Ca-bau-kan: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k perbaikan kecil
Kenrick95Bot (bicara | kontrib)
k Bot melakukan perubahan kosmetika
Baris 27:
}}
{{wikiquote|Ca Bau Kan|lang=id}}
'''''Ca-bau-kan''''' (Internasional: '''''The Courtesan''''') adalah [[film drama romantis]] tahun [[2002]] dari [[Indonesia]] yang diangkat dari novel ''[[Ca-Bau-Kan (Hanya Sebuah Dosa)]]'' karya penulis Indonesia [[Remy Sylado]]. Dengan setting cerita yang mencakup zaman [[Sejarah Nusantara (1800-1940)|kolonial Belanda]] pada tahun 1930-an, [[Sejarah Indonesia (1942-1945)|pendudukan Jepang]] pada 1940-an, hingga [[Proklamasi Kemerdekaan Indonesia|pasca-kemerdekaan]] tahun 1960. Istilah ''Ca-bau-kan'' sendiri adalah [[Bahasa Hokkian]] yang berarti "perempuan", yang saat zaman kolonial diasosiasikan dengan pelacur, gundik, atau perempuan simpanan orang [[Tionghoa]]. Pada zaman kolonial [[Belanda]] di Indonesia, banyak ''Ca-bau-kan'' yang sebelumnya bekerja sebagai [[pelacur|wanita penghibur]] sebelum diperistri oleh orang Tionghoa.
 
''Ca-bau-kan'' dianggap cukup kontroversial saat pertama kali dirilis, karena beberapa hal, selain karena dibesut sutradara wanita yang masih jarang di perfilman Indonesia pada masa itu. Pertama karena film ini adalah film Indonesia pertama yang menggunakan judul bahasa asing ([[Hokkian]]) yang tidak akan boleh digunakan pada era [[Orde Baru]]. Dan juga karena film ini adalah film Indonesia pertama yang sarat dengan tema budaya dan bahasa Tionghoa di Indonesia yang kental pada zaman kolonial Belanda. Film ini juga adalah film Indonesia pertama yang diperankan oleh orang berdarah Tionghoa dan menggambarkan peran mereka dalam [[Sejarah Indonesia (1945-1949)|perang kemerdekaan 1945-1949]]. <ref>http://books.google.com.au/books?id=9_PmysZli1cC&pg=PA104&lpg=PA104&dq=ca+bau+kan+meaning&source=bl&ots=-09vhHn6zP&sig=mT3J9Mg4CI0DECdaNAZCUGBnXbI&hl=en&sa=X&oi=book_result&resnum=4&ct=result#PPA100,M1 Ciecko, AT. 2006. ''Contemporary Asian Cinema''. Penerbit Berg. Diakses 2 Februari 2009</ref>
 
Film ini disutradarai oleh [[Nia Dinata|Nia di Nata]], dan dimainkan antara lain oleh [[Niniek L. Karim]], [[Ferry Salim]] dan [[Lola Amaria]]. Film ini didistribusikan oleh [[Kalyana Shira Film]] dan dirilis [[7 Februari]] [[2002]] di [[Jakarta]], Indonesia. ''Ca-bau-kan'' pertama kali ditayangkan di dunia perfilman internasional dalam ''[[Asia Pacific Film Festival]]'' tahun [[2002]] dan kemudian dalam ''[[Palm Springs International Film Festival]]'' tahun [[2003]].
Baris 37:
Pada awal cerita, saat zaman kolonial [[Belanda]] di [[Batavia]], diceritakan latar belakang seorang wanita [[betawi]] muda. Dia kehilangan suaminya tak lama setelah menikah dan diusir dari keluarga mendiang suaminya saat sedang mengandung. Tragedi tersebut bertambah parah dengan gugurnya kandungan wanita tersebut yang diikuti dengan masuknya Dia ke dalam dunia [[prostitusi]] ''Ca-bau-kan'' atas dorongan Bibinya, Saodah ([[Lulu Dewayanti]]).
 
