Betawi: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Ciko (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Ciko (bicara | kontrib)
Baris 2:
 
==Kebudayaan==
: ''Artikel utama: [[Suku Betawi]]''
Sifat campur-aduk dalam [[dialek]] Betawi adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing. Dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni [[Gambang Kromong]] yang berasal dari seni musik [[Cina]], tetapi juga ada [[Rebana]] yang berakar pada tradisi musik [[Arab]], [[Keroncong Tugu]] dengan latar belakang [[Portugis]]-Arab,dan [[Tanjidor]] yang berlatarbelakang ke-[[Belanda]]-an.
 
Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai [[Suku Betawi|orang Betawi]] adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa. Mereka adalah hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa di masa lalu.
===Etnis===
Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa. Mereka adalah hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa di masa lalu.
 
Diawali oleh orang [[Sunda]], sebelum abad ke-16 dan masuk ke dalam [[Kerajaan Tarumanegara]] serta kemudian pakuan [[Pajajaran]]. Selain orang Sunda, terdapat pula pedagang dan pelaut asing dari pesisir utara [[Jawa]], dari berbagai pulau Indonesia Timur, dari [[Malaka]] di semenanjung Malaya, bahkan dari [[Tiongkok]] serta [[Gujarat]] di [[India]].
 
Apa yang disebut dengan orang atau [[Suku Betawi]] sebenarnya terhitung pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Jawa, Arab, [[Bali]], [[Sumbawa]], [[Ambon]], dan [[Melayu]]. Antropolog [[Univeristas Indonesia]], Dr [[Yasmine Zaki Shahab]] MA menaksir, etnis Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun [[1815]]-[[1893]].
 
Perkiraan ini didasarkan atas studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang dirintis sejarawan Australia, [[Lance Casle]]. Di zaman kolonial Belanda, pemerintah selalu melakukan sensus, di mana dikategorisasikan berdasarkan bangsa atau golongan etnisnya. Dalam data sensus penduduk Jakarta tahun [[1615]] dan [[1815]], terdapat penduduk dari berbagai golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis Betawi.
 
[[Rumah Bugis]] di bagian utara Jl Mangga Dua di daerah [[kampung Bugis]] yang dimulai pada tahun [[1690]]. Pada awal abad ke 20 ini masih terdapat beberapa rumah seperti ini di daerah Kota. Hasil sensus tahun [[1893]] menunjukkan hilangnya sejumlah golongan etnis yang sebelumnya ada. Misalnya saja orang Arab dan [[Moors]], orang Jawa dan Sunda, orang [[Sulawesi Selatan]], orang [[Sumbawa]], orang [[Ambon]] dan [[Banda]], dan orang Melayu.
 
===Suku Betawi===
Pada tahun [[1930]], kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada justru muncul sebagai kategori baru dalam data sensus tahun tersebut. Jumlah orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi mayoritas penduduk [[Batavia]] waktu itu.
 
[[Antropolog]] Universitas Indonesia lainnya, Prof Dr [[Parsudi Suparlan]] menyatakan, kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang [[Kemayoran]], orang [[Senen]], atau orang [[Rawabelong]].
 
Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni [[Hindia Belanda]], baru muncul pada tahun [[1923]], saat [[Husni Thamrin]], tokoh masyarakat Betawi mendirikan [[Perkoempoelan Kaoem Betawi]]. Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi.
 
===Setelah kemerdekaan===
Sejak akhir abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan (1945), [[Jakarta]] dibanjiri imigran dari seluruh Indonesia, sehingga orang Betawi - dalam arti apapun juga - tinggal sebagai minoritas. Pada tahun [[1961]], ’suku’ Betawi mencakup kurang lebih 22,9 persen dari antara 2,9 juta penduduk Jakarta pada waktu itu. Mereka semakin terdesak ke pinggiran, bahkan ramai-ramai digusur dan tergusur ke luar Jakarta. Walaupun sebetulnya, ’suku’ Betawi tidaklah pernah tergusur datau digusur dari Jakarta, karena proses asimilasi dari berbagai suku yang ada di Indonesia hingga kini terus berlangsung dan melalui proses panjang itu pulalah ’suku’ Betawi hadir di bumi Nusantara.
 
 
[[Kategori:Jakarta]]