Aliansi Jurnalis Independen: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
EmausBot (bicara | kontrib)
k Bot: Migrasi 1 pranala interwiki, karena telah disediakan oleh Wikidata pada item d:Q4732452
Alamsa (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 6:
 
== Sejarah ==
=== Sebelum pembredelan ===
Sekitar tahun [[1991]], jauh sebelum pembreidelanpembredelan tiga media, terjadi pertemuan informal belasan jurnalis di [[Taman Ismail Marzuki]] (TIM), Menteng, Jakarta Pusat. Dalam pertemuan tersebut, dibicarakan berbagai hal yang menyangkut kondisi pers Indonesia. Dalam pertemuan itulah, tercetus ide tentang perlunya membentuk organisasi jurnalis alternatif yang independen di luar PWI. Ada juga keinginan untuk membikin media sendiri. Sayangnya, pembicaraan itu tidak berlanjut menjadi aksi konkret.
 
Di berbagai kota, sebelum berdirinya Aliansi Jurnalis Independen [AJI], sudah ada komunitas dan kelompok-kelompok diskusi jurnalis. Seperti, SPC atau Surabaya Press Club (Surabaya), FOWI atau Forum Wartawan Independen (Bandung), Forum Diskusi Wartawan Yogya atau FDWY (Yogyakarta), dan SJI (Solidaritas Jurnalis Independen) di Jakarta sendiri. Kemudian para aktivis jurnalis dari sejumlah komunitas inilah yang kemudian ikut bergabung membentuk AJI, lewat [[Deklarasi Sirnagalih]]. Untuk menghormati dan mengakui keberadaan komunitas-komunitas inilah, maka pada diskusi di Sirnagalih waktu itu dipilih nama "aliansi" untuk AJI, dan bukan "persatuan" seperti PWI.
 
[[PembreidelanPembredelan 21 Juni 1994]] telah membantu menciptakan momentum, yang dibutuhkan bagi lahirnya sebuah organisasi jurnalis alternatif. PembreidelanPembredelan 21 Juni 1994 adalah semacammerupakan ''shock theraphy'', yang menjelma menjadi bendera penggalangan solidaritas para jurnalis muda, untuk mewujudkan mimpi yang sudah lama terpendam untuk membentuk wadah jurnalis yang independen. Namun, benih-benih lahirnya AJI sebenarnya sudah tertanam jauh hari sebelum pembreidelan tersebut.
 
[[Berkas:AJI 1115.jpg|thumb|250px|Logo AJI]]
=== Setelah pembredelan ===
Setelah pembreidelanpembredelan DeTik, Tempo dan Editor, para jurnalis muda yang didukung elemen mahasiswa, LSM dan seniman mengadakan sejumlah aksi menolak pembreidelan. MeskiKarena merasapertimbangan pesimistisprosedural, waktupara itu karenajurnalis pertimbangan proseduralmuda menemui pimpinan PWI Pusat yang diketuai [[Sofjan Lubis]] dengan Sekjen [[Parni Hadi]],. untukMereka meminta merekaPWI Pusat memperjuangkan nasib para karyawan dan wartawan korban pembreidelan. Pada pertemuan pertama di Gedung Dewan Pers, Jl. Kebon Sirih, Jakarta Pusat itu, kamipara jurnalis muda meminta, agar merekaAJI berusaha bertemu langsung dengan Menteri Penerangan [[Harmoko]]. PWI berjanji mengupayakannyamenyanggupi.
 
Sebulan kemudian, kamipara menemuijurnalis lagitermasuk PWIdari Pusattiga dalammedia aksiyang tagihdibredel janji,kembali danmenemui mempertanyakanPWI hasilPusat pertemuanuntuk itumenagih janji. Namun, nyatanyaTernyata PWI gagal bertemu Harmoko dan gagal memperjuangkan nasib wartawan dan karyawan pers. Dari situ, para jurnalis muda lalu menyatakan ketidakpercayaannya lagi pada PWI. Saat itu, saya dan sejumlah rekan jurnalis sudah mencanangkan, hal ini akan berujung ke pembentukan organisasi jurnalis yang baru, karena PWI terbukti sudah tak efektif lagi dan sudah terlalu dikooptasi oleh penguasa.
 
