Sejarah pemerintahan daerah di Indonesia: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tjmoel (bicara | kontrib)
k +== Referensi == {{reflist}}
Borgxbot (bicara | kontrib)
k Robot: Cosmetic changes
Baris 27:
# [[Desa]] (disebut Ku oleh Jepang)
 
[[Otonomi]] bagi daerah baru dirintis dengan keluarnya UU No. 1 Tahun 1945 tentang Kedudukan [[Komite Nasional Daerah]]. UU No. 1 Tahun 1945 menyebutkan setidaknya ada tiga jenis [[daerah]] yang memiliki [[otonomi]] yaitu: [[Karesidenan]], [[Kota|Kota otonom]] dan [[Kabupaten]] serta lain-lain daerah yang dianggap perlu (kecuali daerah [[Kesunanan Surakarta|Surakarta]] dan [[Kesultanan Yogyakarta|Yogyakarta]]). Pemberian otonomi itu dilakukan dengan membentuk [[Komite Nasional Daerah]] sebagai [[Dewan Perwakilan Rakyat Daerah|Badan Perwakilan Rakyat Daerah]]. Sebagai penyelenggara [[pemerintahan daerah]] adalah [[Komite Nasional Daerah]] bersama-sama dengan dan dipimpin oleh [[Kepala Daerah]]. Untuk pemerintahan sehari-hari dibentuk [[Pemerintah Daerah|Badan Eksekutif]] dari dan oleh [[Komite Nasional Daerah]] dan dipimpin oleh [[Kepala Daerah]].
 
Mengingat situasi dan kondisi pada masa itu tidak semua daerah dapat membentuk dan melaksanakan [[pemerintahan daerah]]. Daerah-daerah [[Maluku]] (termasuk didalamnya [[Papua]]), [[Nusa Tenggara]], [[Sulawesi]], dan [[Kalimantan]] bahkan harus dihapuskan dari wilayah [[Indonesia]] sesuai isi [[Perjanjian Linggajati]]. Begitu pula dengan daerah-daerah [[Sumatera Timur]], [[Riau]], [[Bangka]], [[Belitung]], [[Sumatera Selatan|Sumatera Selatan bagian timur]], [[Jawa Barat]], [[Banyumas|Jawa Tengah bagian barat]], [[Banyuwangi|Jawa Timur bagian timur]], dan [[Madura]] juga harus dilepaskan dengan [[Perjanjian Renville]].
Baris 72:
: B. Wilayah [[Jawa]] meliputi: [[Banten]], [[Jawa Tengah|Jawa Tengah bagian timur]], [[Yogyakarta]], dan [[Jawa Timur|Jawa Timur bagian barat]] ([[Madiun|daerah Mataraman]])
 
Setelah pembentukan Republik III pada [[15 Agustus]] [[1950]] [[Undang-Undang|UU]] ini berlaku untuk daerah [[Sumatera|seluruh Sumatera]], [[Jawa|seluruh Jawa]], dan [[Kalimantan|seluruh Kalimantan]]. Sedangkan pada daerah-daerah di bekas wilayah [[Negara Indonesia Timur]] yaitu [[Sulawesi|wilayah Sulawesi]], [[Nusa Tenggara|wilayah Nusa Tenggara]], dan [[Maluku|wilayah Maluku]] masih berlaku UU NIT No. 44 Tahun 1950.
 
