Bujangga Manik (naskah): Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Gunkarta (bicara | kontrib)
Kembangraps (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 1:
'''Perjalanan Bujangga Manik''' merupakan salah satu peninggalan dari [[naskah]] kuna ber[[bahasa Sunda]] yang memuat kisah perjalanan seorang tokoh bernama Bujangga Manik mengelilingi Tanah Jawa dan Bali. Naskah ini ditulis pada daun [[nipah]], dalam puisi naratif berupa lirik yang terdiri dari delapan suku kata, dan saat ini disimpan di Perpustakaan Bodley di [[Universitas Oxford]] sejak tahun 1627 (MS Jav. b. 3 (R), cf. Noorduyn 1968:469, Ricklefs/Voorhoeve 1977:181). Naskah Bujangga Manik seluruhnya terdiri dari 29 lembar daun [[nipah]], yang masing-masing berisi sekitar 56 baris kalimat yang terdiri dari 8 suku kata.
 
Yang menjadi tokohTokoh dalam naskah ini adalah Prabu Jaya Pakuan alias [[Bujangga Manik]], seorang [[resi]] [[Hindu]] dari [[Kerajaan Sunda]] yang lebih suka menjalani hidup sebagai seorang resi, walaupun merupakansebenarnya ia seorang prabu[[kesatria]] padadari keraton [[Pakuan Pajajaran]], (ibu kota kerajaanKerajaan Sunda, yang bertempat di wilayah yang sekarang menjadi kota [[Kota Bogor]]), lebih suka menjalani hidup sebagai seorang resi. Sebagai seorang resi, dia melakukan dua kali perjalanan dari [[Pakuan Pajajaran]] ke [[Jawa]]. Pada perjalanan kedua Bujangga Manik malah sempat singgah di [[Bali]] untuk beberapa lama. Pada akhirnya Bujangga Manik bertapa di sekitar [[Gunung Patuha]] sampai akhir hayatnya.<ref>{{cite book
| last =Noorduyn
| first =J.
Baris 9:
| year =2006
| page =437
}}</ref> Jelas sekali, dariDari ceritera dalam naskah tersebut, bahwa naskah Bujangga Manik berasal dari zaman sebelum [[Islam]] masuk ke Tatar Sunda. Naskah tersebut tidak mengandung satu pun kata-kata yang berasal dari [[bahasa Arab]]. Penyebutan [[Majapahit]], [[Malaka]], dan Demak [[Demak]] memungkinkanmembawa kitapada untuk memperkirakanperkiraan bahwa naskah ini ditulis dalam akhir tahun 1400-an atau awal tahun 1500-an.<ref>{{cite book
| last =Noorduyn
| first =J.
Baris 18:
| page =438
}}</ref>
Naskah ini sangat berharga karena menggambarkan [[geografi]] dan [[topografi]] [[pulauPulau Jawa]] pada sekitarsaat abadnaskah ke-15dibuat. Lebih dari 450 nama tempat, gunung, dan sungai disebutkan di dalamnya. Sebagian besar dari nama-nama tempat tersebut masih digunakan atau dikenali sampai sekarang<ref>Noorduyn J. 1982. [http://www.kitlv-journals.nl/index.php/btlv/article/viewFile/2027/2788 BKI 138:413-442.]</ref>.
 
== Ringkasan Naskah ==
Naskah ini ditulis dengan genre ''santri lelana'' ("orang pintar yang berkelana"), suatu genre yang cukup umum dipakai pada naskah-naskah dari masa berikutnya, seperti misalnya [[Serat Centhini]].
 
