Sejarah Kalimantan Timur: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
←Membatalkan revisi 3052884 oleh Ezagren (Bicara)
sedikit menambahkan
Baris 1:
{{inuse|hingga 20 April 2010}}
[[Berkas:East kalimantan coa.png|thumb|right|200px|Lambang Provinsi Kalimantan Timur.]]
'''[[Kalimantan Timur]]''' merupakan pelopor peradaban di Indonesia. Hal ini terbukti dengan ditemukannya situs kerajaan tertua di Indonesia, yakni [[Kerajaan Kutai Martadipura]], lebih dikenal dengan nama kerajaan Mulawarman yang terletak di [[Muara Kaman, Kutai Kartanegara|Kecamatan Muara Kaman]]. Kerajaan ini diperkirakan berdiri pada [[abad ke-4]], dengan rajanya yang terkenal [[Mulawarman Nala Dewa]]. Kekuasaan Keturunan Raja Mulawarman berlanjut hingga raja ke-25 yang bernama Maharaja Derma Setia ([[abad ke-13]]).<ref name="sejarah">[http://www.kaltimprov.go.id/kaltim.php?page=profile&id=32 Web resmi Pemprov Kaltim - Sejarah Kaltim]</ref> hingga kemudian ditaklukkan oleh [[Kerajaan Kutai Kartanegara]], penjajah [[Belanda]] masuk ke [[Kaltim]], hingga dibentuknya provinsi [[Kalimantan Timur]] pada tanggal [[1 Januari]] [[1957]] sebagai pemekaran dari [[Provinsi Kalimantan]].
 
== ZamanMasa Prasejarah ==
=== Zaman Glasial ===
Sejarah Kalimantan Timur bisa dikatakan sangat tua. Para ahli sejarah mengatakan bahwa wilayah Kalimantan Timur telah dihuni manusia sejak [[zaman es]] (glasial). Penduduknya ketika itu adalah dari ras Negrid Weddid yang sekarang sudah tidak ada lagi. Sekitar 3000 tahun sebelum masehi datang dan tinggal di wilayah Kalimantan Timur kelompok [[Proto Melayu]] atau Melayu Tua. Sekitar tahun 500 sebelum masehi, datang kelompok migran kedua, yaitu, kelompok Deutro-Melayu atau Melayu Muda<ref>[http://www.sejarahbangsaindonesia.co.cc/1_19_Sejarah-Kaltim.html Sejarahbangsaindonesia.co.cc - Sejarah Kalimantan Timur]</ref>.
 
== Masa Kerajaan/Kesultanan ==
=== Kerajaan Kutai ===
{{artikel|Kerajaan Kutai}}
Kalimantan Timur yang telah berupa kesatuan politik adalah bermula dari [[Kerajaan Kutai Martadipura]] atau Kutai Martapura. Kerajaan ini berdiri pada abad ke-4 (sekitar 300 masehi) di [[Muara Kaman, Kutai Kartanegara|Muara Kaman]]. Ketika itu, Kutai Martadipura telah menjalin hubungan dengan [[India]], sehingga tidak mengherankan jika Kutai Martadipura merupakan pusat penyebaran agama Hindu, selain juga merupakan pusat perdagangan. Pendiri Kerajaan Kutai adalah [[Kudungga]] yang merupakan seorang pembesar dari [[Kerajaan Campa]] ([[Kamboja]]), sedangkan raja pertama yang resmi berkuasa di Kerajaan Kutai adalah [[Aswawarman]] karena sebagai pendiri dinasti Kerajaan Kutai dan diberi gelar "Wangsakarta", yang artinya pembentuk keluarga.
 
Aswawarman mempunyai 3 orang putra, salasalah satunya bernama [[Mulawarman]]. Ketika Maharaja [[Mulawarman]] berkuasa, Kerajaan Kutai Martadipura mengalam zaman kejayaan dan menjadi kerajaan yang besar<ref name="Intan Pariwara">Buku Pelajaran IPS edisi Kalimantan Timur kelas 4 SD, terbitan Intan Pariwara, 2004 hal. 52-54</ref>.
Kebesaran Kerajaan Kutai terbukti dengan adanya kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan sebagai berikut :
* Setiap tahun raja mengadakan upacara sedekah yang dilakukan di ''Waprakeswara''. Waprakeswara adalah sebidang tanah yang dianggap suci.
Baris 18 ⟶ 19:
Sebaliknya, rakyat menyampaikan tanda terima kasih kepada raja dengan cara :
* Mengadakan kenduri untuk keselamatan raja
* Mendirikan tugu prasatiprasasti<ref>Saat ini prasasti yang baru diketahui adalah [[Prasasti Kutai]]</ref> yang berisi tulisan-tulisan tentang kebesaran raja.
 
