Bissu: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k menambah pranala disambiguasi
pengembangan artikel pt2
Baris 1:
{{kegunaanlain}}
[[Berkas:Puang_Matoa_2004.JPG|right|thumb|225px|Bissu [[Puang Matoa Saidi]], salah seorang dari sedikit golongan Bissu Bugis yang tersisa]]
'''Bissu''' adalah kaum [[pendeta]] yang tidak mempunyai golongan [[gender]] dalam [[kepercayaan]] tradisional ''[[Tolotang]]'' yang dianut oleh komunitas ''[[Amparita Sidrap]]'' dalam masyarakat [[Bugis]] dari [[Sulawesi Selatan]] di [[Pulau Sulawesi]], [[Indonesia]]. Golongan Bissu umumnya disebut "di luar batasan jender", suatu "makhluk yang bukan laki-laki atau perempuan", atau sebagai "memiliki peran ritual", dimana mereka "menjadi perantara antara manusia dan dewa". Tidak ada penjelasan meyakinkan definitif untuk apakah arti "di luar batasan jender" dan bagaimana sebutan tersebut dimulai. <ref name="sharyn"> Graham, S. 2007. "''Sex, Gender and Priests in South Sulawesi''".Indonesia, IIAS Newsletter|#29| 27 November 2002 </ref>
 
Menurut [[Sharyn Graham]], seorang [[peneliti]] di ''[[University of Western Australia]]'' di [[Perth]], [[Australia]], seorang Bissu tidak dapat dianggap sebagai [[banci]] atau [[waria]], karena mereka tidak memakai pakaian dari golongan gender apa pun namun setelan tertentu dan tersendiri untuk golongan mereka. <ref name="sharyn"/> Menurut Sharyn Graham, dalam kepercayaan tradisional Bugis, tidak terdapat hanya dua jenis kelamin, tetapi empat, atau lima bila golongan Bissu juga dihitung, yaitu: "''[[Oroane]]''" ([[laki-laki]]); "''[[Makunrai]]''" ([[perempuan]]); "''[[Calalai]]''" (perempuan yang berpenampilan seperti layaknya laki-laki); "''[[Calabai]]''" (laki-laki yang berpenampilan seperti layaknya perempuan); dan golongan Bissu, di mana masyarakat kepercayaan tradisional menganggap seorang Bissu sebagai kombinasi dari semua jenis kelamin tersebut. <ref>[http://www.insideindonesia.org/edit66/bissu2.htm ''Inside Indonesia'' : "Sulawesi's fifth gender". Sharyn Graham, April-Juni 2001]</ref> <ref>Pelras, C. 2006. "''Manusia Bugis''". Penerjemah: Abdul Rahman Abu, Hasriadi, Nurhady Sirimorok ; penyunting terjemahan, Nirwan Ahmad Arsuka, Ade Pristie Wahyo, J.B.Kristanto ; pengantar, Nirwan Ahmad Arsuka. Penerbit Nalar bekerjasama dengan Forum Jakarta-Paris, Ecole francaise d'Extreme-Orient. [[ISBN]]: 979993950X </ref>
 
== Latar belakang ==
Para Bissu kadang-kadangtidak jarang digambarkan dan dianggap sebagai [[waria]], tetapi tampaknyahal ini disebabkan oleh kesalahpahaman untukmasyarakat awam dalam banyak [[sejarah]] dan peran mereka dalam masyarakat. Untuk menjadi Bissu, seseorang harus memadukan semua aspek gender. Dalam banyak contoh ini berarti mereka harus dilahirkan dengan sifat [[hermafrodit]] atau individu yang [[interseksual]]. Ada juga muncul contoh Bissu di mana Bissu laki-laki atau perempuan sepenuhnya terbentuk secara seksual.
 
Peran interseksual seorang Bissu yang tidak biasa dalam masyarakat Bugis tradisional tidak secara eksklusif berhubungan dengan [[anatomi]] tubuh mereka, tetapi peran mereka dalam kebudayaan [[Bugis]],. identitasIdentitas ketiadaan gender mereka (atau kemencakupan tentang segala jenis kelamin) dan karakter berbagai jenis yang tidak dapat dialokasikan secara akurat kepada jenis kelamin apa pun.
 
