Pagustian: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Alamnirvana (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Alamnirvana (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 1:
{{tanpa_referensi|date=10 April 2010}}
{{rapikan|date=April 2011}}'''Pagustian''' atau '''Dewan Pertahanan Pagustian''' adalah dewan pertahanan/pemerintahan [darurat/pelarian] yang terdiri dari gusti-gusti (bangsawan Banjar) dan para panglima perang sebagai penerus [[Kesultanan Banjar]] yang secara fisik berwujud sebuah benteng pertahanan yang dibangun [[Tumenggung Surapati]] pada tahun [[1865]], yaitu 3 tahun setelah Pangeran [[Antasari]] meninggal karena sakit. Pagustian ini terletak di Gunung Bondang, diudik sungai Laung, daerah [[Puruk Cahu]]. Pertahanan yang kedua terletak di Manawing, yaitu kampung [[Bumban Tuhup, Barito Tuhup Raya, Murung Raya|Bomban]], Kalang Barat diudik Baras Kuning, [[Barito]]. Berbagai suku [[Dayak]] dapat disatukan oleh Sultan [[Muhammad Seman]] seperti suku [[Dayak Dusun]], [[Ngaju]], [[Kayan]], [[Siang]], [[Bakumpai]] dan [[suku Banjar]] Hulu, baik yang beragama [[Islam]] maupun yang masih menganut kepercayaan [[Kaharingan]]. [[Panglima]] dan para [[Tumenggung]] yang membantu perjuangan Sultan Muhammad Seman untuk melawan Belanda adalah Panglima Umbung dari [[Mengkatip, Dusun Hilir, Barito Selatan|Mengkatip]], Mat Narung dari [[Putussibau, Kapuas Hulu|Putussibau]], Batu Putih dari [[Kapuas]], Tumenggung Lawas, Tumenggung Nado, Tumenggung Tawilen, Panglima Amit, Panglima Bahe dan lainnya.
 
Gelar Panglima khusus untuk daerah suku-suku Dayak pada masa itu menunjukkan pangkat dengan tugas sebagai kepala yang mengatur keamanan dan mempunyai pasukan sebagai anak buahnya. Seorang panglima adalah orang yang paling pemberani, cerdik, berpengaruh dan biasanya kebal. Gelar Tumenggung adalah gelar untuk jabatan sebagai kepala suku, sedangkan gelar Panghulu adalah gelar untuk jabatan sebagai Kepala Adat/kepala agama.
 
[[Panglima Batur]] yang bersama Sultan Muhammad Seman mempertahankan benteng terakhir di Sungai Manawing dalam perjuangan mereka melawan Belanda. Pada saat Panglima Batur mendapat perintah untuk pergi ke daerah [[Kesultanan Pasir]] untuk memperoleh [[mesiu]], saat itulah benteng Manawing mendapat serangan Belanda. Pasukan Belanda dibawah pimpinan [[Letnan Christofel]] yang berpengalaman dalam [[perang Aceh]], dengan sejumlah besar pasukan [[marsose]] yang terkenal ganas dan bengis, menyerbu benteng Manawing pada [[Januari]] [[1905]]. Marsose merupakan korps bukan militer yang didirikan Pemerintah Hindia Belanda pada tahun [[1890]] untuk menangani tugas kepolisian dan jika perlu membantu dalam tugas kemiliteran. Dalam pertempuran yang tidak seimbang ini [[Sultan Muhammad Seman]] tidak dapat bertahan. Sultan tertembak dan dia gugur sebagai kesuma bangsa pada [[24 Januari]] [[1905]]. Ia adalah sultan terakhir dari KerajaanKesultanan Banjar dalam pemerintahan pelarian di daerah [[Barito]]. Sultan Muhammad Seman benar-benar konsekuen terhadap sumpah melaksanakan amanah ayahndanya [[Pangeran Antasari]] yang tidak kenal kompromi dengan Belanda, ''Haram manyarah waja sampai kaputing''. Sultan Muhammad di Seman di makamkan di puncak gunung di [[Puruk Cahu]]. Tinggal Panglima Baturlah satu-satunya pimpinan perjuangan yang masih bertahan.
 
== Rujukan ==