Kesultanan Paser: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Alamnirvana (bicara | kontrib)
Alamnirvana (bicara | kontrib)
Baris 21:
* [[1636]], Pasir kembali ditaklukan atas bantuan [[VOC]] sesuai Perjanjian [[4 September]] [[1635]], antara Sultan Banjar dengan VOC. <ref name="Bandjermasin"> {{id}} Bandjermasin (Sultanate), Surat-surat perdjandjian antara Kesultanan Bandjarmasin dengan pemerintahan2 V.O.C.: Bataafse Republik, Inggeris dan Hindia- Belanda 1635-1860, Penerbit Arsip Nasional Republik Indonesia, Kompartimen Perhubungan dengan Rakjat 1965</ref>
* Penguasa/orang besar/adipati Pasir, '''Aji Tunggul''' (Aria Manau/Kakah Ukop) menjadi bawahan [[Sultan Banjar]], [[Mustainbillah]] yang berkuasa tahun [[1595]]-[[1642]]. Ketika itu keraton Kesultanan Banjar telah dipindahkan dari Banjarmasin ke daerah Batang Banyu karena sebelumnya pada tahun [[1612]] diserang VOC, tatkala itu Marhum Panembahan (= Sultan Mustainbillah) menyuruh '''Kiai Lurah Cucuk''' membawa sebuah perahu beserta awak perahu empat puluh orang untuk menjemput Aji Tunggul dengan anak-isteri serta keluarganya. Ketika tiba di [[keraton Banjar]] waktu itu berada di daerah Batang Banyu, '''Aji Ratna''' puteri Aji Tunggul dinikahkan dengan '''Dipati Ngganding''' (adipati [[Kotawaringin]]) kemudian memperoleh dua anak, '''Andin Juluk''' dan '''Andin Hayu'''.<ref> Sudah itu maka Marhum Panembahan menyuruh Kiai Lurah Tjutjuk orang empat puluh sebuah perahu ke Pasir, ia itu mengambil Haji Tunggul serta anak isterinya - Artinya Haji (Aji) itu orang besarnya, bukannya haji artinya orang datang dari Mekkah - Sudah itu datang Haji Tunggul itu dengan anak isterinya serta keluarganya. Sudah itu anaknya yang perempuan bernama Haji Ratna itu dijadikan oleh Marhum Panembahan lawan Dipati Ngganding. Hatta sudah itu beranak perempuan dinamai Andin Djuluk. Sudah itu beranak pula itu perempuan namanya Andin Hayu. Banyak tiada tersebut (Cuplikan HIKAYAT BANJAR).</ref> Kemudian Andin Juluk menikahi [[Pangeran Dipati Anta-Kasuma]] putera Sultan Mustainbillah dengan permaisuri Ratu Agung yaitu yang kelak menjabat adipati/[[raja Kotawaringin]] menggantikan Dipati Ngganding. Pasangan Anta-Kasuma dan Andin Juluk ini memperoleh empat anak : Putri Gelang, Raden Tuan, Raden Pamadi dan Raden Nating. Sedangkan Andin Hayu menikahi [[Pangeran Dipati Tapasena]] putera Sultan Mustainbillah dari selir orang Jawa, kemudian memperoleh anak Pangeran Aria Wiraraja dan Putri Samut.<ref name="hikayat banjar"/>
* Perkawinan seorang puteri dari Aria Manau/Kakah Ukop/Aji Tunggul, bernama Sri Sukma Dewi yang bergelar [http://kesultanan_pasir.tripod.com/sadurangas/id14.html Putri Betung] <ref>'''Putri di Dalam Petung''' merupakan gelar anumerta yang berkaitan dengan mitos putra/putri yang keluar dari buluh betung sebagai cikal bakal dinasti raja-raja yang banyak terdapat dalam mitos Melayu.</ref>dengan Abu Mansyur Indra Jaya (pimpinan ekspedisi agama [[Islam]] dari [[Giri Kedaton|Giri]]) yang dikaruniai empat orang anak, yaitu :