== Periode III (1957-1965) ==
Pada periode ini berlaku [[Undang-Undang|UU No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah]] yang disebut juga [[Pemerintahan Daerah|Undang-undang tentang pokok-pokok pemerintahan 1956]]. [[Undang-Undang|UU]] ini menggantikan [[Undang-Undang|UU RI No. 22 Tahun 1948]] dan [[Negara Indonesia Timur|UU NIT No. 44 Tahun 1950]]. Secara umum [[Indonesia]] memiliki dua jenis [[Otonomi daerah|daerah berotonomi]] yaitu [[Daerah otonom|daerah otonom biasa]] yang disebut [[Daerah otonom|daerah swatantra]] dan [[Daerah Khusus|daerah otonom khusus]] yang disebut dengan [[daerah istimewa]]. Masing-masing daerah berotonomi tersebut memiliki tiga tingkatan dan nomenklatur yang berbeda-beda yaitu:
<onlyinclude>
{| {{Prettytable}}
Baris 106:
[[DPRD]] mengatur dan mengurus segala urusan rumah tangga daerahnya kecuali ditentukan lain dengan [[Undang-Undang|UU]]. [[Pemilihan Umum|Pemilihan]] dan penggantian anggota [[DPRD]] diatur dengan [[Undang-Undang]] tersendiri. Masa jabatan anggota [[DPRD]] adalah empat tahun. Masa jabatan anggota pengganti antar waktu hanya untuk sisa masa empat tahun tersebut. Jumlah anggota [[DPRD]] ditetapkan dalam [[Undang-Undang|UU pembentukan]], dengan dasar perhitungan jumlah [[Warga Negara Indonesia|penduduk]] tertentu. Ketua dan Wakil Ketua [[DPRD]] dipilih oleh dan dari anggota [[DPRD]].
 
Pimpinan sehari-hari [[Pemerintahan Daerah]] dijalankan oleh [[Pemerintah Daerah|DPD]]. [[Pemerintah Daerah|DPD]] menjalankan keputusan-keputusan [[DPRD]]. [[Pemerintah Daerah|Anggota DPD]] dalam menjalankan tugasnya secara bersama-sama bertanggung jawab kepada [[DPRD]] dan wajib memberi keterangan-keterangan yang diminta oleh [[DPRD]]. [[Pemerintah Daerah|DPD]] dipilih oleh dan dari [[DPRD]] dengan memperhatikan perimbangan komposisi [[Partai Politik|kekuatan politik]] dalam [[DPRD]]. Masa jabatan [[Pemerintah Daerah|anggota DPD]] sama seperti masa jabatan [[DPRD]] yang bersangkutan. [[Pemerintah Daerah|Anggota DPD antar waktu]] yang dipilih memiliki masa jabatan hanya untuk sisa masa jabatan [[Pemerintah Daerah|DPD]] yang ada. Jumlah [[Pemerintah Daerah|anggota DPD]] ditetapkan dalam peraturan pembentukan daerah yang bersangkutan. [[Kepala Daerah]] karena jabatannya menjadi ketua dan anggota [[Pemerintah Daerah|DPD]]. [[Pemerintah Daerah|Wakil Ketua DPD]] dipilih oleh dan dari, anggota [[Pemerintah Daerah|DPD]] bersangkutan.
 
[[Kepala Daerah]] dipilih, diangkat, dan diberhentikan menurut aturan yang ditetapkan dengan [[Undang-Undang]] tersendiri. Untuk sementara waktu [[Kepala Daerah]] dipilih oleh [[DPRD]] dengan syarat-syarat tertentu dan disahkan oleh [[Presiden Republik Indonesia|Presiden]] untuk [[Gubernur|Kepala Daerah dari tingkat ke I]] atau [[Menteri|Menteri Dalam Negeri]] atau penguasa yang ditunjuk olehnya untuk [[Bupati|Kepala Daerah dari tingkat ke II]] dan [[Kepala Desa|ke III]]. [[Kepala Daerah]] dipilih untuk satu masa jabatan [[DPRD]] atau bagi mereka yang dipilih antar waktu guna mengisi lowongan [[Kepala Daerah]], untuk sisa masa jabatan tersebut.
Baris 129:
:; [[Legislatif]]: [[Dewan Perwakilan Rakyat Daerah]] ([[DPRD]])
 