Cerita dimulai dari pulangnya Giok Lan ([[Niniek L. Karim]]), seorang wanita Indonesia lanjut usia yang dulu dipungut anak dan tinggal di [[Belanda]], ke Indonesia. Ia kembali ke Indonesia untuk mencari tahu asal usul dan latar belakang hidupnya dan keluarga sebenarnya. Ia akhirnya tahu bahwa Ibu kandungnya adalah wanita [[betawi]] pribumi tadi yang bernama Siti Noerhajati, yang kerap dipanggil Tinung ([[Lola Amaria]]), seorang ''Ca-bau-kan'' yang sering menghibur orang Tionghoa pada zaman kolonial Belanda di Indonesia. Ayah kandungnya adalah Tan Peng Liang, seorang pedagang tembakau peranakan [[Tionghoa]] dari [[Semarang]]. Mereka berdua adalah orang tua kandung dari Giok Lan, sang [[narator]] film.
 
Cerita berpindah ke masa lalu, pada tahun [[1933]]. Tinung menjadi seorang ''Ca-bau-kan'' di daerah [[Kalijodo]], [[Batavia]], dan tak lama kemudian Tinung pun menjadi sangat populer dan terkenal karena kecantikannya. Karena kecantikannya tersebut, Tinung sempat dijadikan wanita simpanan oleh seorang ''tauke'' (juragan) pisang Tionghoa berperangai kasar yang bernama Tan Peng Liang ([[Moeljono]]). Tinung hidup dengan nyaman dan bahkan mengandung anak lagi. Namun kemudian Tinung melarikan diri karena tidak tahan dengan lingkungan rumah Tan Peng Liang yang diwarnai kekerasan.{{br}}
 
Tinung kemudian melanjutkan profesinya sebagai wanita penghibur di Kalijodo, namun tak bertahan lama karena kondisinya yang berbadan dua. Saodah yang juga bekerja sebagai penari [[cokek]] kemudian membawa Tinung dan memperkenalkan Tinung ke dunia tari dan nyanyi cokek di bawah naungan Njoo Tek Hong ([[Chossy Latu]]), seorang musisi Tionghoa. Dalam sebuah festival, dia bertemu dengan Tan Peng Liang ([[Ferry Salim]]), seorang [[pengusaha]] [[tembakau]] ''kiau-seng'' (peranakan Tionghoa) dari [[Semarang]] yang sangat berbeda dengan Tan Peng Liang sebelumnya, dan mereka berdua pun saling menyimpan perasaan.{{br}}
 
Cerita berpindah ke Tan Peng Liang kedua yang namanya cepat melejit sebagai pengusaha tambakau sukses dan kaya di Batavia. Konflik persaingan pun mulai timbul antara Tan Peng Liang dengan ''Kong Koan'', sebuah dewan pengusaha besar Tionghoa di Batavia yang beranggotakan antara lain oleh Oey Eng Goan ([[Joseph Ginting]]), Thio Boen Hiap ([[Robby Tumewu]]), Lie Kok Pien ([[Stanley Worotikan]]), Kwee Tjwie Sien ([[Yongki Komaladi]]), Timothy Wu ([[Alvin Adam]]) dan [[pengacara]] Liem Kiem Jang ([[Henky Solaiman]]).{{br}}
 
[[Berkas:Ca-bau-kan1.jpg|right|thumb|300px|Tinung (Lola Amaria) menari cokek di festival ''[[Peh Cun]]'' di [[Batavia]].]]
Tinung akhirnya menjadi seorang penari cokek dan sering menghibur di festival [[gambang kromong]] Betawi. Dia bertemu dengan Tan Peng Liang lagi dan akhirnya menerima tawarannya untuk menjadi wanita simpanan Tan Peng Liang, sementara perseteruan Tan Peng Liang dengan Dewan ''Kong Koan'' semakin memanas. Tinung dan Tan Peng Liang pun memulai jalinan kasih yang dilandasi cinta, walaupun mereka tak menikah secara resmi, karena di balik hubungan mereka, anak dan istri Tan Peng Liang di Semarang menentang keras hubungan berbeda kelas tersebut. Yang mendukung hubungan mereka hanyalah Ibu Tan Peng Liang ([[Maria Oentoe]]), seorang wanita [[Jawa]] yang bijaksana.{{br}}
 