Hal ini terbukti dalam cara ber[[pakaian]] para Bissu. Para Bissu mengenakan sejenis [[gaun]] dan pakaian yang tidak dikenakan oleh jenis kelamin lain, namun juga memasukkan elemen dan karakter pakaian "pria" dan "perempuan", yang menjelaskan mengapa golongan Bissu tidak dapat disebut sebagai waria, karena mereka hanya diizinkan untuk memakai pakaian yang sesuai untuk [[kasta]] gender mereka.
Baris 12 ⟶ 14:
== Peran dalam budaya Bugis ==
[[Berkas:Bissu_sembahyang.jpg|right|thumb|225px|Bissu sedang melakukan ritual sembahyang]]
Peran unik yang dilakukan golongan Bissu dalam budaya Bugis sangat erat kaitannya dengan status ketakterbatasan gender mereka. Diperkirakan bahwa, karena kita adalah manusia yang tinggal di balik suatu batasan gender, kita pun tidak ada di tengah-tengah dunia yang tampak dan yang tersembunyi. Pikiran ini diduga mirip dengan ide awal [[Muslim]] tentang "''[[Khanith]]''" dan "''[[Mukhannathun]]''" yang menjadi "pengawal batas-batas suci" dan adanya posisi setara untuk para interseksual dan [[transgender]] yang ada dalam budaya Muslim tradisional tertentu, tetapi dalam kasus ini tampaknya budaya Bissu bersumber dari budaya daerah Sulawesi yang jauh lebih awal dari budaya Muslim.
 
Dalam budaya Bugis, para Bissu biasanya dimintai nasihat ketika "persetujuan tertentu" dari kekuasaan dunia batin (spiritual) diperlukan. Hal ini terjadi misalnya ketika orang Bugis Sulawesi berangkat untuk perjalanan [[naik haji]] ke [[Mekah]]. Dalam situasi ketika dimintai nasihat, seorang Bissu akan melakukan [[ritual]] untuk mengizinkan [[jin]] yang sangat baik untuk merasuki mereka dan untuk berbicara sebagai utusan dari dunia tak nampak.
Baris 19 ⟶ 21:
 
== Relasi dengan budaya Islam lokal di Sulawesi ==
Walaupun tradisi Bissu dalam memanggil jin adalah tidak sesuai dengan tradisi [[Islam]] lokal di Sulawesi, tradisi ini telah dipertahankan oleh komunitas Muslim regional di Sulawesi, dengan syarat bahwa Bissu dan tradisi mereka tidak menunjukkan atau terdiri dari tindakan yang jelas bertentangan dengan [[syariah]] Islam. Dalam kasus yang luartidak biasa untuk kerasnya tradisi Islam ini, itu berarti bahwa kekuatan seorang Bissu dan jin yang mereka kuasai tidak boleh diukur dengan cara apapun sebagai otonom (berdiri sendiri) dari kekuasaan [[Allah]], karena di dalam sistem Islam, Allah adalah satu-satunya yang harus dihormati.
 
== Kehidupan sehari-hari ==
Baris 25 ⟶ 27:
 
== Dalam masyarakat Indonesia modern ==
Di dalam masyarakat Indonesia saat ini, golongan Bissu semakin dianggap sebagai golongan pelestari tradisi Bugis yang berjasa bagi kekayaan budaya nasional Indonesia, walaupun keberadaan mereka semakin jarang dan mungkin akan punah di masa depan karena maraknya [[globalisasi]] dan tertekannya keberadaan mereka oleh [[agama Indonesia|agama-agama konvensional di Indonesia]].
 
<gallery>
Baris 45 ⟶ 47:
 
== Pranala luar ==
* {{en}} [http://www.iias.nl/iiasn/29/IIASNL29_27.pdf Sex, Gender, andet Priests in South Sulawesi, Indonesia{en}.pdf]
* {{en}} [http://channel.nationalgeographic.com/series/taboo/3610/Overview Taboo: Third Sex {en}] sur [[National Geographic]]
 
== Referensi ==
{{reflist}}
 
 
{{indo-budaya-stub}}
Baris 55 ⟶ 62:
[[Kategori:Budaya Sulawesi]]
[[Kategori:Budaya Bugis]]
[[Kategori:Kepercayaan]]
[[Kategori:Kepercayaan tradisional Indonesia]]