[[Kepala Daerah]] diangkat dan diberhentikan oleh [[Presiden Republik Indonesia|Presiden]] bagi [[Provinsi|Daerah Tingkat I]] dan [[Menteri|Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah]] bagi [[Kabupaten|Daerah Tingkat II]] dengan syarat tertentu. [[Kepala Daerah]] dapat diangkat baik dari calon yang diajukan [[DPRD]] maupun dari luar calon yang diusulkan [[DPRD]]. Masa jabatan [[Kepala Daerah]] sama seperti masa jabatan [[DPRD]]. [[Kepala Daerah]] adalah [[Pegawai Negeri Sipil|Pegawai Negara]] dan karenanya tidak dapat diberhentikan karena keputusan [[DPRD]].
 
[[Kepala Daerah|Kepala Daerah Istimewa]] diangkat dari [[Raja|keturunan keluarga yang berkuasa]] menjalankan pemerintahan di daerah di jaman sebelum [[Republik Indonesia]] dengan syarat tertentu dan diangkat dan diberhentikan oleh [[Presiden Republik Indonesia|Presiden]]. Untuk [[Daerah Istimewa]] dapat diangkat [[Kepala Daerah|Wakil Kepala Daerah Istimewa]] dengan tata cara yang sama dengan [[Kepala Daerah|Kepala Daerah Istimewa]].
 
[[Perangkat Daerah|BPH]] terdiri dari 3 sampai 5 anggota kecuali yang berasal dari [[Pemerintah Daerah|anggota DPD]] sebelumnya. [[Perangkat Daerah|Anggota BPH]] diangkat dan diberhentikan menurut aturan yang ditetapkan [[Menteri|Mendagri dan Otda]].
Baris 138:
 
== Periode IV (1965-1974) ==
Pada periode ini berlaku [[Undang-Undang|UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah]]. [[Undang-Undang|UU]] ini menggantikan [[Undang-Undang|UU No. 1 Tahun 1957]], [[Undang-Undang|Penetapan Presiden No. 6 tahun 1959]]; [[Undang-Undang|Penetapan Presiden No. 2 tahun 1960]]; [[Undang-Undang|Penetapan Presiden No. 5 tahun 1960]] jo [[Undang-Undang|Penetapan Presiden No. 7 tahun 1965]]. Menurut [[Undang-Undang|UU]] ini secara umum [[Indonesia]] hanya mengenal satu jenis [[Daerah otonom|daerah otonomi]]. [[Daerah otonom|Daerah otonomi]]i tersebut dibagi menjadi tiga tingkatan [[daerah]].
<onlyinclude>
{| {{Prettytable}}
Baris 174:
:; c. bagi [[Kecamatan|Daerah tingkat III]] sekurang-kurangnya 3 orang.
 
[[Desa|Desapraja]]praja merupakan kesatuan masyarakat hukum yang tertentu batas-batas daerahnya, berhak mengurus rumah tangganya sendiri, memilih penguasanya dan mempunyai harta benda sendiri. Alat-alat kelengkapan pemerintahan desapraja terdiri atas [[Kepala Desa|Kepala Desapraja]]praja, [[Badan Permusyawaratan Desa|Badan Musyawarah Desapraja]], [[Desa|Pamong Desapraja]], [[Sekretaris Desa|Panitera Desapraja]], [[Desa|Petugas Desapraja]], dan [[Desa|Badan Pertimbangan Desapraja]].
 