Maharaja [[Mulawarman]] memperluas wilayah kerajaanya dengan cara menaklukkan kerajaan-kerajaan di sekitarnya. Raja-raja yang ditaklukkannya harus menyerahkan upeti kepada raja Mulawarman<ref name="Intan Pariwara"></ref>.
Baris 24 ⟶ 25:
Kerajaan Kutai berakhir saat Raja Kutai yang bernama Maharaja Dharma Setia tewas dalam peperangan di tangan Raja Kutai Kartanegara ke-13, [[Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa]]. Perlu diingat bahwa Kutai ini (Kutai Martadipura) berbeda dengan [[Kerajaan Kutai Kartanegara]] yang ibukotanya pertama kali berada di [[Kutai Lama]] ([[Tanjung Kute]]). Kutai Kartanegara inilah, di tahun [[1365]], yang disebutkan dalam sastra Jawa Negarakertagama. Kutai Kartanegara selanjutnya menjadi kerajaan Islam yang disebut Kesultanan Kutai Kartanegara.
 
Keruntuhan [[Kerajaan Kutai Martadipura]] memberikan kesempatan bagi daerah-daerah pedalaman yang sebelumnya berada dalam kekuasaan Kutai Martadipura dapat melepaskan diri, membentuk kerajaan-kerajaan sendiri selain ada pula yang menggabungkan diri dengan [[Kerajaan Kutai KertanegaraKartanegara]].
 
=== Kesultanan Kutai Kartanegara ===
{{artikel|Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura}}
[[Kerajaan Kutai Kartanegara]] yang kemudian menjadi [[Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura]] berdiri pada awal abad ke-13 di daerah yang bernama '''Tepian Batu''' atau [[Kutai Lama]] (kini menjadi sebuah desa di wilayah Kecamatan [[Anggana, Kutai Kartanegara|Anggana]]) dengan rajanya yang pertama yakni [[Aji Batara Agung Dewa Sakti]] (1300-1325). Kerajaan ini disebut dengan nama Kerajaan [[Tanjung Kute]] dalam [[Kakawin Nagarakretagama]], yaitu salah satu daerah taklukan di Pulau [[Tanjungnagara|Kalimantan]] oleh Patih [[Gajah Mada]] dari [[Majapahit]].
 
berdiri pada awal [[abad ke-13]] di daerah yang bernama '''Tepian Batu''' atau [[Kutai Lama, Anggana, Kutai Kartanegara|Kutai Lama]] (kini menjadi sebuah desa di wilayah Kecamatan [[Anggana, Kutai Kartanegara|Anggana]]) dengan rajanya yang pertama yakni [[Aji Batara Agung Dewa Sakti]] ([[1300]]-[[1325]]). Kerajaan ini disebut dengan nama Kerajaan [[Tanjung Kute]] dalam [[Kakawin Nagarakretagama]], yaitu salah satu daerah taklukan di Pulau [[Kalimantan|Tanjungnagara]] oleh Patih [[Gajah Mada]] dari [[Majapahit]].
 
Pada [[abad ke-16]], Kerajaan Kutai Kartanegara dibawah pimpinan raja [[Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa]] berhasil menaklukkan [[Kerajaan Kutai]] (<ref>atau disebut pula: '''Kerajaan Kutai Martadipura''' atau '''Kerajaan Kutai Martapura''' atau '''Kerajaan Mulawarman''')</ref> yang terletak di [[Muara Kaman, Kutai Kartanegara|Muara Kaman]]. Raja Kutai Kartanegara pun kemudian menamakan kerajaannya menjadi [[Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura|Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura]] sebagai peleburan antara dua kerajaan tersebut.
 