Para jurnalis muda lalu menyatakan ketidakpercayaannya lagi pada PWI. PWI dianggap sudah tak efektif lagi memperjuangkan nasib wartawan dan sudah terlalu dikooptasi oleh penguasa.
Untuk menggalang dukungan sekaligus merancang langkah aksi berikutnya, diadakanlah pertemuan para jurnalis muda. Wisma Tempo di [[Sirnagalih]], [[Jawa Barat]], dipilih sebagai lokasi pertemuan, karena pertimbangan praktis, relatif dekat, dan bisa lebih dijamin keamanan dan kerahasiaannya. Pada waktu itu, memang tak mudah mencari pemilik gedung, yang mau meminjamkan gedungnya untuk kegiatan yang berseberangan dengan pemerintah. Undangan disampaikan secara diam-diam. Juga disebarkan undangan palsu, seolah-olah pertemuan akan berlangsung di tempat lain di Bandung, sehingga ada sejumlah jurnalis yang salah informasi, dan datang ke tempat yang salah.
 
=== Deklarasi Sirnagalih ===
Pertemuan jurnalis pun digelar, dengan elemen utama jurnalis dari empat kota Surabaya, Yogyakarta, Bandung dan Jakarta. Sebelum pertemuan, sudah terdengar kabar bahwa ada kelompok atau figur tertentu yang mengklaim bisa mengatur para jurnalis ini. Oleh karena itu, untuk menghindari politisasi, klaim-klaim sepihak, dan kabar miring, sejak awal kami meminta para jurnalis senior seperti [[Erros Djarot]], [[Aristides Katoppo]], [[Goenawan Mohamad]] dan [[Fikri Djufri]] untuk tidak datang pada tanggal 6 Agustus malam saat penggodokan konsep dan wadah gerakan oleh para jurnalis muda sedang berlangsung. Mereka baru datang esok harinya, 7 Agustus, ketika penggodokan telah selesai. Hal ini dilakukan untuk menghindari tuduhan bahwa AJI sebagai sekadar alat atau kepanjangan kepentingan dari tokoh-tokoh pers tertentu.
Untuk menggalang dukungan sekaligus merancang langkah aksi berikutnyapembentukan organisasi jurnalis, diadakanlah pertemuan para jurnalis muda. Wisma Tempo di [[Sirnagalih]], [[Jawa Barat]], dipilih sebagai lokasi pertemuan, karena pertimbangan praktis, relatif dekat, dan bisa lebih dijamin keamanan dan kerahasiaannya. Pada waktu itu, memangMemang tak mudah mencari pemilik gedung, yang mau meminjamkan gedungnya untuk kegiatan yang berseberangan dengan pemerintah. Undangan disampaikan secara diam-diam. Juga disebarkan undangan palsu, seolah-olah pertemuan akan berlangsung di tempat lain di Bandung, sehingga ada sejumlah jurnalis yang salah informasi, dan datang ke tempat yang salah.
 
Pertemuan jurnalis pun digelar, dengan elemen utama jurnalis dari empat kota Surabaya, Yogyakarta, Bandung dan Jakarta. Sebelum pertemuan, sudah terdengar kabar bahwa ada kelompok atau figur tertentu yang mengklaim bisa mengatur para jurnalis ini. Oleh karena itu, untuk menghindari politisasi, klaim-klaim sepihak, dan kabar miring, sejak awal kami memintamaka para jurnalis senior seperti [[Erros Djarot]], [[Aristides Katoppo]], [[Goenawan Mohamad]] dan [[Fikri Djufri]] untukdiminta tidak datang pada tanggal 6 Agustus malam saat penggodokan konsep dan wadah gerakan oleh para jurnalis muda sedang berlangsung. Mereka baru datang esok harinya, 7 Agustus, ketika penggodokan telah selesai. Hal ini dilakukan untuk menghindari tuduhan bahwa AJI sebagai sekadar alat atau kepanjangan kepentingan dari tokoh-tokoh pers tertentu.
== Anggota ==
 
[[Deklarasi Sirnagalih]] ditanda tangani pada 7 Agustus 1994.
=== Anggota ===
[[Berkas:AJI 1147.jpg|thumb|250px|Jurnalis Juga Buruh, Hari Buruh 2009]]
Sejak AJI berdiri hingga sekarang, sebagian besar aktivis utamanya justru tidak berasal dari media yang dibreidel, namun justru dari media-media lainnya. Kecuali satu-dua orang, bisa dibilang tak ada satu pun wartawan eks-Editor yang pernah terlibat dalam aktivitas perlawanan AJI pada masa-masa awal berdirinya. Kalau melihat dari persentase, mungkin yang agak banyak terlibat dalam AJI adalah jurnalis eks Tabloid DeTik, disusul kemudian dengan para jurnalis Majalah Tempo.
 
