Pemerintah: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
FoxBot (bicara | kontrib)
k bot Menambah: ln:Guvɛnɛmá
Firmandanie (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 114:
[[zh-classical:政府]]
[[zh-min-nan:Chèng-hú]]
lalui pagi dengan segelas kopi panas. Kubiarkan tubuh ini terpapar hangatnya mentari. Kumulai hari ini dengan hati yang damai. Berkendara di atas motorku, dan kulalui jalanan yang lalu lalang penuh kendaraan dan udara yang berpolusi. Semua orang sibuk dengan dunianya.
 
Tak lama berkendara di atas motor keluaran ’98-ku, seketika jalan yang hendak kulalui sedikit macet. “ada apa ini?” batinku. Tak lama ternyata baru kuketahui ada sekelompok mahasiswa yang melakukan aksi demonstrasi. Entah benar-benar mahasiswa yaitu maha-siswa atau anak-anak muda yang tak punya kerjaan lain selain memprotes dan menghujat orang lain daripada memikirkan studi dan hidup mereka. Jumlah mereka tak banyak mungkin hanya sekitar 20 orang saja. Mereka berteriak-teriak dan saling bergandengan membuat lingkaran pertahanan agar mereka tak bisa dibubarkan. Salah satu dari mereka maju di depan dan melakukan orasi dengan menggunakan megaphone. Di depan benteng pertahanan para polisi anti huru hara, dia seolah menjadi seorang pahlawan yang siap mati demi “idealisme” dan demi “kemakmuran rakyat”. Orator muda itu mondar-mandir di depan para polisi dengan gagahnya dengan melontarkan kata-kata provokatif yang apabila didengarkan maka mungkin sejenak akan membuat kita mengangguk setuju. Dia terus saja menghujat dan memprotes kebobrokan dan kebusukan pemerintahan yang ada sekarang.
 
Memang pada hari ini pemimpin tertinggi di negara yang berbendera merah putih ini datang ke kotaku. Entah hendak melakukan apa dia datang ke kota dingin ini. Sepertinya melakukan rutinitas sebagai seorang pemimpin, meresmikan ini, meninjau itu, inspeksi ini, kunjungan itu. Kulalui saja para mahasiswa yang berdemonstran yang membuat macet jalanan yang sudah sempit ini. Salah satu dari mahasiswa yang berdemonstrasi itu memberikanku selembar kertas buram kecil yang sepertinya berisikan tuntutan, hujatan, kecaman, atau entah apa itu. Tapi kusimpan saja di kantongku, karena tak mungkin kubaca sambil berkendara di atas motorku. Sebelum kulewati kumpulan demonstran itu sepintas kuamati para “mahasiswa” yang sedang berdemonstrasi itu. Kulihat penampilan mereka, ekspresi mereka, mimik wajah mereka, tatanan rambut mereka, baju mereka, bahkan sampai sepatu dan baju yang mereka sandang. Dan kulalui kemacetan beserta para demonstran itu.
 
Sesampainya di rumah kubaca selembar kertas kecil yang diberikan oleh para demonstran di kemacetan jalan sempit tadi. Dalam selembar kertas (yang mengatasnamakan beberapa aliansi mahasiswa yang tidak jelas karena hanya tertera berupa singkatan bukan nama aliansi lengkap) tertulis kalimat-kalimat provokatif subyektif yang menghujat kebijakan-kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintahan saat ini. Dengan judul “ALIANSI MAHASISWA ANTI BHP. FMN, SMI, FORBAS, SDM, KOMMA. RAKYAT BERSATU LAWAN KEBIJAKAN REZIM SBY YANG ANTI RAKYAT”, para demonstran ini jelas mengecam dan menghujat pemerintahan yang ada saat ini. Dalam artikel provokatif yang terdiri dari 5 paragraf itu terdapat anggapan-anggapan dan pendapat-pendapat tentang kebijakan baru yang dibuat yang mengatur tentang dunia pendidikan perguruan tinggi atau universitas. Dan juga tak ketinggalan di dalam artikel tuntutan itu terdapat tuduhan-tuduhan.
 
Sepertinya sudah menjadi budaya bahwa mahasiswa yang idealis dan mahasiswa tauladan adalah mereka yang melakukan aksi demonstrasi dan menghujat pemerintahan yang ada. Mahasiswa yang menjadi pihak oposisi bagi rezim yang ada. Mahasiswa yang selalu “menuntut perubahan”. Memang mahasiswa di Indonesia adalah tonggak perubahan bagi nasib negara untuk menjadi lebih baik. Berdasarkan pada sejarah yang telah dilalui oleh Indonesia, mahasiswa dan pemuda memang sebagai tonggak-tonggak dan tiang dari perubahan. Perubahan yang lebih baik tentunya. Dari zaman Budi Utomo sampai Soe Hok Gie sampai pada sejarah reformasi pada tahun 1998 para pemuda dan mahasiswa menjadi orang-orang yang diakui keberadaannya. Mereka sering dianggap sebagai pahlawan dan parlemen jalanan.
 
Namun dari apa yang saya alami pagi tadi agaknya membuat saya mengernyitkan dahi. Pertanyaan terbesit dalam hati saya. Apakah ini mahasiswa-mahasiswa yang “idealis”? Mahasiswa-mahasiswa yang berpihak pada kemakmuran rakyat, yang bisa disebut sebagai “agent of change”.
 
Mengapa timbul pertanyaan-pertanyaan ini?
 