[[Undang-Undang|UU No. 18 Tahun 1965]] disusun berdasar pasal 18 [[Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945|Konstitusi Republik IV]]<ref>Pasal 18 konstitusi Republik IV berbunyi: "Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa."</ref>. Namun berbeda dengan [[Undang-Undang|UU No. 22 Tahun 1948]], [[Undang-Undang|UU]] ini secara tegas tidak lagi mengakomodasi daerah-daerah dengan [[Daerah Khusus|otonomi khusus]] dan secara sistematis berusaha menghapuskan [[Daerah Khusus|daerah otonomi khusus]] tersebut sebagaimana yang tercantum dalam pasal 88<ref>Pasal 88 ayat (2) sub a berbunyi: "Sifat istimewa sesuatu Daerah yang berdasarkan atas ketentuan mengingat kedudukan dan hak-hak asal-usul dalam pasal 18 Undang-undang Dasar yang masih diakui dan berlaku hingga sekarang atau sebutan Daerah Istimewa atas alasan lain, berlaku terus hingga dihapuskan". Pasal 88 ayat (3) paragraf pertama berbunyi: "Daerah-daerah Swapraja yang de facto dan/atau de jure sampai pada saat berlakunya Undang-undang ini masih ada dan wilayahnya telah menjadi wilayah atau bagian wilayah administratif dari sesuatu Daerah, dinyatakan hapus."</ref>. Hal tersebut juga diterangkan dengan lebih gamblang dalam [[Undang-Undang|penjelasan UU No. 18 Tahun 1965]] pasal 1-2 serta pasal 88. Akan tetapi, [[Gerakan 30 September|badai politik tahun 1965]], yang terjadi hanya 29 hari setelah [[Undang-Undang|UU No. 18 Tahun 1965]] disahkan, menyebabkan [[Undang-Undang|UU]] [[pemerintahan daerah]] ini tidak dapat diberlakukan secara mulus. Perubahan konstelasi politik yang terjadi sepanjang akhir [[1965]] sampai dengan tahun [[1968]] mengakibatkan [[Undang-Undang|UU Pemerintahan Daerah]] dan [[Undang-Undang|UU Desapraja]] tidak dapat diberlakukan<ref>Pencabutan/penarikan/pernyataan tidak berlaku dilakukan dengan UU No. 6 Tahun 1969 tentang Pernyataan Tidak Berlakunya Berbagai Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang</ref>.
 
== Periode V (1974-1999) ==
Baris 215:
|}</onlyinclude>
 
Nama dan batas [[Daerah Tingkat I]] adalah sama dengan nama dan batas [[Provinsi|Wilayah Provinsi]] atau [[Daerah Khusus Ibukota Jakarta|Ibukota Negara]]. Ibukota [[Daerah Tingkat I]] adalah ibukota [[Provinsi|Wilayah Provinsi]]. Nama dan batas [[Daerah Tingkat II]] adalah sama dengan nama dan batas [[Kabupaten|Wilayah Kabupaten]] atau [[Kota|Kotamadya]]madya. Ibukota [[Daerah Tingkat II]] adalah ibukota [[Kabupaten|Wilayah Kabupaten]]. Penyebutan [[Pembagian administratif|Wilayah Administratif]] dan [[Daerah Otonom]] disatukan.
# Untuk [[Provinsi|Wilayah Administratif Provinsi]] dan [[Daerah Tingkat I|Daerah Otonom Tingkat I]] disebut [[Provinsi|Provinsi Daerah Tingkat I]]. Sebagai contoh adalah [[Riau|Provinsi Daerah Tingkat I Riau]].
# Untuk [[Daerah Khusus Ibukota Jakarta|Wilayah Administratif Ibukota Negara]] dan [[Daerah Khusus Ibukota Jakarta|Daerah Otonomi Khusus Ibukota Jakarta]] disebut [[Daerah Khusus Ibukota Jakarta|Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta]].
Baris 270:
[[Desa|Pemerintahan Desa]] terdiri atas [[Desa|Pemerintah Desa]] dan [[Badan Permusyawaratan Desa|Badan Perwakilan Desa]]. [[Desa|Pemerintah Desa]] terdiri atas [[Kepala Desa]] atau yang disebut dengan nama lain dan [[Desa|perangkat Desa]]. [[Kepala Desa]] [[Pemilihan Kepala Desa|dipilih langsung]] oleh [[Desa|Penduduk Desa]]. Masa jabatan [[Kepala Desa]] paling lama sepuluh tahun atau dua kali masa jabatan terhitung sejak tanggal ditetapkan. [[Badan Permusyawaratan Desa|Badan Perwakilan Desa]] atau yang disebut dengan nama lain berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat [[Peraturan Desa]], menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan [[Desa|Pemerintahan Desa]]. [[Badan Permusyawaratan Desa|Anggota Badan Perwakilan Desa]] dipilih dari dan oleh [[Desa|penduduk Desa]] yang memenuhi persyaratan. [[Badan Permusyawaratan Desa|Pimpinan Badan Perwakilan Desa]] dipilih dari dan oleh anggota. Di [[Desa]] dapat dibentuk lembaga lainnya sesuai dengan kebutuhan [[Desa]] dan ditetapkan dengan [[Peraturan Desa]].
 
