Ekonomi Indonesia: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
YurikBot (bicara | kontrib)
Ryan.sanjaya (bicara | kontrib)
koreksi latar belakang
Baris 1:
{{Economy of Indonesia table}}
 
[[Indonesia]] memiliki ekonomi berbasis-pasar di mana pemerintah memainkan peranan penting. Pemerintah memiliki lebih dari 164 [[BUMN]] dan menetapkan harga beberapa barang pokok, termasuk [[bahan bakar]], [[beras]], dan [[listrik]]. Setelah [[krisis finansial Asia]] yang dimulai pada pertengahan 1997, pemerintah menjaga banyak porsi dari [[assetaset]] sektor swasta melalui pengambilalihan [[pinjaman bank tak berjalan]] dan asset perusahaan melalui proses penstrukturan hutang.
 
== Latar belakang ==
Selama lebih dari 30 tahun pemerintahan [[Orde Baru]] presidenPresiden [[Soeharto]], ekonomi Indonesia tumbuh dari GDP per kapita [[dolar AS|$AS]]70 menjadi lebih dari $1.000 pada [[1996]]. Melalui kebijakan moneter dan keuangan yang iritketat, inflasi ditahan sekitar 5%–10%, [[rupiah]] stabil dan dapat diterka, dan pemerintah menghindarimenerapkan pembiayaansistem domestikanggaran defisit danaberimbang. Banyak dari danaanggaran pengembanganpembangunan dibiayai olehmelalui [[bantuan asing]] "concessional".
 
Pada pertengahan [[1980-an]] pemerintah mulai menghilangkan hambatan kepada aktivitas ekonomi. Langkah ini ditujukan utamanya pada sektor eksternal dan finansial dan dirancang untuk meningkatkan lapangan kerja dan pertumbuhan di bidang ekspor non-minyak. GDP nyata tahunan tumbuh rata-rata mendekati 7% dari [[1987]]–[[1997]], dan banyak analisis mengakui Indonesia sebagai ekonomi industri dan pasar utama yang berkembang.
Baris 10:
Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dari 1987–1997 menutupi beberapa kelemahan struktural dalam ekonomi Indonesia. Sistem legal sangat lemah, dan tidak ada cara efektif untuk menjalankan kontrak, mengumpulkan hutang, atau menuntut atas [[kebangkrutan]]. Aktivitas bank sangat sederhana, dengan peminjaman berdasarkan-"collateral" menyebabkan perluasan dan pelanggaran peraturan, termasuk batas peminjaman. Hambatan non-tarif, penyewaan oleh perusahaan milik negara, subsidi domestik, hambatan ke perdagangan domestik, dan [[hambatan ekspor]] seluruhnya menciptakan gangguan ekonomi.
 
Krisis finansial [[Asia Tenggara]] yang melanda Indonesia pada akhir [[1997]] dengan cepat berubah menjadi sebuah krisis ekonomi dan politik. Respon pertama Indonesia terhadap masalah ini adalah menaikkan rupiah, menaikkan tingkat suku bunga domestik untuk mengendalikan naiknya [[inflasi]] dan melemahnya nilai tukar rupiah, dan memperketat kebijakan fiskalnya. Pada Oktober 1997, Indonesia dan [[International Monetary Fund]] (IMF) mencapai kesepakatan tentang program reformasi ekonomi yang diarahkan pada penstabilan ekonomi makro dan penghapusan beberapa kebijakan ekonomi negara yang dinilai merusak, antara lain Program Permobilan Nasional dan monopoli, yang melibatkan anggota keluarga Presiden Soeharto. Rupiah masih belum stabil dalam jangka waktu yang cukup lama, hingga pada akhirnya Presiden Suharto terpaksa mengundurkan diri pada Mei 1998. Di bulan AugustAgustus 1998, Indonesia dan IMF menyetujui program pinjaman dana di bawah Presiden [[Habibie|B.J Habibie]]. Presiden [[Abdurrahman Wahid|Gus Dur]] yang terpilih sebagai presiden pada Oktober [[1999]] kemudian memperpanjang program tersebut.
 
<!--