Benteng De Kock: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Kenrick95Bot (bicara | kontrib)
k Bot: Penggantian teks otomatis (-Di tahun +Pada tahun); kosmetik perubahan
Indah blestari (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1:
{{No ref}}
[[Berkas:Memorial Fort de Kock.jpg|thumb|right|250px|Tetenger di tempat berdirinya Fort de Kock]]
 
Baris 6 ⟶ 5:
Benteng ini dibangun semasa [[Perang Paderi]] pada tahun [[1825]] oleh Kapten Bauer di atas [[Bukit Jirek]] dan awalnya dinamai ''Sterrenschans''. Kemudian, namanya diubah menjadi ''Fort de Kock'', menurut [[Hendrik Merkus de Kock]], tokoh militer Belanda.
 
Pada tahun-tahun selanjutnya, di sekitar benteng ini tumbuh sebuah kota yang juga bernama ''Fort de Kock'', kini Bukittinggi.<ref>{{cite web |url=http://www.harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=2436:menyisiri-sejarah-di-benteng-fort-de-kock&catid=39:lancong&Itemid=153 | title=Menyisiri Sejarah di Benteng Fort de Kock |date=4 March 2012}}</ref>
 
Semasa pemerintahan Be­lan­da, Bukittinggi dijadikan sebagai salah satu pusat peme­rintahan, kota ini disebut sebagai Gemetelyk Resort pada tahun 1828. Sejak tahun 1825 pemerintah koloial Belan­da telah mendirikan sebuah benteng di kota ini sebagai tempat pertahanan, yang hingga kini para wisatawan dapat melihat langsung benteng tersebut yaitu Fort de Kock. Selain itu, kota ini tak hanya dijadikan sebagai pusat peme­rintahan dan tempat pertahanan bagi pemerintah kolonial Belanda, namun juga dijadikan sebagai tempat peristirahatan para opsir Belanda yang berada di wilayah jajahannya.
 
Fort de Kock juga diba­ngun sebagai lambang bahwa Kolonial Belanda telah berhasil menduduki daerah di Sumatera Barat. Benteng tersebut meru­pakan tanda penjajahan dan perluasan kekuasaan Belanda terhadap Bukittinggi, Agam, dan Pasaman. Belanda memang cerdik untuk menduduki Su­ma­tera Barat, mereka meman­faatkan konflik intern saat itu, yaitu konflik yang terjadi antara kelompok adat dan kelompok agama. Bahkan Belanda sendiri ikut membantu kelompok adat, guna menekan kelompok aga­ma selama Perang Paderi yang berlangsung 1821 hingga tahun 1837.
 
Belanda yang membantu kaum adat melahirkan sebuah kesepakatan bahwa Belanda diperbolehkan membangun basis pertahan militer yang dibangun Kaptain Bauer di puncak Bukit Jirek Hill, yang kemudian diberi nama Fort de Kock.
 
Setelah membangun di Bukit Jirek, Pemerintah Kolo­nial Belanda pun melanjutkan rencananyamengambil alih beberapa bukit lagi seperti Bukit Sarang Gagak, Bukit Tambun Tulang, Bukit Cubadak Bungkuak, dan Bukit Malam­bung. Di daerah tersebut juga dibangun gedung perkantoran, rumah dinas pemerintah, kom­pleks pemakaman, pasar, sarana transportasi, sekolah juga tempat rekreasi. Pembangunan yang dilakukan oleh pemerintahan Kolonial Belanda tersebut dalam istilah Minangkabau dikenal dengan “tajua nagari ka Bulando” yang berarti Terjual negeri pada Belanda. Di masa itu memang, Kolonial Belanda menguasai 75 persen wilayah dari lima desa yang dijadikan pusat perdagangan.
 
== Keadaan sekarang ==
Sejak direnovasi pada tahun 2002 lalu oleh pemerintah daerah, Fort de Kock, kawasan benteng kini menjadi Taman Kota Bukittinggi (Bukittinggi City Park) dan Taman Burung Tropis (Tropical Bird Park).
Hingga saat ini, Benteng Fort de Kock masih ada sebagai bangunan bercat [[putih]]-[[hijau]] setinggi 20 m. Benteng Fort de Kock dilengkapi dengan [[meriam]] kecil di keempat sudutnya. Kawasan sekitar benteng sudah dipugar oleh pemerintah daerah menjadi sebuah taman dengan banyak pepohonan rindang dan mainan anak-anak.
 
Baris 14 ⟶ 22:
benteng ini adalah satu dari 2 benteng belanda yang ada di sumatera barat , yang satu lagi terletak di [[Batusangkar]] dengan nama benteng [[Fort Van der Capellen]] karna 2 kota inilah dahulu yang paling susah ditaklukan belanda saat peran paderi
 
== Catatan Kaki ==
{{reflist}}
 
=== LihatReferensi Pula ===
* [[Fort Van der Capellen]]
 
<!--== Referensi ==
* Amir B, 2000, “Sejarah Sumatera Barat. Fakultas Ilmu Sosial”, UNP, Padang,
* Azizah Etek, Syahril Tanjung, Yosmardin, Mursyid A.M, Nazief E.S, Reno Oktaviani,2004 “Dinamika Pemerintah Lokal Kota Bukittinggi”, Kerjasama Pemerintah Kota Bukittinggi Lembaga Pengembangan Masyarakat, Institut Ilmu Pengetahuan LPM-IIP, Bukittinggi.
Baris 30 ⟶ 37:
* Syafni Arita, ”Bukittinggi Kota Wisata Suatu Kajian Historis 1984-2000”. Skripsi, Padang: Jurusan Sejarah Universitas Negeri Padang, 2001.
* Wawancara dengan Soedirman, Bukittinggi: Tanggal [[5 Januari]] [[2005]].
* Zul Asri, 2001, “Bukittinggi 1945-1980, Perkembangan Kota Secara Fisik dan Hubungannya dengan Kepemilikan Tanah”, Tesis, Program Pasca Sarjana Ilmu Pengetahuan Budaya, Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Depok.-->
 
== Lihat Pula ==
* [[Fort Van der Capellen]]
{{commonscat|Fort de Kock}}