[[Undang-Undang|UU]] ini disusun berdasarkan [[Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945|Konstitusi Republik IV pasal 18]] dan dikembangkan dengan mengadopsi beberapa ide dalam [[Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945|penjelasan konstitusi pasal 18 khususnya bagian II]]<ref>teks lengkap silakan lihat di atas pada catatan kaki periode V</ref>. [[Undang-Undang|UU]] ini cukup istimewa karena diberlakukan dalam masa Republik IV, Republik V<ref>Republik V adalah masa perubahan secara mendasar terhadap konstitusi "UUD 1945" yang dilakukan secara bertahap sebanyak empat kali, tepatnya antara 19 Oktober 1999 – 10 Agustus 2002</ref>, dan Republik VI<ref>Republik VI adalah masa berlakunya konstitusi "UUD 1945" yang telah dirubah sebanyak empat kali, tepatnya mulai 10 Agustus 2002 sampai ada perubahan yang bersifat mendasar atau ada penetapan konstitusi baru</ref>. Dalam perjalanannya [[Daerah Khusus Ibukota Jakarta|Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta]] diatur dengan [[Undang-Undang|UU No. 34 Tahun 1999]]<ref>lengkapnya UU No. 34 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta. Dalam UU ini, antara lain, ditetapkan: Otonomi Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta diletakkan pada lingkup Propinsi berdasarkan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan; Wilayah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dibagi dalam Kotamadya dan Kabupaten Administrasi; Pemerintah Kotamadya/kabupaten didampingi Dewan Kota/Kabupaten yang anggotanya dari tokoh masyarakat (Dewan bukan badan legislatif); Pemerintah Kelurahan didampingi Dewan Kelurahan yang anggotanya dari tokoh masyarakat (bukan sebagai badan legislatif); dan Nama-nama calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur yang telah ditetapkan oleh Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dikonsultasikan dengan Presiden</ref>. [[Nanggroe Aceh Darussalam|Provinsi Aceh]] juga ditegaskan [[Daerah Istimewa|keistimewaannya]] dengan [[Undang-Undang|UU No. 44 Tahun 1999]]<ref>lengkapnya UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Dalam UU ini ditentukan keistimewaan Aceh meliputi: a. penyelenggaraan kehidupan beragama; b. penyelenggaraan kehidupan adat; c. penyelenggaraan pendidikan; dan d. peran ulama dalam penetapan kebijakan Daerah.</ref> dan diberi [[Daerah Khusus|otonomi khusus]] dengan [[Undang-Undang|UU No. 18 Tahun 2001]]<ref>lengkapnya UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Otonomi khusus Aceh antara lain meliputi: Hal-ihwal keuangan dan pengelolaan sumberdaya alam, Jumlah anggota DPRD Prov NAD, Lembaga Wali Nanggroe dan Tuha Nanggroe, Pemilihan gubernur NAD, bupati dan walikota di lingkungan Prov NAD secara langsung oleh rakyat yang diselenggarakan oleh Komisi Independen Pemilihan, Pembentukan Mahkamah Syar’iyah dan nomenkaltur Perda yang disebut dengan Qanun</ref> serta perubahan nomenklatur menjadi [[Nanggroe Aceh Darussalam]]. Selain itu [[Papua|Provinsi Irian Jaya]] juga diberi [[Daerah Khusus|otonomi khusus]] dengan [[UU No. 21 Tahun 2001]]<ref>lengkapnya UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Otonomi khusus Papua antara lain meliputi: Adanya Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai representasi kultural orang asli Papua, Nomenklatur DPRD Provinsi menjadi DPR Papua, Jumlah Anggota DPR Papua, Gubernur adalah orang asli Papua, Adanya Perdasus, Hal-ihwal keuangan dan pengelolaan sumberdaya alam serta kelestarian lingkungan, Peradilan adat, dan Perlindungan hak adat yang meliputi hak ulayat masyarakat hukum adat serta hak perorangan para warga masyarakat hukum adat</ref> serta perubahan nomenklatur menjadi [[Papua|Provinsi Papua]]<ref>Sebenarnya pada tahun 1999 Provinsi Irian Jaya dijadikan tiga provinsi yaitu: (1) Provinsi Irian Jaya Timur dengan Ibukota Jayapura, (2) Provinsi Irian Jaya Tengah dengan kedudukan pemerintahan di Timika, dan (3) Irian Jaya Barat dengan dengan kedudukan pemerintahan di Manokwari dan untuk sementara waktu beribukota di Sorong. Pembentukan provinsi-provinsi ini dilakukan dengan UU No. 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong. Namun karena ada hal tertentu pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat tertunda sampai tahun 2003 dan Provinsi Irian Jaya Tengah belum dibentuk secara definitif</ref>. Selain pemberian penegasan dan pemberian status khusus, beberapa provinsi lainnya mengalami pemekaran menjadi provinsi baru. [[Timor-Timur|Provinsi Timor-Timur]] juga memperoleh kemerdekaan penuh pada [[2002]] dengan nama [[Timor Leste|Timor Leste/Timor Lorosae]] dari Pemerintahan Transisi [[PBB]]. Kemerdekaan tersebut berdasarkan hasil referendum atas status [[Timor Portugis|koloni Portugis]] pada [[1999]] setelah sekitar 23 tahun bergabung dengan [[Indonesia]].
 