Cerita berpindah ke perseteruan Tan Peng Liang dan Dewan ''Kong Koan'', dimana Tan Peng Liang dan tangan kanannya, Tan Soen Bie ([[Irgy Ahmad Fahrezy|Irgy A. Fahrenzi]]) menipu Thio Boen Hiap untuk menjual tembakaunya ke Tan Peng Liang. Cerita kemudian mengungkap bahwa Giok Lan lahir di tengah-tengah perseteruan bisnis Tan Peng Liang dengan Dewan ''Kong Koan'' tersebut. Tindakan penipuan Tan Peng Liang akhirnya diketahui oleh Thio Boen Hiap yang karena amarahnya akhirnya merencanakan untuk membakar gudang tembakau Tan Peng Liang. Rencana tersebut berhasil dihentikan oleh Tan Soen Bie yang menangkap basah orang suruhan Thio Boen Hiap, namun siapa sangka, karena dibakar amarahnya Tan Peng Liang malah menyuruh Tan Soen Bie untuk membunuh orang suruhan tersebut dan membakar gudang tembakaunya beserta isinya.{{br}}
 
Kasus pembakaran tersebut diselidiki oleh kepolisian [[Hindia Belanda]] dan [[pers]]. Tan Peng Liang pun mulai menyogok mereka dengan uang suapan untuk menjebak Thio Boen Hiap. Tak lama setelah sidang, Thio Boen Hiap pun akhirnya dinyatakan bersalah, namun situasi justru berbalik menyudutkan Tan Peng Liang setelah wartawan Max Awuy ([[Ananda George]]) bersama Tjia Wan Sen ([[Billy Glenn]]) mengungkap pemalsuan uang yang dilakukan Tan Peng Liang. Tan Peng Liang pun akhirnya ditangkap dan dipenjara di [[Cipinang, Pulo Gadung, Jakarta Timur|Cipinang]]. Dalam penjara terungkap bahwa Tan Peng Liang ternyata terlibat perjuangan kemerdekaan bersama Rahardjo Soetardjo ([[Alex Komang]]), sepupunya yang adalah orang [[Jawa]] pribumi.{{br}}
 
Cerita berpindah ke masa ini, dimana Giok Lan bertemu dengan Oey Eng Goan tua dan bertanya mengenai riwayat Tan Peng Liang. Oey Eng Goan ternyata masih membenci Tan Peng Liang lama setelah Dia mati. Dia bercerita bahwa tak lama setelah dipenjara, Tan Peng Liang melarikan diri ke [[Makau]], [[Cina]], dan menjadi semakin disegani dalam dunia bisnis, namun juga bercerita bahwa Tinung lah orang yang sebenarnya membuat Tan Peng Liang orang yang disegani.{{br}}
 
Cerita berpindah lagi ke masa lalu, dimana Tinung menolak ajakan banyak pria untuk menjadi wanita simpanan mereka karena cintanya pada Tan Peng Liang. Dilanda kemiskinan, Tinung tidak dapat mengurus anak-anaknya. Dia terpaksa menyerahkan anak pertamanya dan Giok Lan kecil untuk diadopsi dan dibawa ke negeri [[Belanda]] dengan imbalan uang, walau dilanda perasaan bersalah sebagai seorang Ibu. Terungkap bahwa tak lama setelah diadopsi, anak pertamanya, Kakak Giok Lan, telah meninggal di Belanda, namun Tinung tidak mengetahui karena Ia buta huruf dan tak dapat membaca surat tentang kabar tersebut. Cerita kemudian mengungkap bahwa Tinung diculik oleh orang suruhan Tan Peng Liang pertama yang ternyata masih menyimpan perasaan kepada Tinung. Namun kisah penculikan tersebut tidak bertahan lama karena campur tangan Tan Soen Bie yang diakhiri dengan tewasnya Tan Peng Liang pertama di tangan Tjia Wan Sen yang dendam kepadanya. Kematian Tan Peng Liang pertama tersebut menjadi keuntungan bagi Tan Peng Liang kedua yang dapat memalsukan kematiannya sendiri.{{br}}
 
Cerita berpindah ke kedatangan pasukan Jepang tahun [[1942]], dimana anggota Dewan ''Kong Koan'' akhirnya ditangkap dan Rahardjo Soetardjo bersama Max Awuy menjadi rekan seperjuangan bawah tanah dalam pasukan Jepang. Di negeri [[Siam]], Tan Peng Liang telah mengganti namanya menjadi Simon Chen. Dia memulai hubungan asmara disertai bisnis menyelundupkan senjata dengan seorang pejuang bawah tanah [[komunis]] merangkap pengusaha bernama Jeng Tut ([[Tutie Kirana]]). Cerita kemudian berpindah ke masa ini, dimana Oey Eng Goan tua bercerita bahwa untuk membebaskan anggota ''Kong Koan'' dari tangkapan Jepang, Thio Boen Hiap menghadiahkan Tinung yang cantik ke tentara Jepang sebagai seorang ''[[jugun ianfu]]'' di [[Rumah Panjang]], [[Sukabumi]]. Kembali ke masa lalu, hilangnya Tinung memancing kemarahan Tan Soen Bie yang kemudian mengabarkan berita tersebut ke Tan Peng Liang.{{br}}
 
