk menyebut semua orang Indonesia — sebagai kependekan dari "orang Indonesia" — sekaligus juga untuk menyebut peranakan campuran orang Indonesia dengan bangsa lain, tanpa melihat latar belakang asal-usul non-Indonesianya, yang tidak harus Eropa.
Baris 21:
 
=== Periode awal pembentukan: Era Portugis dan Spanyol (1500-1600) ===
Penjelajah dari [[Eropa]] mulai ramai datang ke [[Nusantara]] pada awal [[abad ke-16]], sebagai konsekuensi dari [[Zaman Penjelajahan]] (''Age of Exploration'') yang melanda Eropa. Banyak di antara mereka yang tertarik untuk atau terpaksa menetap di negeri tujuan. Mereka adalah orang [[Portugis]] dan [[Spanyol]] beserta budak-budak mereka dari [[India]], [[Sri Lanka]], [[Malaka]], atau Nusantara bagian timur (seperti Maluku, Bali, atau Gowa/Bugis). Misi Eropa berdatangan karena bisnis dan perdagangan, namun ada pula yang menetap karena tugas keagamaan (misi). Cukup banyak yang kemudian menikah atau bahkan memiliki anak tanpa ikatan pernikahan dengan penduduk setempat, mengingat pendatang dari Eropa semuanya lelaki. Di [[Malaya]], keturunan mereka saat ini disebut sebagai '''Melayu Eropa'''. Di Indonesia, sisa-sisa dari masyarakat campuran ini dapat ditemukan di Maluku, Flores, Kampung Tugu ([[Cilincing, Jakarta Utara]]) serta Kampung Lamno Jaya, [[Aceh Barat]].<ref>[http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0403/31/otonomi/944775.htm "Si Mata Biru di Aceh Jaya"]. Arsip Kompas daring. Edisi 31 Maret 2004. Diakses 4 Desember 2008.</ref> Masyarakat yang terakhir ini sekarang nyaris punah akibat bencana [[Tsunami Aceh 2004]]<ref>Santoso, A. [http://www.ranesi.nl/spesial/pasca_tsunami/si_mata_biru050203 "Keluarga Aceh Keturunan Portugis di Lamno"]. Artikel di Radio Nederland daring. Diakses 4 Desember 2008. [http://groups.yahoo.com/group/indonesian-studies/message/3692 Salinan].</ref>
 
Walaupun periode relatif ini singkat, terdapat banyak warisan budaya masyarakat ini yang masih dapat dilihat hingga sekarang. Cara bergaul orang Portugis yang relatif terbuka dan tidak [[rasisme|rasis]] membuat budayanya banyak terserap secara mudah. Berbagai tanaman asal Amerika tropis, beberapa jenis kue (terutama bolu), sejumlah produk rumah tangga umum, serta berbagai permainan dan hiburan dari Eropa mulai dikenal masyarakat Nusantara melalui pendatang ini dan keturunannya. Laporan Belanda pada abad ke-19 bahkan menyatakan bahwa bahasa Portugis bahkan masih dipakai oleh orang-orang keturunan campuran Eropa (mestizo) di [[Batavia]]. Musik [[keroncong]] adalah bentuk musik dari masyarakat campuran warisan masa ini dan kelak menjadi salah satu penciri kultur Eropa-Indonesia di abad ke-20.
Baris 28:
Penulis sejarah Belanda, Vlekke, banyak menggambarkan peri kehidupan masyarakat Eropa-Indonesia pada abad ke-17 hingga ke-18.<ref name="Vlekke">Vlekke BHM 2008. ''Nusantara: Sejarah Indonesia.'' KP Gramedia Jakarta. Bab 9.</ref> Pada masa itu, orang berdarah Eropa terpusat di [[Batavia]] dengan jumlah tidak mencapai 10.000 orang, namun berkuasa. Kehidupan mereka sulit, terlihat dari banyaknya yang meninggal beberapa bulan setelah tinggal di Batavia. Praktis semua beragama Kristen. Bahasa yang mereka pakai adalah campuran [[bahasa Belanda|Belanda]], [[bahasa Portugis|Portugis]], dan [[bahasa Melayu|Melayu (Pasar)]].
 