== Periode VII (mulai 2004) ==
Baris 344:
=== Appendix II: Zaman Pendudukan Militer Jepang ===
 
Pada masa pendudukan militer [[Jepang]], [[Indonesia|''To Indo'']] dikuasai oleh tiga divisi besar tentara pendudukan yang berbeda. [[Jawa|Wilayah Jawa]] dikuasai oleh [[Angkatan Darat|Divisi XVI Angkatan Darat]] (''Gunseikanbu [[Jawa]]'') yang berpusat di [[Jakarta]]. [[Sumatera|Wilayah Sumatera]] dikuasai oleh [[Angkatan Darat|Divisi XXV Angkatan Darat]] (''Gunseikanbu [[Sumatera]]'') yang berpusat di [[Bukittinggi]]. Sedangkan wilayah [[Kalimantan]], [[Nusa Tenggara]], [[Sulawesi]], [[Maluku]], dan [[Papua]] dikuasai oleh [[Angkatan Laut]] (''Minseibu/Kaigun'') yang berpusat di [[Makassar]].
 
Khususnya [[Jawa]], pemerintahan tertinggi berada di tangan ''Saikoo Sikikan'' (''Gunsereikan''). Nomenkaltur daerah diganti menurut [[bahasa Jepang]]. Beberapa tingkatan daerah dihapuskan. Begitu pula dengan [[Dewan Perwakilan Rakyat Daerah|Locale Raad-nya]] dibekukan/dibubarkan. Pada masa pendudukan Jepang tingkatan daerahnya menjadi:
Baris 362:
=== Appendix IV: RIS dan NIT ===
 