Dari penampilan para mahasiswa yang melakukan demonstrasi itu, saya meragukan tentang intelektualitas mereka. Dari ekspresi dan mimik wajah mereka, saya meragukan bahwa mereka adalah orang yang “pro rakyat.” Dari dandanan dan asesoris yang mereka kenakan, saya meragukan tentang idealisme yang mereka punya. Dari cara mereka melakukan aksi demonstrasinya yang membuat kemacetan di jalan yang sudah sempit, saya meragukan tentang perjuangan mereka pada kepentingan publik. Tak satupun dari mereka mengenakan jas almamater. Tak sedikit dari mereka yang berdandan ala “punk”. Kebanyakan dari mereka mengenakan celana jeans yang kumal. Namun apabila saya menilai mereka dari penampilan saja tentu saya akan melakukan kesalahan klasik. Sebuah buku tak bisa dinilai dari sampulnya saja itu benar adanya. Penampilan mereka yang seperti itu tak menjadikan persoalan apabila yang mereka katakan adalah suatu kebenaran. Karena kebenaran adalah kebenaran apabila keluar dari seorang budak sekalipun. Bukan begitu?
 
Namun setelah membaca artikel diatasnamakan aliansi yang menaungi para demonstran mahasiswa itu, keraguan saya semakin kuat. Dalam artikel yang ditulis di atas kertas buram kecil itu terdapat pesan-pesan provokatif, pesan-pesan yang menuntut perubahan tanpa memberikan alternatif solusi, terdapat tuduhan-tuduhan tak berdasar, tercecer asumsi-asumsi pribadi yang saya meragukan obyektivitasnya, terdapat kalimat-kalimat apatis dan pesan-pesan hujatan dan celaan. Setelah membaca artikel itu maka kesimpulan saya tentang ke-tong kosong-an para demonstran mahasiswa tadi cukup kuat. Menurut pribadi saya, mahasiswa tak seharusnya menyebar pesan kebencian dan hujatan tanpa bukti. Tak seharusnya mahasiswa menjadi provokator yang hanya membuat panas suasana. Tak semestinya para mahasiswa menuntut perubahan tanpa memberikan alternatif solusi. Seharusnya mahasiswa itu sendirilah yang menawarkan solusi dan menjadi solusi, bukan sebagai kelompok yang hanya bisa menuntut dan ketika ditanyai tentang solusi mereka acuh tak acuh seakan-akan itu bukan urusan mereka. Tak semestinya para mahasiswa memberikan tuduhan-tuduhan dan asumsi-asumsi pribadi yang diragukan obyektivitasnya karena tuduhan dan asumsi yang mereka lontarkan tak mempunyai dasar yang kuat. Belum lagi para demonstran yang melakukan aksinya diwarnai dengan aksi anarkis. Merusak fasilitas umum, membuat kericuhan, melakukan aksi kekerasan, yang semuanya merugikan banyak pihak.
 
Agaknya para mahasiswa yang gemar melakukan aksi demonstrasi sekarang ini termakan oleh jargon-jargon yang ada bahwa mahasiswa adalah “agent of change”, mahasiswa adalah kelompok intelektual muda yang “pro rakyat”, mahasiswa adalah parlemen jalanan dan partai jalanan yang berlaku sebagai pihak oposisi pemerintah. Dan karena menelan mentah-mentah jargon-jargon itu tak sedikit para mahasiswa salah kaprah dan salah jalan dalam melakukan aksinya seperti apa yang sering terjadi akhir-akhir ini. Tak sedikit mahasiswa memiliki paradigma yang salah, “Mahasiswa yang idealis adalah mahasiswa yang selalu melakukan aksi demonstrasi dan memprotes dan menghujat kepemerintahan”. Tentu paradigma ini tak terucap apalagi tertulis. Namun paradigma ini sudah tertancap dan tertanam hingga “sang mahasiswa yang terhormat” tak sadar bila sudah menganut paradigma ini. Dan bila para mahasiswa yang gemar melakukan demonstrasi membaca tentang pendapat saya ini tentu mereka akan langsung menyangkal.
 
Sudah saatnya para mahasiswa sekarang menjadi pembela kepentingan rakyat seekaligus menjadi partner pemerintah. Kalangan yang obyektif dalam menghadapi permasalahan, bukannya mengutamakan pendapat dan asumsi pibadi. Kalangan yang tidak terrmakan oleh provoaksi. Kalangan yang tidak hanya menghujat dan mengecam, namun kalangan yang menawarkan solusi. Kalangan yang berpikiran dingin, bukannya kalangan yang menyelesaikan segala sesuatu dengan menegangkan urat-urat mereka. Bukannya kalangan yang hanya menuntut, tapi kalangan yang menawarkan diri untuk mengatasi permasalahan. Menjadi kalangan yang lebih mengutamakan musyawarah dan mufakat, bukannya otoriterisme ala mahasiswa. Kalangan yang menomorsatukan diskusi, bukannya berkoar-koar di pinggir jalan tanpa ada hasil.
 
Sudah saatnya Indonesia berubah, sudah saatnya para pemuda berubah, dan sudah saatnya paradigma mahasiswa berubah. Demi kejayaan Indonesia, kita semua, para pemuda, harus berubah.
 
Semangat untuk kita semua Untuk melakukan revolusi dan perubahan pada bangsa Indonesia yang kita cintai ini, jika perlu kita melakukan revolusi seperti Negara Negara di timur tengah, dan jika pelu mari kita berjihat