Meskipun jumlah wartawan eks-Tempo lebih banyak, para jurnalis Tempo terbelah dua. Separuh di antaranya berseberangan dengan [[Goenawan Mohamad]], dan memilih bergabung mendirikan [[Gatra]], yang dimodali oleh [[Bob Hassan]]. Hal ini menimbulkan friksi di antara sesama eks-Tempo sendiri, sehingga sempat memunculkan wacana "boikot Gatra". AJI waktu itu memilih tidak mengeluarkan sikap resmi soal Gatra ini, karena dipandang lebih merupakan masalah internal Tempo.
 
Dari sekian jurnalis eks-Tempo yang tidak bergabung ke Gatra, juga tidak semuanya aktif di AJI. Sebagian mereka ikut mendirikan Tabloid Kontan, dan sejak itu tak banyak aktif di AJI, meski pada awalnya sebagian mereka ikut menandatangani [[Deklarasi Sirnagalih]].
 
Di sisi lain, cukup banyak jurnalis-aktivis, yang menggerakkan roda organisasi AJI pada masa awal berdirinya, justru berasal dari grup media yang bukan korban pembreidelan. Mereka antara lain: Stanley Adi Prasetyo (Jakarta-Jakarta), Meirizal Zulkarnain (Bisnis Indonesia), Hasudungan Sirait (Bisnis Indonesia), Rin Hindryati (Bisnis Indonesia), Satrio Arismunandar (Kompas), Dhia Prekasha Yoedha (Kompas), Santoso (Forum Keadilan), Ayu Utami (Forum Keadilan), Andreas Harsono (The Jakarta Post), Ati Nurbaiti (The Jakarta Post), Roy Pakpahan (Suara Pembaruan), dan lain-lain.
Mengapa bernama AJI? Meski sejak awal sudah merancang ke arah pembentukan organisasi jurnalis alternatif, dalam diskusi 6 Agustus malam di Sirnagalih itu, tampak bahwa gagasan para peserta sangat beragam. Dalam diskusi pleno itu, mengemuka bahwa pembentukan forum komunikasi, paguyuban, atau bentuk apapun di luar organisasi profesi, tidak akan efektif dan tak akan dianggap penting oleh PWI atau pemerintah. Karena PWI yang dikooptasi penguasa adalah organisasi profesi jurnalis, maka imbangan yang pas terhadap PWI juga harus berbentuk organisasi profesi jurnalis, namun dengan sifat yang independen terhadap pemerintah.
 
== Pemilihan Nama Organisasi ==
Forum akhirnya sepakat membentuk organisasi profesi jurnalis. Persoalannya kemudian, apa nama organisasi baru ini? Menurut Salomo Simanungkalit (wartawan Kompas, yang juga penandatangan Deklarasi Sirnagalih), nama AJI itu sudah “ditimang-timang” dan disebut oleh Dhia Prekasha Yoedha, dalam perjalanan naik mobil dari Jakarta menuju Sirnagalih, sebelum pertemuan para jurnalis. Nama itu terkesan bagus, singkat, mudah disebut, mudah diingat, dan punya makna positif. Aji dalam mitologi Jawa berarti suatu ilmu atau kesaktian tertentu.
Mengapa bernama AJI? Meski sejak awal sudah merancang ke arah pembentukan organisasi jurnalis alternatif, dalam diskusi 6 Agustus malam di Sirnagalih itu, tampak bahwa gagasan para peserta sangat beragam. Dalam diskusi pleno itu, mengemuka bahwa pembentukan forum komunikasi, paguyuban, atau bentuk apapun di luar organisasi profesi, tidak akan efektif dan tak akan dianggap penting oleh PWI atau pemerintah. Karena PWI yang dikooptasi penguasa adalah organisasi profesi jurnalis, maka imbangan yang pas terhadap PWI juga harus berbentuk organisasi profesi jurnalis, namun dengan sifat yang independen terhadap pemerintah.
 