Pada [[abad ke-17]], agama [[Islam]] yang disebarkan '''Tuan Tunggang Parangan''' diterima dengan baik oleh Kerajaan Kutai Kartanegara yang saat itu dipimpin [[Aji Raja Mahkota Mulia Alam]]. Setelah beberapa puluh tahun, sebutan [[Monarki|Raja]] diganti dengan sebutan [[Sultan]]. Sultan [[Aji Muhammad Idris]] (1735-1778) merupakan sultan Kutai Kartanegara pertama yang menggunakan nama Islami. Dan kemudian sebutan kerajaan pun berganti menjadi [[Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura]].
Baris 39 ⟶ 40:
 
=== Kesultanan Berau ===
{{artikel|Kesultanan Berau}}
'''Kesultanan Berau''' adalah sebuah [[kerajaan]] yang pernah berdiri di wilayah [[Kabupaten Berau]] sekarang ini. Kerajaan ini berdiri pada [[abad ke-14]] dengan raja pertama yang memerintah bernama [[Baddit Dipattung]] dengan gelar [[Aji Suryanata Kesuma|Aji Raden Suryanata Kesuma]] dan istrinya bernama ''Baddit Kurindan'' dengan gelar ''Aji Permaisuri''. Pusat pemerintahannya berada di [[Sungai Lati, Gunung Tabur, Berau|Sungai Lati]], [[Gunung Tabur, Berau|Kecamatan Gunung Tabur]].<ref name="pos1">{{id}}[http://www.kaltimpost.web.id/berita/index.asp?Berita=Berau&id=50616 ''Perjalanan Sejarah Bermula dari Sungai Lati''., Kaltim Pos 2 September 2003]</ref> Sejarahnya kemudian pada keturunan ke-13, Kesultanan Berau terpisah menjadi dua yaitu [[Kesultanan Gunung Tabur]] dan [[Kesultanan Sambaliung]].
 
==== [[Kesultanan Gunung Tabur]] ====
'''Kesultanan Gunung Tabur''' adalah [[kerajaan]] yang merupakan hasil pemecahan dari [[Kesultanan Berau]], dimana Berau dipecah menjadi dua, yaitu [[Kesultanan Sambaliung|Sambaliung]] dan Kesultanan ''Gunung Tabur'' pada sekitar tahun [[1810-an]].<ref name="pos2">[http://www.kaltimpost.web.id/berita/index.asp?Berita=ProKaltim&id=48059 ''Raja Alam Enggan Dipimpin Penjajah'', Kaltim Pos, 17 Agustus 2003]</ref> Pada periode yang hampir bersamaan, agama Islam mulai masuk ke Berau menyusul kedatangan seorang ulama bernama Imam Sambuayan yang menetap di sekitar Sukan (Desa Sukan)<ref>[http://kabupatenberau.wordpress.com/2008/11/16/kabupaten-berau/ Wordpress - Sekilas Kabupaten Berau]</ref>. Kesultanan ini sekarang terletak dalam wilayah kecamatan [[Gunung Tabur, Berau|Gunung Tabur]], [[Kabupaten Berau]], provinsi [[Kalimantan Timur]].
 
==== [[Kesultanan Sambaliung]] ====
'''Kesultanan Sambaliung''' adalah kesultanan hasil dari pemecahan [[Kesultanan Berau]], dimana Berau dipecah menjadi dua, yaitu ''Sambaliung'' dan [[Kesultanan Gunung Tabur|Gunung Tabur]] pada sekitar tahun [[1810-an]].<ref name="pos2">{{id}}[http://www.kaltimpost.web.id/berita/index.asp?Berita=ProKaltim&id=48059 ''Raja Alam Enggan Dipimpin Penjajah''. Kaltim Pos, 17 Agustus 2003]</ref> Sultan Sambaliung pertama adalah [[Sultan Alimuddin]] yang lebih dikenal dengan nama [[Raja Alam]]. Raja Alam adalah keturunan dari [[Baddit Dipattung]] atau yang lebih dikenal dengan [[Aji Suryanata Kesuma]] raja [[Kesultanan Berau|Berau]] pertama. Sampai dengan generasi ke-9, yakni [[Aji Dilayas]]. Aji Dilayas mempunyai dua anak yang berlainan ibu. Yang satu bernama Pangeran Tua dan satunya lagi bernama Pangeran Dipati.
 
Kemudian, kerajaan Berau diperintah secara bergantian antara keturunan Pangeran Tua dan Pangeran Dipati (hal inilah yang membuat terjadinya perbedaan pendapat yang bahkan terkadang menimbulkan insiden). Raja Alam adalah cucu dari Sultan Hasanuddin dan cicit dari Pangeran Tua, atau generasi ke-13 dari Aji Surya Nata Kesuma.
 