Mereka dapat dipisahkan dalam dua kelompok: '''''trekkers''''' dan '''''blijvers'''''. ''Trekkers'' (atau masa kini disebut [[ekspatriat]]) adalah orang Eropa yang segera berkeinginan kembali ke Eropa setelah tugasnya selesai dan ''blijvers'' adalah mereka yang mampu beradaptasi, lalu menetap di Hindia Belanda. Blijvers ini banyak yang beristri orang setempat (dijuluki ''Nyai'', seperti dalam legenda [[Nyai Dasima]]) atau orang [[Tionghoa]]. Kedua kelompok ini juga berbeda orientasinya. Para trekkers cenderung mempertahankan nilai-nilai Eropa (barat) sehingga selalu eksklusif dan elitis, sementara para blijvers cenderung meleburkan diri ke dalam nilai-nilai lokal, meskipun mereka tetap merupakan representasi kultur Eropa. Namun demikian, orang Belanda secara keseluruhan pada umumnya lebih banyak terserap dalam nilai-nilai setempat daripada sebaliknya.<ref>Osborne M 2004. ''Southeast Asia: An Introductory History''. Allen & Unwin Australia. hal 53</ref>
 
Mereka inilah yang menjadi inti masyarakat kelas menengah berciri kosmopolitan di Batavia pada masa itu. Orang-orang ini takut mandi, suka minum-minum (arak Batavia terkenal terbaik di seluruh Asia), dan suka bertaman. Contoh dari orang Eropa-Indonesia adalah [[Pieter Elberfeld]] (Erberfeld, menurut Vlekke<ref name="Vlekke">Vlekke BHM 2008. [[Ibid.]]</ref>), seorang keturunan Jerman-Siam yang (dituduh) memimpin kerusuhan pada 1721, dan C. Suythoff, yang adalah menantu pelukis ternama Belanda, Rembrandt.
 
Pengaruh VOC sebenarnya hanya kuat di Batavia, sebagian Jawa, serta di Maluku & Minahasa. Di wilayah-wilayah ini mulai muncul perbedaan kelas sosial berdasarkan warna kulit, meskipun belum dilembagakan secara hukum. Masyarakat Eropa dan keturunannya menempati kawasan terpisah dari kelompok lainnya. Di dalam masyarakat ini juga mulai terjadi segregasi. Kaum trekkers serta blijvers yang tidak memiliki darah campuran (disebut "Belanda totok") menganggap dirinya lebih "tinggi" daripada mereka yang memiliki darah campuran. Kaum campuran (''miesling'') ini biasanya dipekerjakan di kantor-kantor dagang untuk membantu tugas-tugas pencatatan atau lapangan. Pendidikan mereka kurang diperhatikan dan banyak bergaul dengan para budak. Sebagai akibatnya, mereka banyak menyerap budaya lokal dan kurang memiliki kemampuan ber[[bahasa Belanda]] yang memadai. Bahkan tercatat bahwa pada akhir abad ke-18 banyak keturunan Belanda/Eropa yang lebih fasih berbahasa kreol-Portugis atau Melayu Pasar daripada bahasa Belanda. Dari mereka ini kemudian muncul dialek bahasa Belanda yang khas: [[Indisch Nederlands]], dan sejenis bahasa kreol yang dikenal sebagai [[bahasa Pecok]]. Di masa ini pula sejumlah budak lokal yang dibebaskan dan kemudian memeluk agama Kristen lambat-laun ikut terserap dalam masyarakat Eropa-Indonesia.
Baris 44:
 
=== Masa suram: Pendudukan Jepang dan Revolusi Kemerdekaan Indonesia (1939-1950) ===
Sejak masa ini mulai terjadi emigrasi besar-besaran orang Eropa-Indonesia ke luar Indonesia.
 
