Hukum Gereja: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
kTidak ada ringkasan suntingan
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 2:
[[Berkas:Extract from Burchard of Worms' Decretum.jpg|thumb|300px|Gambar salah satu halaman ''Burchard of Worms' Decretum'', buku ke-11 Undang-Undang Gereja.]]
 
'''Hukum Gereja''' adalah sebuah studi [[teologi]] yang secara sistematis mengkaji [[prinsip]]-prinsip [[ekklesiologis]] dari [[aturan-aturan gereja|aturan-aturan]] dalam [[gereja]].
 
Kata [[hukum gereja]] secara langsung akan mengarahkan perhatian kitamengarah kepada peraturan-peraturan dalam gereja. [[J.L. Abineno]], mengartikan hukum gereja sebagai [[peraturan]] gereja yang digunakan untuk menata dan mengatur kehidupan pelayanan dalam gereja.<ref name="Abineno">J.L. Abineno, Garis-Garis Besar Hukum Gereja, (Jakarta: Bpk. Gunung Mulia, 2006). hlmn 1.</ref> Demikian juga dengan definisi yang diberikan oleh [[M. H. Bolkestein|Dr. M. H. Bolkestein]], memahamiyang menyatakan bahwa hukum gereja sebagaimerupakan aturan tentang perbuatan dan kehidupan gereja untuk menyatakan gereja sebagai [[Tubuh Yesus]]. Namun jika ditelaah lebih dalamsesungguhnya, hukum gereja tidak hanya sekedarsekadar berbicara tentangmengenai peraturan. Cakupan hukum gereja lebih luas dari sekedar aturan, sebab berbicara mengenai pertanggungjawaban teologis dari aturan gereja.
 
Keberadaan aturan dalam gereja adalah sebuah kenyataan yang tidak dapat dihindari. Setiap gereja,gereja— baik yang baru dirintis maupun yang telah mapan dalam proses pelembagaan, tentunyapelembagaan—tentunya memiliki aturan untuk menata dirinya. Aturan gereja berhubungan dengan seluruh fase kehidupan setiap anggotanya. anggotaAnggota gereja sejak [[kelahiran]], [[baptisan]], [[pernikahan]] hingga kematian tentunya terikat dengan aturan gereja. Aturan gereja menjadi hal yang tidak terhindarkan dalam gereja.
 
Sebagai hal yang tidak terhindarkan dalam gereja, penyusunan aturan gereja dilandaskan pada hakekat gereja. Proses pelembagaan gereja adalah bagian dari usaha gereja untuk terus mengkontekstualisasikan cerita keselamatan Allah Tritunggal dan mewujudnyatakan karya keselamatan Allah Tritunggal bagi dunia. Usaha ini dilaksanakan oleh gereja hingga sampai pada eskaton. Hakekat gereja ini sekaligus menegaskan bahwa sebagai lembaga gereja tidak dapat disamakan dengan lembaga lainnya., Oleh karena itusehingga penyusunan aturan dalam gereja disusun dengan dilandasi pada eklesiologi sebagai rumusan [[teologis]]-[[sistematis]] mengenai pemahaman gereja tentang dirinya.
 
Pendasaran eklesiologi menjadikan peraturan-peraturan dalam gereja tidak hanya memiliki makna teologis yang baik, tetapi sekaligus mampu menjawab kebutuhan dan pergumulan hidup jemaat. Eklesiologi selalu berada dalam ruang dan waktu tertentu sebab eklesiologi lahir dalam konteks pergumulan gereja tertentu. Konteks gereja yang berbeda, menghasilkan pemaknaan diri yang juga berbeda. Pemaknaan diri dapat terbentuk dengan baik bila gereja mengenal konteks pelayanannya dengan baik. Jika aturan gereja disusun dengan didasarkan pada eklesiologi, dengan sendirinya aturan gereja hadir dari kebutuhan konteks pelayanannya.
 
Pendasaran hukum gereja pada eklesiologi berbeda dari pendekatan penataan/[[pemerintahan]] (''stelsel''). Pendekatan penataan memberikan penekanan pada penyusunan aturan gereja yang diteruskan karena tradisi. Sistem penataan yang terpaku pada sistem [[episkopal]], [[congregationalkongregasional]], dan [[presbiterial sinodal]], dapat menjebak gereja untuk mempertahankan tradisi tanpa peka terhadap tuntutan perubahan konteks pelayanannya. Tradisi hanyalah salah satu sumber pemaknaan diri gereja (eklesiologi).
 
== Fungsi Hukum Gereja ==
 
1. Memampukan gereja untuk melayani sesuai dengan hakekat dirinya.