Upacara minum teh (Jepang): Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Midori (bicara | kontrib)
Midori (bicara | kontrib)
Baris 15:
Lu Yu (Riku U) adalah seorang ahli teh dari [[dinasti Tang]] di [[Tiongkok]] yang menulis buku berjudul ''Ch'a Ching'' (茶经) atau Chakyō (bahasa Inggris: ''Classic of Tea''). Buku ini merupakan [[ensiklopedia]] mengenai sejarah teh, cara menanam teh, sejarah minum teh, dan cara membuat dan menikmati teh.
 
Produksi teh dan tradisi minum teh dimulai sejak [[zaman Heian]] setelah teh dibawa masuk ke Jepang oleh duta kaisar yang dikirim ke dinasti Tang. Literatur klasik [[Nihon Kōki]] menulis tentang kaisar [[Saga_(kaisar)|Kaisar Saga]] yang sangat terkesan dengan teh yang disuguhkan pendeta bernama Eichu sewaktu mengunjungi provinsi [[Provinsi Ōmi]] di tahun [[815]]. Catatan dalam Nihon Kōki merupakan sejarah tertulis pertama tentang tradisi minum teh di Jepang.
 
Pada masa itu, teh juga masih berupa teh hasil [[fermentasi]] setengah matang mirip [[Teh Oolong]] yang dikenal sekarang ini. Teh dibuat dengan cara merebus teh di dalam air panas dan hanya dinikmati di beberapa kuil agama Buddha. Teh belum dinikmati di kalangan terbatas sehingga kebiasaan minum teh tidak sempat menjadi populer.
Baris 25:
Pada masa itu, perangkat minum teh dari [[dinasti Tang]] dinilai dengan harga tinggi. Kolektor perlu mengeluarkan banyak uang untuk bisa mengumpulkan perangkat minum teh dari Tiongkok. Acara minum teh menjadi populer di kalangan [[daimyo]] yang mengadakan upacara minum teh secara mewah menggunakan perangkat minum teh dari Tiongkok. Acara minum teh seperti ini dikenal sebagai ''Karamono suki'' dan ditentang oleh nenek moyang ahli minum teh Jepang yang bernama [[Juko|Murata Jukō]]. Menurut Jukō, minuman keras dan perjudian harus dilarang dari acara minum teh. Acara minum teh juga harus merupakan sarana pertukaran pengalaman spiritual antara pihak tuan rumah dan pihak yang dijamu. Acara minum teh yang diperkenalkan Jukō merupakan asal-usul upacara minum teh aliran [[Wabicha]].
 
Wabicha dikembangkan oleh seorang pedagang sukses dari kota [[Sakai, Osaka|Sakai]] bernama [[Takeno Shoo|Takeno Shōō]] dan disempurnakan oleh murid (''deshi'') yang bernama [[Sen no Rikyu|Sen no Rikyū]] di [[zaman Azuchi Momoyama]]. Wabicha ala Rikyū menjadi populer di kalangan [[samurai]] dan melahirkan murid-murid terkenal seperti [[Gamo Ujisato|Gamō Ujisato]], [[Hosokawa Tadaoki]], [[Makimura Hyobu|Makimura Hyōbu]], [[Seta Kamon]], [[Furuta Shigeteru]], [[Shigeyama Kenmotsu]], [[Takayama Ukon]], [[Rikyu Shichitetsu|Rikyū Shichitetsu]]. Selain itu, dari aliran Wabicha berkembang menjadi aliran-aliran baru yang dipimpin oleh [[daimyo]] yang piawai dalam upacara minum teh seperti [[Kobori Masakazu]], [[Katagiri Sekiju|Katagiri Sekijū]] dan [[Oda Nagamasa|Oda Uraku]]. Sampai saat ini masih ada sebutan ''Bukesadō'' untuk upacara minum teh gaya kalangan samurai dan ''Daimyōcha'' untuk upacara minum teh gaya daimyō.
 
Sampai di awal [[zaman Edo]], ahli upacara minum teh sebagian besar terdiri dari kalangan terbatas seperti daimyo dan pedagang yang sangat kaya. Memasuki pertengahan zaman Edo, penduduk kota yang sudah sukses secara ekonomi dan membentuk kalangan menengah atas secara beramai-ramai menjadi peminat upacara minum teh.
Baris 45:
Pemerintah feodal yang ada di seluruh Jepang merupakan pengayom berbagai aliran upacara minum teh, sehingga kesulitan keuangan melanda berbagai aliran upacara minum teh setelah pemerintah feodal dibubarkan di awal era [[Meiji]]. Hilangnya bantuan finansial dari pemerintah feodal akhirnya digantikan oleh pengusaha sukses seperti [[Masuda Takashi]] lalu bertindak sebagai pengayom berbagai aliran upacara minum teh.
 
Di tahun [[1906]], pelukis terkenal bernama [[Okakura Tenshin]] menerbitkan buku berjudul ''The Book of Tea'' di [[Amerika Serikat]]. Memasuki awal abad ke-20, istilah sadō atau chadō mulai banyak digunakan bersama-sama dengan istilah ''cha no yu'' atau '''Chanoyu'''.
 
== Aliran upacara minum teh ==