[[Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia Serikat|Konstitusi Republik II]]<ref>Republik II adalah masa berlakunya konstitusi federal yang dikenal dengan Konstitusi Republik Indonesia Serikat, tepatnya 27 Desember 1949 – 15 Agustus 1950</ref> mengatur hubungan antara [[Negara Federal]] dengan [[Negara Bagian]]<ref>Aturan ini terdapat dalam Bab II Republik Indonesia Serikat dan Daerah-daerah Bagian</ref> dan menyerahkan pengaturan [[pemerintahan daerah]] pada masing-masing [[negara bagian]]<ref>misalnya pasal 47 yang berbunyi: "Peraturan-peraturan ketatanegaraan negara-negara haruslah menjamin hak atas kehidupan-rakyat sendiri kepada pelbagai persekutuan-rakyat di dalam lingkungan daerah mereka itu dan harus pula mengadakan kemungkinan untuk mewujudkan hal itu secara kenegaraan dengan aturan-aturan tentang penyusunan persekutuan itu secara demokrasi dalam daerah-daerah otonomi"</ref>. Hanya saja [[Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia Serikat|konstitusi]] memerintahkan bahwa [[Monarki|daerah swapraja]] yang terdapat di dalam lingkungan [[negara bagian]] diatur dengan perjanjian politik (kontrak) antara negara bagian dengan [[Monarki|daerah swapraja]]<ref>Aturan ini berdasarkan pasal 65 yang berbunyi: "Mengatur kedudukan daerah-daerah Swapraja masuk dalam tugas dan kekuasaan daerah-daerah bagian yang bersangkutan dengan pengertian, bahwa mengatur itu dilakukan dengan kontrak yang diadakan antara daerah bagian dan daerah-daerah Swapraja bersangkutan dan bahwa dalam kontrak itu kedudukan istimewa Swapraja akan diperhatikan dan bahwa tiada suatupun dari daerah-daerah Swapraja yang sudah ada, dapat dihapuskan atau diperkecil bertentangan dengan kehendaknya, kecuali untuk kepentingan umum dan sesudah undang-undang federal yang menyatakan, bahwa, kepentingan umum menuntut penghapusan atau pengecilan itu, memberi kuasa untuk itu kepada pemerintah daerah-bagian bersangkutan."</ref>. Namun sampai [[Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia Serikat|konstitusi Republik II]] berakhir masa berlakunya belum ada UU Federal yang mengatur mengenai [[Monarki|daerah Swapraja]].
 
Sesuai dengan [[Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia Serikat|konstitusi Federal]] yang menyerahkan pengaturan [[pemerintahan daerah]] pada masing-masing [[negara bagian]], maka [[Pemerintahan daerah]] di [[Indonesia|Negara Bagian Republik Indonesia (Yogyakarta)]] tetap diatur dengan [[Undang-Undang|UU No. 22 Tahun 1948]]<ref>Lihat pada periode II di atas</ref>. Sedangkan [[Negara Indonesia Timur|Negara Bagian Negara Indonesia Timur]] diatur dengan [[Undang-Undang|UU NIT No. 44 Tahun 1950]] yang mulai berlaku pada [[15 Juni]] [[1950]]. Dalam [[Undang-Undang|UU]] ini [[Negara Indonesia Timur|NIT]] dibagi dalam tiga tingkatan [[Daerah otonom|daerah otonomi]].
Baris 391:
{{reflist}}
* Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
* Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS 1949)
* Undang-Undang RIS No. 7 Tahun 1950 (UUD Sementara 1950)
* UU Pokok No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah (RI-Yogyakarta)
Baris 404:
* Saafroedin Bahar et. al. (Ed). (1993) ''Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 29 Mei 1945 – 19 Agustus 1945''. Edisi II. Cetakan 4. Jakarta: Sekretariat Negara RI.
 
== Lihat Pulapula ==
* [[Pemerintahan Daerah]]
* [[Pemerintah Daerah]]