Revolusi Sosial Sumatra Timur: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 54:
 
Dari buku yang ditulis Batara Sangti Simanjuntak itu tergambar sekilas bagaimana ketegangan etnis yang sempat terjadi di Simalungun sebagai ekses dari migrasi kaum pendatang Batak Toba ke Simalungun dengan penduduk asli Simalungun. Perlu diingat sejak masuknya para planter yang didukung pemerintah kolonial Belanda, praktis kekuasaan dan pengaruh penduduk asli Simalungun semakin terabaikan. Sepertiga atau 151.000 hektar (luas Simalungun 441.380 hektar) berada dalam penguasaaan para pengusaha perkebunan asing.[9] Sementara itu penduduk asli Simalungun merosot jumlahnya menjadi kelompok minoritas (69.852 jiwa), migran Batak Toba (26.531 jiwa), migran lain kebanyakan orang Jawa (23.653 jiwa) dan kuli kontrak orang Jawa (44.040 jiwa). Penduduk orang Eropa 816 jiwa dan Timur Asing 10.865 jiwa.[10] Persoalan perebutan lahan garapan di antara kaum pendatang Batak Toba itu menjadi perkara yang memusingkan raja-raja Simalungun; sementara penduduk asli semakin terpinggirkan dan akhirnya pindah ke daerah yang relatif tandus di pegunungan, khususnya di sekitar gunung Simbolon. Di Pematangsiantar sendiri kota itu semakin kehilangan indentitas aslinya sebagai kediaman tradisional suku Simalungun, identitas pendatang semakin dominan, khususnya identitas Batak Toba.[11] Data-data ini menunjukkan bahwa sesungguhnya akibat politik kolonial Belanda, penduduk asli Simalungun yang berada dipihak yang sangat dirugikan dibanding para pendatang, terutama di daerah konsentrasi perkebunan dan persawahan di Simalungun Bawah.[12] Dengan demikian pernyataan di buku-buku sejarah selama ini yang menyatakan ketertindasan rakyat oleh para kaum aristokrat Simalungun pantas untuk diteliti kembali kebenarannya.
 
 
'''C. Revolusi Sosial Pecah di Simalungun'''
Baris 131 ⟶ 132:
 
'''Rekomendasi:'''
1. Organisasi masyarakat Melayu, Karo dan Simalungun perlu membuat suatu Seminar Nasional Revolusi Sosial di Sumatera Timur ini. Dalam hal ini PMS dapat melaksanakannya bersama masyarakat Melayu dalam MABMI dan masyarakat Karo dalam Merga Silima. Sebab ketiga penduduk asli Sumatera Timur ini yang banyak menjadi korban pembantaian dan penjarahan serta pembakaran istana-istana kerajaan.
 
2. Sudah saatnya tanggal 3 Maret ini menjadi hari yang pantas kita rayakan sebagai Hari Parmaluonkonni Halak Simalungun.
1. Organisasi masyarakat Melayu, Karo dan Simalungun perlu membuat suatu Seminar Nasional Revolusi Sosial di Sumatera Timur ini. Dalam hal ini PMS dapat melaksanakannya bersama masyarakat Melayu dalam MABMI dan masyarakat Karo dalam Merga Silima. Sebab ketiga penduduk asli Sumatera Timur ini yang banyak menjadi korban pembantaian dan penjarahan serta pembakaran istana-istana kerajaan.
 
3. Kasus pelanggaran HAM berat ini harus dituntaskan, kita harus memperjuangkan kepada pemerintah agar mengusut kasus ini secara adil, merehabilitasi nama baik mereka yang dituduh anti kemerdekaan. Harta dan hak-hak adat masyarakat adat Simalungun harus dipulihkan kembali, sebab kerajaan-kerajaan Simalungun sudah ada jauh sebelum republik ini berdiri, bila perlu membawa kasus ini ke Amnesti Internasional, sebab telah merugikan eksistensi penduduk asli Sumatera Timur.
2. Sudah saatnya tanggal 3 Maret ini menjadi hari yang pantas kita rayakan sebagai Hari Parmaluonkonni Halak Simalungun.
3. Kasus pelanggaran HAM berat ini harus dituntaskan, kita harus memperjuangkan kepada pemerintah agar mengusut kasus ini secara adil, merehabilitasi nama baik mereka yang dituduh anti kemerdekaan. Harta dan hak-hak adat masyarakat adat Simalungun harus dipulihkan kembali, sebab kerajaan-kerajaan Simalungun sudah ada jauh sebelum republik ini berdiri, bila perlu membawa kasus ini ke Amnesti Internasional, sebab telah merugikan eksistensi penduduk asli Sumatera Timur.
 
4. Harus ada rekonsiliasi di antara masyarakat adat Simalungun, di antara keturunan para korban dan mereka yang terlibat dalam aksi pembantaian itu. Sehingga kita punya satu persepsi dalam membangun masyarakat Simalungun dan masa depan suku Simalungun ke depan.
 