Forum akhirnya sepakat membentuk organisasi profesi jurnalis. Persoalannya kemudian, apa nama organisasi baru ini? Menurut Salomo Simanungkalit (wartawan Kompas, yang juga penandatangan Deklarasi Sirnagalih), nama AJI itu sudah “ditimang-timang” dan disebut oleh Dhia Prekasha Yoedha, dalam perjalanan naik mobil dari Jakarta menuju Sirnagalih, sebelum pertemuan para jurnalis. Nama itu terkesan bagus, singkat, mudah disebut, mudah diingat, dan punya makna positif. Aji dalam mitologi Jawa berarti suatu ilmu atau kesaktian tertentu.
Sedangkan sebutan “Aliansi” seingat saya berasal dari usulan Stanley. Dasar pemikirannya, adalah untuk menghormati dan mengakui keberadaan komunitas-komunitas jurnalis, yang sudah lebih dulu ada di berbagai kota. Pada kenyataannya, memang merekalah yang mengirim delegasi ke pertemuan Sirnagalih ini.
 
Sedangkan sebutan “Aliansi” seingatdiusulkan sayaStanley berasalAdi dariPrasetyo usulan Stanley(Jakarta-Jakarta). Dasar pemikirannya, adalah untuk menghormati dan mengakui keberadaan komunitas-komunitas jurnalis, yang sudah lebih dulu ada di berbagai kota. Pada kenyataannya, memang merekalah yang mengirim delegasi ke pertemuan Sirnagalih ini.
 
Berbagai usulan tersebut dirangkum. Forum pun setuju menggunakan istilah “Aliansi” karena pertimbangan yang disampaikan Stanley di atas. Istilah “Jurnalis” pun disepakati digunakan, karena itulah istilah yang dianggap lebih sesuai dengan kata asalnya dalam bahasa Inggris (journalist), dan untuk membedakan dari PWI yang sudah menggunakan “wartawan.” Terakhir, istilah “Independen” digunakan untuk menggarisbawahi perbedaan AJI dengan PWI. AJI itu independen, dan juga tidak mau mengklaim mewakili “Indonesia.” Sedangkan, PWI tidak independen, tapi mengklaim mewakili Indonesia.
 
Sesudah nama AJI disepakati, peserta diskusi dibagi dalam sejumlah komisi, seperti Komisi Deklarasi, Komisi Program, dan lain-lain. Satrio Arismunandar dipercayai memimpin Komisi Deklarasi, dengan sekretaris Jopie Hidajat (Tempo) yang kini bekerja di Tabloid Kontan. Sesudah serangkaian diskusi panjang, Komisi ini berhasil merumuskan [[Deklarasi Sirnagalih]], yang esok paginya, tanggal 7 Agustus, dibacakan dan dibahas lagi di Sidang Pleno. Deklarasi itu disepakati dengan suara bulat dan hanya dengan sedikit sekali perubahan redaksional.
 
Jika diamati, dalam deklarasi itu tercantum “Pancasila dan UUD ‘45.” Selain karena pertimbangan ideologis, pencantuman “Pancasila” di Deklarasi Sirnagalih merupakan langkah taktis, untuk meniadakan peluang bagi aparat rezim Soeharto untuk menghantam gerakan dan organisasi AJI yang baru lahir ini. Waktu itu, iklim represi sangat keras, dan ada kewajiban mencantumkan “Pancasila” sebagai satu-satunya asas bagi organisasi kemasyarakatan.
Baris 49 ⟶ 56:
Pada 7 Agustus siang, mulailah acara penandatangan Deklarasi. Tidak semua peserta yang hadir bersedia menandatangani, dengan pertimbangan yang beragam. Herdi SRS, M. Fadjroel Rachman, Ging Ginanjar, memilih tidak menandatangani. Bambang Harymurti (BHM) namanya dicantumkan di Deklarasi, namun nyatanya ia sudah keburu pergi untuk suatu urusan, sehingga juga tidak tanda tangan. Rekan dari Kompas, Salomo Simanungkalit dan Bambang Wisudo sudah lebih dulu pulang karena tugas kantor, namun mereka menyatakan komitmennya untuk tanda tangan, dan minta namanya tetap dicantumkan di Deklarasi.
 