Tan Peng Liang pulang dan berlabuh di [[Sunda Kelapa]], Batavia, lalu bertemu dengan Rahardjo Soetardjo. Tan Peng Liang marah besar saat Rahardjo Soetardjo mengabarkan nasib Tinung dan perbuatan Thio Boen Hiap kepadanya. Dia kemudian berjanji akan membantu perjuangan pasukan Rahardjo Soetardjo asalkan dibantu untuk mendapatkan Tinung kembali. Tinung pun akhirnya dibebaskan keluar dari Rumah Panjang oleh Rahardjo Soetardjo. Dalam penantiannya di sebuah [[Rumah Sakit]], Tinung menjadi hancur dilanda oleh perasaan bersalah dari peristiwa-peristiwa hidupnya selama itu, namun akhirnya pertemuan dengan Tan Peng Liang merubah hidupnya kembali ke normal. Cerita kemudian berpindah ke peran Tang Peng Liang dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tan Peng Liang akhirnya bergabung dengan Rahardjo Soetardjo dan Max Awuy sebagai pemasok senjata dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Perannya tersebut ditentang oleh Dewan ''Kong Koan'' yang mengetahui bahwa Tan Peng Liang masih hidup, dan dipersulit hubungannya dengan Jeng Tut yang mulai sulit karena pandangan ideologi mereka yang berbeda.{{br}}
 
Di sisi lain, hubungan Tang Peng Liang dengan Tinung juga semakin renggang. Tinung merasa bahwa Ia tidak berguna untuk Tan Peng Liang karena tidak bisa mengandung anak lagi. Hal tersebut akhirnya memicu Tan Peng Liang untuk melampiaskan dendam lamanya kepada Thio Boen Hiap yang menyerahkan Tinung kepada pasukan Jepang sebelum kemerdekaan. Tan Peng Liang pun akhirnya menyerbu rumah Thio Boen Hiap dan dalam kemarahannya akhirnya mengeksekusi Thio Boen Hiap dengan tembakan ke kepala. Cerita berpindah ke Batavia yang sekarang bernama [[Jakarta]] pada tahun [[1960]], dimana Tan Peng Liang menjadi seorang pengusaha yang sangat kaya dan sukses, dibantu oleh teman seperjuangannya, Rahardjo Soetardjo dan Max Awuy yang kini mendapat posisi di pemerintahan Indonesia. Di sini Tan Peng Liang kembali menyatakan cintanya yang tulus kepada Tinung. Namun dibalik layar, anggota Dewan ''Kong Koan'' yang telah bubar masih menyimpan dendam pada Tan Peng Liang, karena mereka tahu siapa yang membunuh Thio Boen Hiap.{{br}}
 
Hidup Tan Peng Liang akhirnya berakhir tak lama kemudian. Dia meninggal setelah memakan [[durian]] beracun yang dibawakan oleh Jeng Tut dalam sebuah pertemuan bisnis di rumahnya. Terungkap bahwa tak lama setelah meninggalnya Tan Peng Liang, Tinung pun akhirnya juga meninggal. Tak ada yang mencurigai bahwa Tan Peng Liang sebenarnya mati dibunuh, namun akhirnya Oey Eng Goan tua bercerita bahwa Dia lah yang sebenarnya merencanakan pembunuhan tersebut. Giok Lan sangat marah setelah mengetahui perbuatan tersebut, namun akhirnya memutuskan untuk memaafkan Oey Eng Goan dan melupakan kejadian tersebut, walau ditentang oleh saudaranya.{{br}}
 