4. Harus ada rekonsiliasi di antara masyarakat adat Simalungun, di antara keturunan para korban dan mereka yang terlibat dalam aksi pembantaian itu. Sehingga kita punya satu persepsi dalam membangun masyarakat Simalungun dan masa depan suku Simalungun ke depan.
Hapoltakan, 19 Oktober 2010.
 
Baris 144 ⟶ 145:
 
Clauss,Wolfgang, 1982. Economic and Social Change among The Simalungun Batak of North Sumatra, Saarbrucken Fort Laurderdale: Verlag BreitenbachPublishers.
 
Dasuha, Juandaha Raya Purba ., dan Sinaga, Martin Lukito, 2004. Memoar 80 Tahun St. Dja Sarlim Sinaga, Jakarta: Sardo Sarana Media.
 
Dasuha, Mailan Purba, 1970. Tarombo ni Purba Sidasuha. Naskah Ketikan. Arsiip Pribadi.
 
Hutasoit, Marnixius, 1986. Percikan Revolusi di Sumatera, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1986.
 
Liddle. R. William. 1970. Ethnicity, Party and National Integration: An Indonesian Case Study , New Haven and London: Yale University Press.
 
Nainggolan, Nursanni, 1999. “Revolusi Sosial di Kabupaten Simalungun” naskah ketikan, arsip Djariaman Damanik, Medan.
 
Piotr Sztompka, 2005, Sosiologi Perubahan Sosial (diterjemahkan Alimandan, Jakarta: Prenada Media.
 
Prima, 1976. Medan Area Mengisi Proklamasi, Medan: Percetakan Waspada.
 
Purba, D. Kenan, 1995. Sejarah Simalungun, Jakarta: Bina Budaya Simalungun.
 
Reid, Anthony, 1987. Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatra (terj.), Jakarta: Sinar Harapan.
 
Said, Mohammad, 1973. “What was The “Social Revolution of 1946” in East Sumatra”. Indonesia no. 15, Cornel Southeast Asia Program.
 
Saragih, Bintan R., dan Purba, 2000. Darwan Madja (eds.), 80 Tahun Djariaman Damanik: Seorang Ningrat, Pejuang Kemerdekaan, Penegak Hukum, Tokoh Masyarakat, Jakarta:Gaya Media Pratama.
 
Saragih, Kansi, 2002. “Eksistensi Sumatera Timur dari Sudut Pandang Sejarah dan Budaya”, makalah Simposium Pembentukan Propinsi Sumatera Timur, Pematangsiantar.
 
Simanjuntak, Batara Sangti, 1977. Sejarah Batak, Balige: Karl Sianipar Co.
 
Sinar, Tengku Luckman, 2008. Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur, Medan.
 
Sinopsis Upacara Pemindahan Makam Tuan Djaulan Kaduk Saragih Garingging, Brosur: Pamatang Raya, April 1995.
 
Tideman, J., 1922. Simeloengoen, Leiden: H. Becherer Stromdrukkerij.
 
van Langenberg, Michael, 1982. “Class and Conflict in Indonesia’s Decolonozation Process: A Study of East Sumatra”. Indonesia no. 33, Cornell Southeast Asia Program.
 
Baris 166 ⟶ 184:
Mr. Tuan Djariaman Damanik di Medan, bekas Raja Muda Sidamanik.
Tuan St. Drs. Kamen Purba Dasuha, putera raja Panei di Pematangsiantar.
 
Tuan Gindo Hilton Sinaga keturunan Tuan Girsang tinggal di Tigadolok.
 
Baris 171 ⟶ 190:
* '''Makalah disampaikan pada Harungguan Bolon DPP Partuha Maujana Simalungun di Auditorim Radjamin Purba USI Pematangsiantar tanggal 22-23 Oktober 2010.'''
* '''Penulis adalah Pendeta GKPS, suku Simalungun tinggal diJl Pdt. J.Wismar Saragih, Pematangsiantar, bekerja di Kantor Pusat GKPS Pematangsiantar.'''
 
 
[1] Michael van Langenberg, “Class and Ethnic Conflict in Indonesia’s Decolonization Process: A Study of East Sumatra’. Indonesia nomor 33/1982, hlm. 1. Native States di Sumatera Timur pada tahun 1945 terdiri dari 12 buah kerajaan-kerajaan Melayu yaitu: Hamparan Perak (Deli), Sunggal (Deli), Sukapiring (Deli), Senembah (Deli), Percut (Deli), Bedagai (Deli), Padang (Deli), Indrapura (Asahan), Tanah Datar, Pesisir, Limapuluh, Sukudua. Tanah Karo terdiri atas kerajaan-kerajaan (sibayak): Kutabuluh, Sarinembah, Lingga, Suka dan Barusjahe. Terakhir Simalungun terdiri atas: Dolog Silou, Silimakuta, Purba, Raya, Panei, Siantar dan Tanoh Jawa.