Raja Alam adalah sultan pertama di Tanjung Batu Putih, yang mendirikan ibukota kerajaannya di Tanjung pada tahun [[1810]]. (Tanjung Batu Putih kemudian menjadi kerajaan Sambaliung).
 
=== Kesultanan Bulungan ===
{{artikel|Kesultanan Bulungan}}
'''Kesultanan Bulungan''' atau '''Bulongan''' adalah [[kesultanan]] yang pernah menguasai wilayah pesisir [[Kabupaten Bulungan]], [[Kabupaten Malinau]], [[Kabupaten Nunukan]], dan [[Kota Tarakan]] sekarang. Kesultanan ini berdiri pada tahun [[1731]], dengan raja pertama bernama [[Wira Amir]] gelar ''Amiril Mukminin'' ([[1731]]–[[1777]]), dan Raja Kesultanan Bulungan yang terakhir atau ke-13 adalah Datuk Tiras gelar [[Sultan Maulana Muhammad Djalalluddin]] ([[1931]]-[[1958]]).
 
kesultanan ini didirikan oleh sekelompok Kayan Di dalam Uma 'Apan, dari daerah Apo Kayan, yang menetap di dekat pantai di abad ketujuh. Dengan 1650, seorang putri kelompok telah menikah dengan seorang pria dari Brunei. Pernikahan ini mendirikan sebuah tradisi Hindu yang didirikan di daerah Tanjung Selor ini. Pada tahun 1750, dinasti ini masuk Islam. Its penguasa mengambil gelar Sultan dan mengakui pengikut sultan Berau, kedua mengakui dirinya pengikut Kerajaan Kutai.
 
Pada tahun 1850, orang Belanda, yang menaklukkan Berau pada tahun 1834 dan dikenakan kedaulatan mereka untuk Kutai pada tahun 1848, yang ditandatangani dengan Sultan Bulungan Kontrak Politiek. Bersemangat untuk memerangi pembajakan dan perdagangan budak, bersedia untuk melawan pembajakan dan perdagangan budak, mereka mulai untuk campur tangan di wilayah ini.
 
Sampai tahun 1860, Bulungan berada di bawah ibu jari dari Tausug Sulu Kesultanan. Selama periode ini, kapal Sulu pergi ke Tarakan dan kemudian di Bulungan interior untuk perdagangan langsung dengan Tidung. Pengaruh ini berakhir pada 1878 dengan penandatanganan perjanjian antara Inggris dan Spanyol yang dirancang untuk Sulu.
 
Pada 1881, Kalimantan Utara Chartered Perusahaan diciptakan, yang merupakan Borneo utara di bawah yurisdiksi Inggris, tetapi Belanda mulai menolak. kesultanan itu akhirnya dimasukkan dalam kerajaan Hindia Belanda pada tahun 1880-an kolonial. Orang Belanda menginstal sebuah pos pemerintah di Tanjung Selor 1893. Pada tahun 1900-an, seperti banyak negara-negara kerajaan lain di kepulauan ini, Sultan terpaksa menandatangani Korte verklaring, pernyataan "singkat" oleh yang menjual sebagian besar kekuasaannya atas tanah hulu.
 
Orang Belanda akhirnya mengakui perbatasan antara dua wilayah hukum pada tahun 1915. kesultanan ini dikenakan status Zelfbestuur, "" self-administrasi, pada tahun 1928, lagi-lagi seperti banyak negara pangeran Hindia Belanda.
 
Penemuan minyak di BPM (Bataafse Petroleum Maatschappij) di pulau Bunyu dan Tarakan akan memberikan sangat penting untuk Bulungan untuk orang Belanda, yang Tarakan ibukota daerah.
 
Setelah pengakuan kemerdekaan Indonesia dari Kerajaan Belanda, wilayah menerima status Wilayah Swapraja Bulungan atau "wilayah otonom" di republik pada tahun 1950, maka Wilayah Istimewa atau "wilayah khusus "pada tahun 1955. Sultan terakhir, Jalaluddin, meninggal pada tahun 1958. kesultanan itu dihapuskan pada tahun 1959 dan wilayah itu menjadi kabupaten yang sederhana atau departemen.
 
=== Kesultanan Pasir ===
 
=== Kerajaan Tidung ===
 
<!--== Catatan Sejarah ==