Film diakhiri dengan kedatangan Giok Lan ke sebuah kuburan Tionghoa, untuk berziarah ke makam kedua orang tuanya, Tan Peng Liang dan Siti Noerhajati yang diakhiri dengan pembelaan dan pembenarannya atas pekerjaan Ibunya sebagai seorang ''Ca-bau-kan''.
Baris 89:
== Catatan produksi ==
=== Penulisan Skenario ===
Setelah mendapat ijin dari Remy Sylado, Nia di Nata memulai proses pembuatan ''Ca-bau-kan'' dengan melakukan riset serius untuk penataan artistik. Tim risetnya memulai riset pada Maret 2000 dengan melibatkan pengajar program studi [[bahasa Cina]] di [[Universitas Indonesia]], Eddy Prabowo, yang melakukan penelitian berdasarkan dokumentasi foto kebudayaan Cina periode 1930-1950. Dari riset ditemukan sejumlah lokasi, antara lain [[Gedung Arsip Nasional]] di kawasan Kota [[Jakarta]], [[Cileungsi]] di [[Bogor]], pelabuhan [[Sunda Kelapa]], [[Lasem]], [[Klenteng]] Cina [[Tay Kak Sie]] di [[gang Lombok]] dan gedung [[Lawang Sewu]] di [[Semarang]], [[Rumah Sakit]] di [[Magelang]], dan [[Museum Kereta Api Ambarawa|stasiun kereta api lama]] di [[Ambarawa]].
 
=== Anggaran ===
Pembuatan film ''Ca-bau-kan'' mengkonsumsi dana sebesar kurang lebih 5 miliar rupiah. Film ''Ca-bau-kan'' adalah proyek perdana [[Kalyana Shira Film]] dimana banyak kru dan Nia di Nata sendiri memiliki pengalaman nyaris nol di dunia film. Film ini mengalami banyak kendala dalam masalah dana. Banyak dana yang habis untuk keperluan syuting berpindah-pindah di daerah [[pecinan]] di [[Lasem]], [[Semarang]], [[Ambarawa]], [[Bantir]], [[Tuntang, Semarang|Tuntang]] dan [[Magelang]]. Menurut Nia di Nata di [[Koran Tempo]], pencarian dana untuk film ''Ca-bau-kan'' adalah proses yang sulit.
<blockquote>"Tabungan saya dan teman-teman terkuras," "Ini film independen. Kita cari uang sendiri, bukan untuk kita, tapi untuk biaya film." Tutur Nia di Nata <ref>http://www.infoanda.com/linksfollow.php?lh=VgFQV1JVBARU Koran Tempo 14 Februari 2002</ref></blockquote>
 
=== Kostum ===
Menurut Koran Tempo, Film ini menggunakan 3.000 kostum dan melibatkan tokoh-tokoh [[fashion]] Indonesia saat itu. Untuk menampilkan detail ambisius untuk pakaian dengan setting Indonesia pada 1918–1951, Nia di Nata mendapat kontribusi penuh dari sejumlah perancang yang di antaranya juga turut berakting dalam film ''Ca-bau-kan''. Desainer seperti [[Chossy Latu]], [[Robby Tumewu]], dan [[Yongki Komaladi]] tampil sebagai aktor dalam film tersebut sembari mengenakan pakaian desain mereka sendiri.
<blockquote>"Untuk menyiasati dana membengkak, inilah peran para donatur dan sponsor", kata Nia di Nata. <ref>http://www.infoanda.com/linksfollow.php?lh=VgFQV1JVBARU Koran Tempo 14 Februari 2002</ref></blockquote>
 
Kain untuk kostum dan ''Props'' disediakan dari [[Texmaco]]. Desainer seperti [[Anton Diaz]] dan [[Sebastian Gunawan]] menangani penggunaan kostum sarung, kebaya, dan aneka kemeja seperti yang dikenakan Jeng Tut. Sepatu dalam film didesain oleh [[Yongki Komaladi]]. Pakaian, aksesori dan perhiasan yang dikenakan Tinung dalam film disediakan oleh [[Thomas Sigar]]. [[Hutama Adhi]] serta Usaha Tailor mendesain dan menyediakan kostum untuk Tan Peng Liang dan anggota ''Kong Koan''. Kebaya yang digunakan Tinung dan sarung yang dipakai tuan-tuan Cina dan Belanda antara lain: kebaya [[taman teratai]], [[terang bulan]], [[buketan]], [[pucuk rebung]]. [[Sari Ayu]] bertanggung jawab untuk ''[[make-up]]'' para pemeran saat syuting film.
 