Pada [[Perang Dunia Kedua]], orang Indo mengalami masa yang suram, baik yang tinggal di [[Eropa]] maupun [[Asia]]. Di [[Eropa]], [[Jerman Nazi]] menduduki banyak [[negara]] dan memusuhi mereka yang bukan "Arya" asli (Eropa asli). Di [[Asia]], pada [[perang Pasifik]], tentara Jepang memperlakukan penduduk jajahannya dengan kejam, apalagi terhadap orang-orang dari [[Eropa]] (termasuk Indo). Banyak di antara mereka yang dapat melarikan diri, pergi ke negara-negara seperti [[Amerika Serikat]], [[Inggris]] (salah satu negara Eropa yang tidak diduduki [[tentara]] [[Nazi]]), [[Australia]] (mengabaikan kebijakan ras- [[White Australia Policy]]), [[Selandia Baru]] dan [[Kanada]] karena mereka dapat diterima sebagai [[pelarian perang]].
 
Situasi sangat sulit dialami oleh mereka yang terkait dengan Jerman. Di periode awal (1939-1942) mereka ditangkapi oleh pemerintah Hindia Belanda dan diusir. [[Walter Spies]], seorang seniman terkenal, menjadi korban pada masa ini. Situasi agak membaik tetapi tetap buruk ketika Jepang masuk. Mereka dibebaskan (karena yang ditangkapi kemudian adalah orang-orang dari negara Sekutu, seperti Belanda, Inggris atau Perancis) namun menjadi sasaran salah tangkap karena penampilan yang sama. Akibatnya banyak yang memilih keluar dari Hindia Belanda.
Baris 54:
Perlawanan [[Indonesia]] terhadap Belanda yang mencoba menguasai [[Indonesia]] kembali menimbulkan perasaan permusuhan di kalangan pribumi Indonesia terhadap mereka yang pro-Belanda. Mereka mencurigai siapa saja yang menyerupai orang [[Eropa]] (semua orang kulit putih dianggap pro-Belanda) atau yang mendukung penjajahan kembali. Orang Indo, yang kebanyakan menghendaki kembalinya Belanda, merasa takut dan banyak yang melarikan diri ke koloni jajahan [[Inggris]] - [[Malaysia]] dan [[Singapura]]. Maka dimulailah gelombang "[[repatriasi]]" warga Eropa-Indonesia ke Belanda. Pengakuan kedaulatan [[Indonesia]] pada akhir tahun [[1949]] memicu peningkatan jumlah repatriat. Tidak mudah bagi banyak orang Eropa-Indonesia untuk hidup di Belanda karena terjadi penolakan oleh sebagai warga Belanda yang merasa tersaingi dalam pencarian lapangan pekerjaan. Akibatnya banyak dari mereka yang kemudian kembali beremigrasi ke negara ketiga, seperti [[Amerika Serikat]], [[Australia]], [[Selandia Baru]], atau [[Kanada]].
 
Antara tahun 1945 dan 1965 diperkirakan terdapat 300.000 orang Belanda, Indo, ataupun orang Indonesia yang memilih pergi/kembali ke Belanda. Migrasi ini terjadi secara bergelombang. Banyak di antara mereka belum pernah ke Belanda sama sekali.
 
Paling tidak terjadi migrasi dalam lima tahap:
Baris 65:
== Kiprah budaya kaum Indo sebelum diaspora ==
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM De families Schalkwijk en Mertens aan tafel met een drankje in broeken en rokken met Indische druk TMnr 60050699.jpg|thumb|300px|Di akhir abad ke-19 orang Eropa dan Indo banyak menyerap unsur budaya lokal dan melahirkan kultur ''Indisch'', sebagai hibrida antara budaya Eropa (Belanda) dan berbagai budaya lokal Indonesia. Kebaya dengan potongan khas dan warna putih sering dikenakan oleh perempuan Eropa. Corak batik juga memiliki kekhasan motif tersendiri. Foto diambil 1888, koleksi Tropenmuseum Amsterdam.]]
Kaum Indo memiliki ciri-ciri budaya percampuran dari [[kebudayaan Barat]] (Eropa) dan kebudayaan Timur (Indonesia atau Tionghoa). Percampuran budaya ini sedikit banyak berkaitan dengan derajat "ketercampuran" rasial masing-masing individu dan latar belakang etnis keluarga mereka. Hal ini membuat kelompok ini sukar didefinisikan, bahkan oleh anggotanya sendiri, sehingga mereka sulit menyatukan diri sebagai satu kekuatan politik. Situasi ini menjadi bencana bagi mereka ketika terjadi [[Perang Pasifik]] dan masa-masa awal Revolusi Kemerdekaan Indonesia.
 