*# AjiAdjie Mas Pati IndraPatih (Raden Aria Mandalika), memiliki anak bernama Adjie Anum (Raden Kakatang)
*# Putri Adjie Meter, memiliki anak bernama Imam Mustafa dan Putri Ratna Berana
*# Aji Putri Mitir
* Beberapa tahun berlalu setelah pernikahan Aji Ratna binbinti Aji Tunggul dengan Dipati Ngganding di negeri Banjar, seorang cucu Aji Tunggul<ref>Kemudian lagi tersebut ada seorang anak orang besar Pasir bernama Raden Aria Mandalika. Asal bapanya itu priyayi dari Giri beristerikan anak Haji Tunggul, orang Pasir. Maka Raden Aria Mandalika datang ke Martapura diperisterikan lawan Gusti Limbuk itu, saudara Raden Kasuma Raga itu. Maka pangandika Marhum Panembahan pada Haji Tunggul itu: "Dahulunya anak Haji Tunggul itu menjadi pawaranganku jadi mintuha oleh Dipati Anta-Kasuma itu, maka sekarang ini Aria Mandalika ini sudah beristeri lawan cucuku Si Dayang Limbuk. Adapun akan upati di Pasir itu akan berikan arah cucuku itu. Lamun ada suruhanku meminta atau maambili maka serahkan, lamun tiada itu jangan seperti zaman dahulu kalanya itu." Maka sembah Haji Tunggul itu:"Kaula junjung kaula suhun nugraha sampian itu atas batu kepala kaula." Itulah mulanya Pasir itu maka tiada tiap-tiap tahun menghantarkan upati ke Banjar, ke Martapura itu (Cuplikan HIKAYAT BANJAR).</ref> yaitu Raden Aria Mandalika (=Adjie Aji Mas Pati IndraPatih) putera dari [[priyayi]] dari [[Giri Kedaton|Giri]] yang menikah dengan puteri dari Aji Tunggul (Raden Aria Manau/Kakah Ukop) datang berkunjung ke Kesultanan Banjar ketika itu keraton telah dipindah ke Martapura, kemudian Raden Aria Mandalika oleh Sultan Mustainbillah dinikahkan dengan cucunya bernama Putri Limbuk/Dayang Limbuk binti Pangeran Dipati Antasari. Dengan adanya perkawinan ini maka Aji Tunggul tidak lagi diharuskan mengantarkan [[upeti]] tiap-tiap tahun seperti zaman dahulu kala, karena upeti tersebut sudah diberikan kepada Putri Limbuk/Dayang Limbuk, kecuali hanya jika ada suruhan dari Marhum Panembahan untuk memintanya atau mengambilnya. Dengan demikian, Pasir mendapat pembebasan pembayaran upeti, bahkan kemungkinan Raden Aria Mandalika (Adjie Patih) menjadi raja muda di Pasir sebagai perwakilan Kesultanan Banjar. Pasangan Aria Mandalika (Adjie Patih) dan Putri Limbuk ini memperoleh anak bernama Raden Kakatang (Adjie Anum). Setahun setelah kelahiran Raden Kakatang, Sultan Mustainbillah kemudian mangkat.<ref name="hikayat banjar"/> Dengan demikian maka penguasa Pasir kemungkinan masih termasuk trah Sultan Banjar IV Marhum Panembahan, Raja Kutai Kartanegara II [[Aji Batara Agung Paduka Nira]] dan bangsawan dari [[Giri Kedaton|Giri]].
