Teungku Chik di Tiro: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Naval Scene (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Naval Scene (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 17:
Teungku Muhammad Saman adalah putra dari Teungku Syekh Ubaidillah. Sedangkan ibunya bernama Siti Aisyah, putri Teungku Syekh Abdussalam Muda Tiro. Ia lahir pada tahun [[1836]], bertepatan dengan 1251 Hijriah di Dayah Jrueng kenegerian Cumbok Lam Lo, [[Tiro]], daerah [[Kabupaten Pidie|Pidie]], Aceh. Ia dibesarkan dalam lingkungan agama yang ketat.
 
Ketika ia menunaikan ibadah haji di [[Mekkah]], ia memperdalam lagi ilmu agamanya. Selain itu tidak lupa ia menjumpai pimpinan-pimpinan [[Islam]] yang ada di sana, sehingga ia mulai tahu tentang perjuangan para pemimpin tersebut dalam berjuang melawan imperialisme dan [[kolonialisme]]. Sesuai dengan ajaran agama yang diyakininya, Muhammad Saman sanggup berkorban apa saja baik harta benda, kedudukan, maupun nyawanya demi tegaknya agama dan bangsa. Keyakinan ini dibuktikan dengan kehidupan nyata, yang kemudian kebihlebih dikenal dengan [[Perang Sabil]].
 
Dengan Perang Sabilnya, satu persatu benteng [[Belanda]] dapat direbut. Begitu pula wilayah-wilayah yang selama ini diduduki Belanda jatuh ke tangan pasukannya. Pada bulan Mei tahun 1881, pasukan Muhammad Saman dapat merebut benteng Belanda Lam Baro, Aneuk Galong dan lain-lain. Belanda merasa kewalahan akhirnya memakai "siasat liuk" dengan mengirim makanan yang sudah dibubuhi [[racun]]. Tanpa curiga sedikitpun ia memakannya, dan akhirnya Muhammad Saman meninggal pada bulan Januari [[1891]] di benteng Aneuk Galong.