Kaum Eurasia (''Mesties'') mendominasi penampilan fisik kelompok etnik ini. Sensus penduduk tahun 1930 menunjukkan bahwa sekitar 75% golongan Europeanen memiliki garis keturunan campuran. Sisanya adalah orang Eropa ''totok'' ("murni") serta orang kelompok etnik lain yang dianggap layak sebagai anggota golongan legal ini.<ref name="cbs"/> Kerumitan latar belakang rasial ini membentuk suatu rentang [[fenotipe]] (penampilan luar) yang luas, meskipun tidak semua anggota golongan orang Eropa mengidentifikasi diri sebagai etnik Indo, terutama dari kalangan ''trekkers'' (ekspatriat). Muncul kemudian berbagai istilah untuk menyebutkan derajat kepekatan warna kulit, seperti ''koffie met melk'' ("kopi susu"), ''kwart over zes'' (pukul enam kurang seperempat), ''half zeven'' ("pukul setengah tujuh"), ''bijna zeven uur'' ("hampir pukul tujuh"), hingga ''zo zwart als mijn schoen'' ("segelap warna sepatuku") yang paling "kelam"<ref name="veur2">van der Veur, PW. 1968. [http://www.jstor.org/stable/3350710 Cultural aspect of The Eurasian Community in Indonesian Colonial Society]. ''Indonesia'' 6:38-53.</ref>. Dikenal pula di masyarakat julukan yang berkesan merendahkan, seperti "sinyo" atau "noni" diberikan kepada anak-anak Indo. Oleh masyarakat pribumi julukan ini diperluas bagi sebutan semua anak-anak golongan kulit putih.
Baris 77:
Garis politik sebagian besar kalangan Eropa-Indonesia masa penjajahan cenderung pada ''status quo'': mereka menghendaki kekuasaan Belanda di Hindia Belanda. Hal ini dilatarbelakangi oleh kecenderungan sosial seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Namun demikian, ada sebagian kecil yang menghendaki pemerintahan sendiri. Kelompok terakhir inilah yang menjadi salah satu inti pergerakan kemerdekaan Indonesia. ''Indische Bond'' (1899) dan ''Insulinde'' dapat dianggap mewakili kelompok yang pro-pemerintahan sendiri (tidak di bawah Belanda). Sementara itu, ''Indo-Europeesch Verbond'' (IEV, 1919) dapat dianggap sebagai organisasi kaum Indo yang berorientasi ke Belanda.<ref>Wiseman, R. 2000. [http://www.asaa2000.unimelb.edu.au/papers/wiseman.html#_ednref25 "Assimilation Out: Europeans, Indo-Europeans and Indonesians seen through Sugar from the 1880s to the 1950s"]. ''Paper'' presented to the ASAA 2000 Conference, University of Melbourne, July 3-5, 2000.</ref> [[Partai Hindia]] (''Indische Partij'', 1911) dapat dianggap sebagai artikulasi politik paling radikal mereka pada awal abad ke-20, karena organisasi inilah yang pertama kali terang-terangan menyatakan ide pro-independen (pemerintahan sendiri untuk ''Indiers''). Sayang sekali bahwa organisasi ini kurang mendapat banyak dukungan dan berumur pendek karena segera dibungkam pemerintah kolonial.
 