Pada kenyataannya, para jurnalis senior “ditodong” untuk ikut memberi tanda tangan dalam Deklarasi, yang isinya dirancang sepenuhnya oleh para jurnalis muda. Bagaimanapun juga, nama para jurnalis senior ini dibutuhkan untuk memberi gaung yang lebih besar pada Deklarasi Sirnagalih, yang menjadi dasar berdirinya AJI. Pada waktu itu, istilah “jurnalis” juga diartikan secara luas dan mencakup juga para kolumnis, sehingga Arief Budiman, Christianto Wibisono, dan Jus Soema diSoemadi Pradja yang sudah lama tidak aktif sebagai jurnalis, ikut tanda tangan.
 
=== Reaksi pemerintah ===
Berdirinya AJI memberi gaung cukup besar di dunia jurnalistik Indonesia. Tekanan terhadap para jurnalis yang terang-terangan bergabung dalam AJI sangat besar. Pemerintah melalui Departemen Penerangan dan PWI melihat berdirinya AJI sebagai tantangan terbuka, yang harus ditindak keras agar tidak meluas. Berbagai tindakan “pendisiplinan” melalui pemimpin di media masing-masing pun dilakukan.
 
Baris 63 ⟶ 71:
Pimpinan Kompas beranggapan, keduanya dibiarkan terus aktif di AJI dan SBSI seperti sediakala tanpa ditindak, akan memberi kesan pada penguasa (Departemen Penerangan yang mengeluarkan SIUPP pada Kompas) bahwa Kompas “merestui” atau bahkan “mendukung aktivitas ilegal” yang dilakukan dua karyawannya. Implikasinya, Kompas bisa dibreidel sewaktu-waktu, seperti sudah pernah terjadi di waktu lampau. Oleh karena itu, daripada membahayakan kelangsungan hidup perusahaan Kompas dengan sekitar 3.000 karyawannya, lebih baik meminta dua wartawannya mundur.
 
== SetelahProgram Soehartokerja Jatuhdan kasus ==
 
Sejak berdiri hingga saat ini, AJI memiliki kepedulian pada tiga isu utama. Inilah yang kemudian diwujudkan menjadi program kerja selama ini. Pertama, perjuangan untuk mempertahankan kebebasan pers. Kedua, meningkatkan profesionalisme jurnalis. Ketiga, meningkatkan kesejahteraan jurnalis. Semua ini merujuk pada persoalan nyata yang dihadapi jurnalis.
 
=== Ancaman kebebasan pers ===
Pertama, perjuanganPerjuangan untuk mempertahankan kebebasan pers merupakan pekerjaan rumah utama AJI. Tidak hanya semasa Orde Baru berkuasa, saat represi terhadap media dan pemberangusan terhadap kebebasan pers sangat tinggi. Setelah Soeharto tumbang berganti era reformasi, isu kebebasan pers itu masih terus aktual. Sebab, represi yang dulunya berasal dari negara, kini justru bertambah dari masyarakat, mulai pejabat dan pengusaha yang merasa terancam oleh pers yang mulai bebas, hingga kelompok-kelompok preman.
 
Ancaman bagi kebebasan pers itu ditandai oleh kian maraknya kasus gugatan, baik pidana maupun perdata, terhadap pers setelah reformasi. Ini diperkuat oleh statistik kasus kekerasan terhadap jurnalis yang masih relatif tinggi, meski statistik jumlah kasus yang dimiliki AJI cukup fluktuatif. Tahun 1998, kekerasan terhadap jurnalis tercatat sebanyak 42 kasus. Setahun kemudian, 1999, menjadi 74 kasus dan 115 di tahun 2000. Pada tahun 2001 sebanyak 95 kasus, 70 kasus (2002), 59 kasus (2003), dan 27 kasus pada 2004.
Baris 75 ⟶ 83:
Kasus yang tak kalah penting adalah penyanderaan dua wartawan RCTI, Ersa Siregar dan Ferry Santoro oleh Gerakan Aceh Merdeka, di Aceh Timur, 2003. AJI menggalang dukungan internasional untuk membantu pembebasan tersebut, serta membentuk tim pembebasan bersama sejumlah organisasi lainnya. Ferry Santoro akhirnya selamat, namun Ersa tewas saat terjadi kontak senjata antara GAM dan TNI.
 