Diceritakan bahwa Bujangga Manik akan meninggalkan ibunya untuk pergi ke arah timur. Dia sangat teliti dalam menceritakan keberangkatannya. Dari kebiasaannya kita tahu bahwa dia mengenakan ikat kepala (''saceundung kaen'').
Yang menjadi tokoh dalam cerita ini adalah Prabu Jaya Pakuan alias Bujangga Manik, seorang resi Hindu dari Kerajaan Sunda yang, walaupun merupakan seorang prabu pada keraton Pakuan Pajajaran (ibu kota kerajaan, yang bertempat di wilayah yang sekarang menjadi kota Bogor), lebih suka menjalani hidup sebagai seorang resi. Sebagai seorang resi, dia melakukan dua kali perjalanan dari Pakuan Pajajaran ke Jawa. Pada perjalanan kedua Bujangga Manik malah singgah di Bali untuk beberapa lama. Pada akhirnya Bujangga Manik bertapa di sekitar Gunung Patuha sampai akhir hayatnya.[1] Jelas sekali, dari ceritera dalam naskah tersebut, bahwa naskah Bujangga Manik berasal dari zaman sebelum Islam masuk ke Tatar Sunda. Naskah tersebut tidak mengandung satu pun kata-kata yang berasal dari bahasa Arab. Penyebutan Majapahit, Malaka dan Demak Demak memungkinkan kita untuk memperkirakan bahwa naskah ini ditulis dalam akhir tahun 1400-an atau awal tahun 1500-an.[2] Naskah ini sangat berharga karena menggambarkan topografi pulau Jawa pada sekitar abad ke-15. Lebih dari 450 nama tempat, gunung, dan sungai disebutkan di dalamnya. Sebagian besar dari nama-nama tempat tersebut masih digunakan atau dikenali sampai sekarang. Diceritakan bahwa dia akan meninggalkan ibunya untuk pergi ke arah timur. Dia sangat teliti dalam menceritakan keberangkatannya. Dari kebiasaannya kita tahu bahwa dia mengenakan ikat kepala ("saceundung kaen").
 
Kemudian dia memulai perjalananPerjalanan pertamanya yang dia lukiskandilukiskannya secara terperinci. Waktu Bujangga Manik mendaki daerah [[Puncak]], diaBujangga Manik menghabiskan waktu, seperti seorang pelancong zaman modern,: dia duduk, mengipasi badannya dan menikmati pemandangan, khususnya [[Gunung Gede]] yang dia sebut sebagai titik tertinggi dari kawasan [[Pakuan]] (ibukota [[Kerajaan Sunda]]).
 
Dari Puncak dia melanjutkan perjalanan sampai menyeberangi Ci Pamali (sekarang lebih sering disebut [[Kali Brebes]]) untuk masuk ke daerah Jawa. Di daerah Jawa dia mengembara ke berbagai desa yang termasuk kerajaan Majapahit dan juga kerajaan Demak. Sesampai di Pamalang, Bujangga Manik merindukan ibunya dan memutuskan untuk pulang. Namun pada kesempatan ini, dia lebih suka untuk lewat laut dan menaiki kapal yang datang dari Malaka. Kesultanan Malaka mulai pertengahan abad ke-15 sampai ditaklukkan oleh Portugis menguasai perdagangan pada perairan ini.
 
Keberangkatan kapal dari pelabuhan dilukiskan seperti upacara pesta bedil ditembakkan, alat musik dimainkan, beberapa lagu dinyanyikan dengan keras oleh awak kapal; gambaran terperinci mengenai bahan yang digunakan untuk membuat kapal diceritakan: berbagai jenis bambu dan rotan, tiang dari kayu laka, juru mudi yang berasal dari [[India]] juga disebutkan; Bujangga Manik benar-benar terpesona karena awak kapal berasal dari berbagai tempat atau bangsa.
Baris 45 ⟶ 46:
Bujangga Manik mengambil tasnya yang berisi buku besar (''apus ageung'') dan ''siksaguru'', juga tongkat rotan serta pecut. Dia kemudian mengatakan bahwa dia akan pergi lagi ke timur, ke ujung timur pulau Jawa untuk mencari tempat nanti dia dikuburkan, untuk mencari "laut untuk hanyut, suatu tempat untuk kematiannya, suatu tempat untuk merebahkan tubuhnya". Dengan kata-kata yang dramatis ini dia meninggalkan istana dan memulai pengembaraan panjangnya.
 
Dia meneruskan perjalanannya ke timur, menuliskan banyak sekali nama tempat yang sebagian masih digunakan sampai sekarang.<ref>Noorduyn J. 1982. [http://www.kitlv-journals.nl/index.php/btlv/article/viewFile/2027/2788 BTLBKI 138:413-442.]</ref>
 
== Rujukan ==