Arthur Schopenhauer: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
PT66Togu (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
PT66Togu (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 62:
=== Punishment ===
 
Schopenhauer menjelaskan seseorang yang hendak mengambil keputusan.<ref name="Simon"></ref> Menurut dia, ketika kita mengambil keputusan, kita akan diperhadapkan dengan berbagai macam akibat.<ref name="Simon"></ref> Oleh sebab itu, keputusan yang diambil memiliki alasan atau dasar.<ref name="Simon"></ref> Keputusan-keputusan ini menjadi tidak bebas lagi bagi si pemilihnya.<ref name="Simon"></ref> Pemilih itu harus diperhadapkan kepada beberapa akibat dalam sebuah keputusan.<ref name="Simon"></ref> Segala tindakan yang dilakukan seseorang merupakan kebuthan dan tanggung jawabnya.<ref name="Simon"></ref> Segala kebutuhan dan tanggung jawab itu pun sudah dibawa sejak lahir dan bersifat kekal.<ref name="Simon"></ref> Schopenhauer juga menegaskan jika tidak ada keinginan bebas, haruskah kejahatan dihukum?<ref name="Simon"></ref>
 
=== Catatan ===
 
Filsafat Schopenhauer ini termasuk ke dalam Idealisme Jerman.<ref name="Simon"></ref> Pendapat ini dibuktikan melalui perbandingan antara filosofis Schopenhauer dengan pandangan Idealisme Jerman.<ref name="Simon"></ref> Keduanya mengajarkan bahwa realitas bersifat subjektif, artinya keseluruhan kenyataan merupakan konstruksi kesadaran Subjek.<ref name="Simon"></ref> Dunia ini juga dipandang sebagai ide.<ref name="Simon"></ref> Pandangan Schopenhauer ini pun dijadikan wakil dari Idealisme Jerman.<ref name="Simon"></ref> Sekalipun memang ada hal-hal yang bersifat lebih khusus dan fundamental yang membedakan pemikiran Schopenhauer dengan Idealisme Jerman.<ref name="Simon"></ref> Bagi Schopenhauer, dasar dunia ini transcendental dan bersifat irasional, yaitu kehendak yang buta.<ref name="Simon"></ref> Kehendak ini buta, sebab, sebab desakannya untuk terus-menerus dipuaskan tidak bisa dikendalikan dan tidak akan pernah terpenuhi.<ref name="Simon"></ref> Namun, justru keinginan yang tak sampai berarti penderitaan.<ref name="Simon"></ref> Selanjutnya, menurut dia bahwa kehendak transcendental itu mewujudkan diri dalam miliaran eksistensi kehidupan, maka hidup itu sendiri merupakan penderitaan.<ref name="Simon"></ref> Jalan keluar yang diusulkan Schopenhauer ini pun cukup logis.<ref name="Simon"></ref> Kalau hidup ini adalah penderitaaan, maka pembebasan dari penderitaan tersebut tentunya akan tercapai melalui penolakan kehendak untuk hidup.<ref name="Simon"></ref> Konkretnya adalah lewat kematian raga dan bela rasa.<ref name="Simon"></ref>
 
Cara pemikira Chopenhauer ini menarik.<ref name="Simon"></ref> Namun, tetap saja memiliki kesalahan.<ref name="Simon"></ref> Masalah dalam filsafatnya berkaitan dengan pandangannya atas pengetahuan tentang prinsip individuasi.<ref name="Simon"></ref> Menurut Schopenhauer, berkat pengetahuan inilah manusia sadar bahwa dirinya adalah sama dengan semua makhluk hidup lain (dasar dari sikap bela rasa) sehingga dia tidak perlu memutlakkan diri dan keinginannya (dasar sikap mati raga atau penyangkalan diri).<ref name="Simon"></ref> tanpa pengetahuan ini, manusia tidak akan mengalami pencerahan dan tetap berada dalam kegelapan.<ref name="Simon"></ref>
 
Anggapan Schopenhauer ini menekanka dua hal, yaitu bahwa kesadaran manusia terbukti lebih kuat dibandingkan nafsu dan keinginannya, dan bahwa karena itu ia juga mampu memperhatikan keadaan kepentingan orang lain, di dalam hal ini berarti bahwa manusia bukanlah makhluk egois sebagai mana yang dipikirkan oleh Schopenhauer.<ref name="Simon"></ref> Namun, jika kesadaraan bisa menguatkan manusia menyangkal diri dan berbela rasa, bukankah demikian kehendak untuk hidup itusendiri bukan merupakan dasar dari segalanya?<ref name="Simon"></ref>
 
== Pengaruh ==
 
Kendatipun demikian, pengaruh Scopenhauer dalam perkembangan pemikiran selanjutnya cukup besar.<ref name="Simon"></ref> Ia membuka jalan bagi orang suatu psikologi tentang alam bawah sadar ala Freud.<ref name="Simon"></ref> Pemikiran Schopenhauer tentang kehendak untuk hidup di kemudian hari mempengaruhi filsafat Nietzsche tentang kehendak untuk berkuasa (Der Wille zur Macht).<ref name="Simon"></ref> Setengah abad kemudian, ajaran Schopenhauer ini memberikan inspirasi pada filsafat hidup (Vitalisme), misalnya pada pemikiran Henry Bergson (1859-1941).<ref name="Simon"></ref> Selain itu, ia menghidupkan perhatian dan minat orang Barat pada studi kesustraan dan agama-agama Timur, terkhusus Buddhisme.<ref name="Simon"></ref>
 
== Pranala Luar ==