=== Profesionalisme jurnalis ===
Kedua, soal peningkatan profesionalisme jurnalis. Bagi AJI, persPers profesional merupakan prasyarat mutlak untuk membagun kultur pers yang sehat. Dengan adanya kualifikasi jurnalis semacam itulah pers di Indonesia bisa diharapkan untuk menjadi salah satu tiang penyangga demokrasi. Karena itulah, AJI melaksanakan sejumlah training, workshop, diskusi dan seminar.
 
Berkaitan soal peningkatan profesionalisme ini, AJI juga membangun Media Center di beberapa daerah. Misalnya, di Ambon dan Banda Aceh. Media Center di Ambon dibangun saat intensitas konflik meluas di daerah itu. Pendirian Media Center merupakan salah satu alat untuk mempromosikan penggunaan jurnalisme damai (peace journalism) kepada jurnalis saat meliput konflik yang menelan banyak korban jiwa tersebut.
Baris 83 ⟶ 92:
Salah satu program penting AJI yang berhubungan dengan etika adalah melakukan kampanye untuk menolak amplop atau pemberian dari nara sumber. Selama ini, salah satu cara yang dilakukan adalah dengan melakukan sosialiasi kepada pejabat publik, masyarakat dan tentu juga wartawan tentang akibat buruk dari praktik ini.
 
=== Kesejahteraan jurnalis ===
Ketiga, peningkatan kesejahteraan jurnalis. Tema tentang kesejahteraan ini memang tergolong isu yang sangat ramai di media. Bagi AJI, kesadaran akan pentingnya isu ini sudah dimulai sejak Kongres AJI tahun 1997. Dalam kongres tersebut, dicetuskan untuk memberikan porsi layak kepada isu yang berhubungan dengan aspek ekonomi jurnalis. Salah satu bentuknya adalah dengan mendorong pembentukan serikat pekerja di masing-masing media.
 
Tak mudah memang untuk mendorong isu ini. Sebab, masih ada kekhawatiran di benak pengusaha bahwa adanya serikat pekerja akan mendatangkan malapetaka, bencana atau kekacauan di perusahaan media. Pandangan ini juga menunjukkan adanya resistensi terselubung dari pemilik media soal serikat pekerja. Namun, usaha yang di rintis selama ini tak sia-sia. Beberapa media sudah memiliki serikat pekerja, meski dengan nama berbeda-beda.
 
AJI percaya, adanya serikat pekerja memberi dampak baik bagi perusahaan. Dengan adanya wakil karyawan, maka mereka bisa ikut memengaruhi kebijakan yang akan melibatkan mereka. Dampak lanjutannya, jurnalis pun bisa mendapatkan penghasilan yang layak sehingga kebutuhan ekonominya tercukupi. Kami percaya, soal kesejahteraan ini memiliki korelasi cukup kuat dengan terbentuknya karakter seorang jurnalis profesional.
 
== Pengurus ==
AJI Indonesia berkantor pusat di Jakarta, Jl. Kembang Raya No. 6, Kwitang, Senen, Jakarta Pusat. Organisasi AJI Indonesia dibantu pengurus AJI Kota di 35 daerah. Pengurus AJI Indonesia 2011-2014 dipimpin Eko Maryadi (Lingkar Berita) didampingi Sekjen Suwarjono (Vivanews), dibantu 26 pengurus divisi dan enam koordinator wilayah AJI.
 
== Apresiasi Jurnalis ==
Sejak 2002, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta menggelar penghargaan [[Apresiasi Jurnalis|Apresiasi Jurnalis Jakarta]]. Penghargaan itu diberikan setiap tahun untuk mendorong hadirnya karya-karya jurnalis yang bermutu dan berkualitas. Penghargaan diberikan kepada karya terbaik di bidang media cetak, online, radio, dan televisi yang memberikan dampak terhadap publik secara luas dan signifikan.
 
== Pranala luar ==