=== Kru Film ===
Menurut Koran Tempo, Nia di Nata cukup selektif dalam tim yang terlibat dalam pembuatan film ''Ca-bau-kan''. [[Fotografi]] ditangani oleh [[German G. Mintapradja]], yang biasa menangani fotografi bersama [[Garin Nugroho]] dalam [[Anak Seribu Pulau]] dan juga juara ketiga ''The Best Short Breda Film Festival'' Belanda tahun [[1996]]. Posisi [[penata artistik]] dipegang oleh [[Iri Supit]], yang pernah menangani ''Art'', [[kostum]] dan make-up beberapa film [[Teguh Karya]].
 
Untuk menyamakan arah cerita dan agar cerita film bisa dipahami, Nia di Nata mewawancarai semua tim yang akan terlibat dan selalu memberikan buku ''Ca-bau-kan: Hanya Sebuah Dosa'' untuk dibaca lebih dulu sebagai petunjuk bagaimana karakter tokoh yang akan diperankan. Nia di Nata membaca buku tersebut sampai delapan kali sebelum pembuatan film ''Ca-bau-kan''. Film ''Ca-bau-kan'' melibatkan 100 kru produksi, 30 pemain utama dan 500 figuran. Menurut Nia di Nata, kru produksi film juga diisi banyak personil wanita. Mulai dari posisi [[produser]], [[asisten manajer produksi]], sampai ''still photo''. Ada 45 perempuan dari 100 kru produksi.
 
=== Syuting ===
Nia di Nata menggunakan filter biru untuk malam dan oranye untuk siang pada kamera. Kalijodo untuk syuting ditata berkelap-kelip menggunakan lampion-lampion merah dengan kaligrafi Cina. Untuk lokasi syuting, tim artistik ''Ca-bau-kan'' mencari rumah-rumah kuno di [[Lasem]], [[Ambarawa]], [[Tay Kak Sie]] di [[Gang Lombok]], [[Semarang]]. Perabotan dan ''Props'' untuk syuting, meja-meja dan kursi antik, dipinjam dari kolektor di [[Rembang]], [[Lasem]], dan juga [[Semarang]] untuk menambah keakuratan lokasi. Satu hal yang juga diingat dari pembuatan film ini adalah penggunaan kereta api tua yang masih sempat dijalankan lagi dalam adegan kedatangan Tan Peng Liang dan Tinung di [[Stasiun Semarang Tawang]]. Koran Tempo menulis bahwa film tersebut dikejar masa syuting 60 hari. Walaupun akhirnya tepat waktu, banyak lokasi syuting tidak memiliki fasilitas akomodasi memadai sehingga ditemui banyak kutu busuk dan kutu air.
 
=== Musik ===
Penggunaan musik tempo doloe juga diutamakan seperti adanya [[gambang kromong]] dan [[cokek]], seperti lagu ''Dayung Sampan'' yang menggunakan lirik Cina. Untuk bagian musik Nia di Nata berkonsultasi dengan sang penulis cerita, [[Remy Sylado]], dan dengan [[Tan Beh Seng]], ahli gambang kromong berusia 70 tahun lebih yang menguasai versi asli alat musik tersebut. Lagu akhir film ini, ''Waktu Kan Menjawab'' dan ''Berakhir Di Cintamu'' ditulis oleh [[Andi Rianto]] dan [[Sekar Ayu Asmara]], dimana lagu pertama dibawakan oleh grup musik [[Warna]]. <ref>http://www.tempo.co.id/majalah/min/lay-2.html Majalah Tempo Online 24/02/02. Diakses 4 Februari 2009</ref>
 
== Lagu tema ==
Baris 125:
:* '''Best Promising New Director''' (Sutradara Pendatang Baru Terbaik) untuk ([[Nia Dinata|Nia di Nata]]) <ref>http://wap.korantempo.com/view_details.php?idedisi=1267&idcategory=33&idkoran=28486&y=2004&m=12&d=05 Koran Tempo 5/12/04 diakses 4 Februari 2009</ref>
* Peserta resmi dari [[Indonesia]] untuk [[penghargaan]] ''Foreign Film'' ([[Film Berbahasa Asing Terbaik (Oscar)|Film Berbahasa Asing Terbaik]]) dalam ''[[Academy Award]]'' tahun [[2002]]
* '''''Official Selection''''' (Film pilihan resmi) dalam:
:* ''5Oth [[Sydney Film Festival]]'' tahun [[2003]]
:* ''[[International Rotterdam Film Festival]]''