Politik Etis: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Cinat gong (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
k ←Suntingan Cinat gong (bicara) dikembalikan ke versi terakhir oleh 111.94.11.82
Baris 5:
 
Pada [[17 September]] [[1901]], Ratu [[Wilhelmina]] yang baru naik tahta menegaskan dalam pidato pembukaan Parlemen Belanda, bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi (''een eerschuld'') terhadap bangsa pribumi di Hindia Belanda. Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral tadi ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum dalam program ''Trias Politika'' yang meliputi:
# Irigasi (pengairan), membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian
* Irigasi (pengairan)
# Emigrasi yakni mengajak penduduk untuk bertransmigrasi
Pengairan dan bendungan-bendungan hanya ditujukan kepada tanah-tanah yang subur untuk perkebunan swasta Belanda. Sedangkan milik rakyat tidak dialiri air dari irigasi.
# Edukasi yakni memperluas dalam bidang pengajaran dan pendidikan
* Migrasi (perpindahan penduduk)
Migrasi ke daerah luar Jawa hanya ditujukan ke daerah-daerah yang dikembangkan perkebunan-perkebunan milik Belanda. Hal ini karena adanya permintaan yang besar akan tenaga kerja di daerah-daerah perkebunan seperti perkebunan di [[Sumatera Utara]], khususnya di [[Deli]], [[Suriname]], dan lain- lain. Mereka dijadikan kuli kontrak. Migrasi ke [[Lampung]] mempunyai tujuan menetap. Karena migrasi ditujukan untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja, maka tidak jarang banyak yang melarikan diri. Untuk mencegah agar pekerja tidak melarikan diri, pemerintah Belanda mengeluarkan ''Poenale Sanctie'', yaitu peraturan yang menetapkan bahwa pekerja yang melarikan diri dari perkebunan akan dicari dan ditangkap [[polisi]], kemudian dikembalikan kepada mandor/pengawasnya.
* Edukasi
Pemerintah Belanda membangun sekolah-sekolah. Pendidikan ditujukan untuk mendapatkan tenaga administrasi yang cakap dan murah. Pendidikan yang dibuka untuk seluruh rakyat, hanya diperuntukkan kepada anak-anak pegawai negeri dan orang-orang yang mampu. Terjadi diskriminasi pendidikan yaitu pengajaran di sekolah kelas I untuk anak-anak pegawai negeri dan orang-orang yang berharta, dan di sekolah kelas II kepada anak- anak pribumi dan pada umumnya.
 
Dari ketiga isi politik etis, ternyata hasilnya gagal karena pendidikan salah sasaran, kesejahteraan rakyat pribumi tetap rendah, pegawai pribumi hanya alat Belanda.
 
Banyak pihak menghubungkan kebijakan baru politik Belanda ini dengan pemikiran dan tulisan-tulsian Van Deventer yang diterbitkan beberapa waktu sebelumnya, sehingga Van Deventer kemudian dikenal sebagai pencetus politik etis ini.