Hubungan yang intens dengan budaya lokal banyak membawa pengaruh kultural dalam kehidupan masyarakat Eropa-Indonesia, dan sebaliknya. Van der Veur (1968) membahas banyak kebiasaan (customs) kalangan Indo<ref name="veur2"/>. Ciri khas yang utama adalah hubungan kekeluargaan yang kuat. Orang Indo gemar berburu, juga berlatih pencak silat (terutama dari kalangan yang akrab dengan masyarakat lokal) dan bermain [[layang-layang]] laga.
 
Kebanyakan dari mereka adalah penganut [[agama Kristen]], namun mempercayai pula berbagai takhyul lokal dan juga mempraktekkan [[selamatan]]/kenduri untuk memperingati suatu tahapan kehidupan. Kalangan Indo ''pauper'' (mereka yang hidup dengan kalangan pribumi) bahkan mengenal [[guna-guna]].
Baris 83:
Bahasa yang digunakan oleh kalangan Indo pada masa [[VOC]] adalah [[bahasa Portugis|bahasa pijin Portugis]] yang bercampur dengan [[bahasa Melayu Pasar]]. Hal ini diketahui dari suatu catatan seminari dari paruh kedua abad ke-18. Masuknya imigran dan pekerja perkebunan dari Belanda pada abad ke-19 mendorong menguatnya pemakaian bahasa Belanda, namun terjadi banyak "pelanggaran" gramatika oleh mereka, seperti pengalihan fonem, pencampuran dengan kata-kata atau struktur bahasa Melayu, dan pengabaian gender kata. Meningkatnya kesadaran politik akan etnik ini bahkan mendorong tokoh Indo, Ploegman, untuk menjadikan bahasa Belanda varian Indisch ini sebagai bahasa "yang menyatukan berbagai kelompok masyarakat dalam kehidupan budaya sehari-hari".
 
Dalam dunia sastra, beberapa karya tulis bermutu dihasilkan oleh penulis-penulis seperti [[C.F. Winter]], [[Herman Neubronner van der Tuuk|van der Tuuk]], [[Ernest Douwes Dekker]], Ucee (S.H. Coldenhoff), [[Louis Couperus]], [[Hans van de Wall]], dan [[E. du Perron]]. Dari periode setelah Perang Dunia Kedua muncul nama-nama seperti J. Boon (Vincent Mahieu/[[Tjalie Robinson]]), [[Rob Nieuwenhuys]], [[Adriaan van Dis]], dan [[Gertrudes Johannes Resink]] (puisi).
 
Di bidang [[seni lukis]] [[Jan Toorop]] adalah nama yang paling menonjol. Pelukis-pelukis Indo adalah pendukung aliran lukisan ''Mooi Indië/Indonesië'' yang menggambarkan romantisme alam dan kehidupan sehari-hari Indonesia. [[Walter Spies]] (walaupun ia adalah ''totok'' namun amat menyukai budaya Bali) dikenal sebagai pengembang aliran lukisan dekoratif Bali yang khas.
 
Orang Indo dikenal berbakat di bidang [[seni musik]] dan [[seni pertunjukan]]. Dalam seni musik orientasi ke musik barat cukup kental, bahkan boleh dikatakan kalangan Indo kelas menengah dan bawah adalah duta musik barat bagi masyarakat non-Eropa di Hindia Belanda/Indonesia. Bentuk musik [[keroncong]], berakar dari musik Portugis, dilestarikan oleh kaum Indo dan memperoleh gaung yang kuat di seluruh lapisan masyarakat di awal abad ke-20 melalui pertunjukan sandiwara [[komedi stambul]]. Komedi stambul diperkenalkan oleh [[August Mahieu]], seorang Indo yang menghimpun beberapa orang Indo lainnya untuk menyelenggarakan teater hibrida: bergaya Eropa tetapi dengan kostum a la Timur Tengah. Pertunjukan ini populer di semua kalangan masyarakat (bawah) Hindia Belanda, dan melahirkan berbagai epigon yang juga kemudian populer. Kalangan Indo juga kemudian yang memperkenalkan musik [[jazz]] di Hindia Belanda. [[Jack Lesmana]] (Jack Lemmers), seorang Indo yang menjadi tokoh utama jazz Indonesia, telah mengenal bentuk musik ini sejak masa kecilnya. Di masa popularitas rock'n roll, orang-orang Indo juga menjadi motornya. Kebijakan anti-Barat [[Sukarno]] membuat musik ini berhenti berkembang di Indonesia, tetapi tetap berkembang di Eropa, seiring dengan diaspora kaum Indo. [[The Tielman Brothers]] adalah grup musik yang paling menonjol dari kalangan Indo dan sangat populer di Eropa.
 
