Herman Johannes: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Stephensuleeman (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 4:
Meski lebih banyak dikenal sebagai pendidik dan ilmuwan, dalam buku ''“Herman Johannes: Tokoh yang Konsisten dalam Sikap dan Perbuatan”'' yang disusun [[Julius Pour]] ([[Gramedia]], Jakarta 1993) Herman Johannes tercatat pernah berkarir di bidang [[militer]]. Tanggal 4 November 1946 Herman Johannes menerima Surat Perintah yang ditadatangani Kapten (Kavaleri) Soerjosoemarno yang mengatasnamakan Kepala Staf Umum Kementerian Keamanan Rakyat Letjen [[Urip Sumohardjo]], yang isinya agar segera hadir dan melapor ke [[Markas Tertinggi Tentara]] di Yogyakarta. Di Yogya, ternyata Herman Johannes diminta membangun sebuah laboratorium persenjataan bagi TNI, karena pemerintah Indonesia saat itu sedang mengalami krisis persenjataan. Permintaan ini diterimanya dengan satu syarat, yakni jika laboratorium itu sudah bisa berdiri dan berproduksi, maka penanganannya harus dilanjutkan orang lain. Sebab Herman Johannes ingin melanjutkan karirnya di bidang pendikan. Di bawah pimpinan Herman Johannes, Laboratorium Persenjataan yang terletak di bangunan [[Sekolah Menengah Tinggi]] ([[SMT]]) Kotabaru ini, selama perang kemerdekaan berhasil memproduksi bemacam bahan peledak, seperti bom asap dan granat tangan. Keahlian Herman Johannes sebagai fisikawan dan kimiawan ternyata berguna untuk memblokade gerak pasukan Belanda selama ''Clash'' I dan II. Bulan Desember 1948, Letkol Soeharto sebagai Komandan Resimen XXII TNI yang membawahi daerah Jogjakarta meminta Herman Johannes memasang bom di jembatan kereta api [[Sungai Progo]]. Karena Herman Johannes juga menguasai teori jembatan saat bersekolah di THS Bandung, Johannes bisa membantu pasukan Resimen XXII membom jembatan tersebut. Januari 1949, Kolonel [[Djatikusumo]] meminta Herman Johannes bergabung dengan pasukan [[Akademi Militer]] di sektor ''Sub-Wehrkreise'' 104 Jogjakarta. Dengan Markas Komando di desa Kringinan dekat [[Candi Kalasan]], lagi-lagi Herman Johannes diminta meledakkan Jembatan Bogem yang membentang di atas [[Sungai Opak]]. Jembatan akhirnya hancur dan satu persatu jembatan antara Yogya-[[Solo]] dan Yogya-[[Kaliurang]] berhasil dihancurkan Johannes bersama para taruna Akademi Militer, Aksi gerilya ini melumpuhkan aktivitas pasukan Belanda, sebab mereka harus memutar jauh mengelilingi gunung [[Merapi]] dan [[Merbabu]] melewati [[Magelang]] dan [[Salatiga]] untuk bisa masuk ke wilayah Yogyakarta.
 
Pengalamannya bergerilya membuat Herman Johannes juga ikut serta dalam [[Serangan Oemoem]]Umum [[1 Maret]] [[1949]] yang meyerbu kota Yogyakarta di pagi buta dan bisa menduduki ibukota Republik selama enam jam. Herman Johannes juga menjadi saksi sumbangan [[Sri Sultan Hamengkubuwono IX]] kepada perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Letnan [[Soesilo Soedarman]] dan Letnan Djajadi, Major Johannes pernah bertugas ke Wedi, [[Klaten]] untuk melakukan koordinasi perjuanngan. Mereka bertiga berangkat memakai seragam baru hadiah dari Sultan Yogya. Sultan pun memberi gaji seratus rupiah [[Oeang Republik Indonesia]] ([[ORI]]) setiap bulan kepada para taruna Akademi Militer. Dalam sebuah makalahnya, Herman Johannes mengatakan Sri Sultan dan Paku Alam bersama Komisi PBB menjemput para gerilyawan masuk kota Yogyakarta pada 29 Juni 1949. Pasukan Akademi Militer masuk kota dari arah Pengok dan dijemput langsung [[Sri Paku Alam VIII]], dan Herman Johannes kemudian harus berpisah dengan teman-teman seperjuangannya utuk kembali ke dunia pendidikan. Jasanya di dalam perang kemerdekaan membuat Herman Johannes dianugerahi [[Bintang Gerilya]] pada tahun 1958 oleh Pemerintah RI.
 
Herman Johannes menikah tahun 1955 dengan Annie Marie Gilbertine Amalo (lahir [[18 Juni]] [[1927]]), seorang putri raja dari wilayah Leli di Pulau [[Rote]]. Mereka dikaruniai empat anak: Christine yang menikah dengan Dr. Wisnu Susetyo, seorang Wakil Presiden [[Freeport Indonesia]]; Henriette yang menikah dengan Robby Mekka, seorang musikus dan dosen musik di [[Institut Seni Indonesia]]; Daniel Johannes yang bekerja di [[Schlumberger Information Solutions]]; dan [[Helmi Johannes]], seorang [[presenter berita]] televisi di [[VOA]]. . Herman Johannes adalah sepupu Pahlawan Nasional Dr. [[Wilhelmus Zakaria Johannes]]. Herman Johannes meninggal dunia pada [[17 Oktober]] [[1992]] karena kanker prostat. Meski sebagai pemegang Bintang Gerilya dan Bintang Mahaputra almarhum berhak dimakamkan di [[Taman Makam Pahlawan]], namun sesuai amanat beliau sebelum meninggal, maka keluarganya memakamkannya di [[Pemakaman Keluarga UGM]] di [[Sawitsari]], Yogyakarta, bersama dengan para koleganya sesama pendidik bangsa. Pada tahun 2003, nama Herman Johannes diabadikan oleh Keluarga Alumni Teknik Universitas Gadjah Mada ([[KATGAMA]]), atas prakarsa Ketua Katgama saat itu, [[Airlangga Hartarto]], menjadi sebuah penghargaan bagi karya utama penelitian bidang ilmu dan teknologi yakni [[Herman Johannes Award]]. Sesuai Keputusan Presiden RI ([[Keppres]]) No. 80 Tahun 1996, nama Herman Johannes diabadikan sebagai nama Taman Hutan Raya bagi kelompok hutan Sisinemi-Sanam seluas 1.900 hektare di Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Nama Prof Herman Johannes juga diabadikan menjadi nama jalan yang menghubungkan Kampus UGM dengan Jalan Solo dan Jalan Jenderal Sudirman di kota Yogyakarta.
Baris 78:
* ''Kamus Istilah Ilmu dan Teknologi'', (PT Indira, Jakarta, 1981)
* ''Aneka Teknik Sepit'', (Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1989)
 
==Pranala luar==
*{{id}} [http://www.jaist.ac.jp/~rac/pub/kanigara/id/Home/herman.htm Para penemu dari Indonesia]
 
[[Kategori:Kelahiran 1912|Johannes, Herman]]
[[Kategori:Kematian 1992|Johannes, Herman]]
[[Kategori:Menteri Indonesia|Johannes, Herman]]
 
[[en:Herman Johannes]]