*# Aji Mas Anom Indra
*# Aji Putri Ratna Beranak
* Beberapa tahun berlalu setelah pernikahan Aji Ratna bin Aji Tunggul dengan Dipati Ngganding di negeri Banjar, seorang cucu Aji Tunggul<ref>Kemudian lagi tersebut ada seorang anak orang besar Pasir bernama Raden Aria Mandalika. Asal bapanya itu priyayi dari Giri beristerikan anak Haji Tunggul, orang Pasir. Maka Raden Aria Mandalika datang ke Martapura diperisterikan lawan Gusti Limbuk itu, saudara Raden Kasuma Raga itu. Maka pangandika Marhum Panembahan pada Haji Tunggul itu: "Dahulunya anak Haji Tunggul itu menjadi pawaranganku jadi mintuha oleh Dipati Anta-Kasuma itu, maka sekarang ini Aria Mandalika ini sudah beristeri lawan cucuku Si Dayang Limbuk. Adapun akan upati di Pasir itu akan berikan arah cucuku itu. Lamun ada suruhanku meminta atau maambili maka serahkan, lamun tiada itu jangan seperti zaman dahulu kalanya itu." Maka sembah Haji Tunggul itu:"Kaula junjung kaula suhun nugraha sampian itu atas batu kepala kaula." Itulah mulanya Pasir itu maka tiada tiap-tiap tahun menghantarkan upati ke Banjar, ke Martapura itu (Cuplikan HIKAYAT BANJAR).</ref> yaitu Raden Aria Mandalika (= Aji Mas Pati Indra) putera dari [[priyayi]] dari [[Giri Kedaton|Giri]] yang menikah dengan puteri dari Aji Tunggul (Raden Aria Manau) datang berkunjung ke Kesultanan Banjar ketika itu keraton telah dipindah ke Martapura, kemudian Raden Aria Mandalika oleh Sultan Mustainbillah dinikahkan dengan cucunya bernama Putri Limbuk/Dayang Limbuk binti Pangeran Dipati Antasari. Dengan adanya perkawinan ini maka Aji Tunggul tidak lagi diharuskan mengantarkan [[upeti]] tiap-tiap tahun seperti zaman dahulu kala, karena upeti tersebut sudah diberikan kepada Putri Limbuk/Dayang Limbuk, kecuali hanya jika ada suruhan dari Marhum Panembahan untuk memintanya atau mengambilnya. Dengan demikian, Pasir mendapat pembebasan pembayaran upeti, bahkan kemungkinan Raden Aria Mandalika menjadi raja muda di Pasir sebagai perwakilan Kesultanan Banjar. Pasangan Aria Mandalika dan Putri Limbuk ini memperoleh anak bernama Raden Kakatang. Setahun setelah kelahiran Raden Kakatang, Sultan Mustainbillah kemudian mangkat.<ref name="hikayat banjar"/> Dengan demikian maka penguasa Pasir kemungkinan masih termasuk trah Sultan Banjar IV Marhum Panembahan, Raja Kutai Kartanegara II [[Aji Batara Agung Paduka Nira]] dan bangsawan dari [[Giri Kedaton|Giri]].
* Kemudian Sultan Mustain Billah menyuruh '''Kiai Martasura''' ke [[Makassar]] (= Gowa) untuk menjalin hubungan bilateral kedua negara pada masa I Mangadacinna Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang Sultan Mahmud, Raja Tallo yang menjabat mangkubumi bagi Sultan Malikussaid Raja Gowa 1638-1654, ia meminjam Pasir kepada Marhum Panembahan sebagai tempat berdagang. Sejak itu Pasir dan wilayah ring terluar tidak lagi mengirim upeti ke Banjar. <ref> Kemudian daripada itu tatkala Kiai Martasura ke Mangkasar, zaman Karaing Patigaloang itu, ia menyuruh pada Marhum Panembahan itu meminjam Pasir itu akan tempatnya berdagang serta bersumpah: "Barang siapa anak cucuku hendak aniaya lawan negeri Banjar mudah-mudahan dibinasakan Allah itu." Maka dipinjamkan oleh Marhum Panembahan. Itulah mulanya Pasir - serta diberi desa namanya [[Satui, Tanah Bumbu|Satui]] dan [[Asam Asam, Jorong, Tanah Laut|Hasam-Hasam]] dan [[Kintap, Tanah Laut|Kintap]], dan [[Swarangan, Jorong, Tanah Laut|Sawarangan]] itu, Banacala, Balang Pasir dan [[Kesultanan Kutai|Kutai]] dan [[Kesultanan Berau|Berau]] serta [[Kesultanan Sulu|Karasikan]] - itu tiada mahanjurkan hupati ke Martapura itu. (Cuplikan HIKAYAT BANJAR)</ref> Peristiwa pada abad ke-17 ini menunjukkan pengakuan Makassar (Gowa-Tallo) mengenai kekuasaan Kesultanan Banjar terhadap daerah di sepanjang tenggara dan timur pulau Kalimantan. Pada masa itu Sultan Makassar terfokus untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan di kawasan timur Nusantara hingga diberlakukannya [[Perjanjian Bungaya]]. Pada abad ke-18 Raja Bugis-Wajo, [[La Madukelleng]] menawan daerah Kutai, Pasir, Pagatan dan menyerang Banjarmasin tetapi berhasil dipatahkan.
* [[1765]], [[VOC]] membantu Sultan Banjar [[Tamjidullah I]] untuk menaklukan Pasir kembali untuk memungut upeti.<ref name="Bandjermasin"/>