Dari segi [[boga]], seni masak Eropa di tangan kaum Indo menjadi kaya rempah-rempah dan memiliki cita rasa yang khas. Orang Indo sangat menyukai masakan lokal, bahkan menikmati rujak<ref name="veur1"/>. [[Rijsttafel]], suatu bentuk penyajian masakan khas Indisch, dikembangkan dari bentuk penyajian dalam upacara selamatan. Kue-kue khas juga muncul, seperti [[klappertart]], kue [[lapis legit]], dan [[bika ambon]], selain juga kue [[bolu]]. Perkembangan seni boga ini berkaitan pula dengan kegemaran orang Indo untuk berpesta.
Baris 96:
Semenjak [[Orde Baru]], orang Eropa-Indonesia di Indonesia hanya merupakan bagian sangat kecil dari penduduk Indonesia. Peraturan imigrasi yang ketat praktis tidak memungkinkan masuknya orang Eropa ke Indonesia tanpa melalui naturalisasi yang memakan waktu bertahun-tahun. Secara kultural mereka biasanya terserap ke dalam kultur kosmopolitan Jakarta, atau kultur lokal tempat mereka tinggal. Mereka dapat dikatakan bukan merupakan subkultur yang khas di Indonesia.
 
Keadaan yang agak berbeda terjadi di Belanda. Badan statistik Belanda, CBS, pada tahun 1990 mencatat 472.600 orang penduduk Belanda memiliki keturunan Indonesia, 187.700 di antaranya lahir di Hindia Belanda/Indonesia. Menurut laporan demografi tahun 2003, pada tahun 2001 tercatat 458.000 orang yang merupakan generasi pertama dan kedua keturunan Hindia Belanda. Di Belanda mereka merupakan kelompok minoritas yang signifikan dan memiliki kekhasan budaya tersendiri. Secara statistik mereka masih dipisahkan dan dianggap sebagai kelompok minoritas terbesar, sekaligus sebagai kelompok minoritas yang paling terintegrasi.<ref>[http://www.kiemnet.nl/nieuws/2006/04/Indische-Nederlander-voorbeeld-integratie_1013.html Indische Nederlander voorbeeld integratie]. NICIS Institute, edisi 20-04-2006.</ref> Festival tahunan Pasar Malam Besar merupakan kegiatan besar dari masyarakat Eropa-Indonesia di Belanda. Krancher, seorang warga negara AS keturunan Eropa-Indonesia dan pernah menetap di Indonesia, mencatat secara kritis adanya "kebangkitan kembali" pada generasi ketiga keturunan kaum Indo di Belanda.<ref>Boot, Brederode and Krancher, 2006. [http://www.coert.org/indonesia/TheRiseOfANewGeneration.htm ''The Rise of a New Generation: The Dutch-Indonesian Cultural Renaissance in the Netherlands''.] Laman [http://www.coert.org/index.html COERT]. Worldwide Family History.</ref>
 
Keturunan Eropa-Indonesia juga tersebar di seluruh dunia, baik langsung dari Indonesia atau pun dari Belanda. Banyak di antara mereka tinggal di [[Amerika Serikat]], [[Kanada]] atau [[Inggris]], beberapa di antaranya menjadi orang yang cukup terkemuka.